Masih Terjaga, APBN Defisit Rp479,7 Triliun

Kementerian Keuangan melaporkan pada Kamis (20/11) bahwa capaian kinerja keuangan dan fiskal masih dinilai prudent, memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk merespons dinamika ekonomi global yang tidak menentu.

Masih Terjaga, APBN Defisit Rp479,7 Triliun
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (tengah) dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (ketiga dari kiri) bersama jajaran eselon satu Kementerian Keuangan memberikan keterangan dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta, Kamis (20/11/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana
Daftar Isi

Kementerian Keuangan melaporkan pada Kamis (20/11) bahwa capaian kinerja keuangan dan fiskal masih dinilai prudent, memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk merespons dinamika ekonomi global yang tidak menentu.

Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Oktober 2025 menunjukkan bahwa defisit kas negara per 31 Oktober 2025 mencapai Rp 479,7 triliun, atau 2,02 % dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan rasio defisit ini masih berada jauh di bawah ambang batas dari yang sebelumnya diproyeksikan dalam outlook.

"Angka defisit ini berada dalam batas aman dan terkendali, jauh lebih rendah dari target outlook APBN sebesar 2,78 persen PDB untuk saat ini,"  ujar Purbaya dalam keterangan resminya di depan wartawan.

Ia juga memaparkan di samping permintaan domestik yang tetap tumbuh, kinerja ekspor yang memadai, dan investasi yang resilien, percepatan belanja pemerintah menjadi salah satu faktor yang menjaga pertumbuhan ekonomi Kuartal-III bertahan di 5,04%.

Karenanya, meski distribusi belanja pemerintah hanya 7,17% terhadap PDB, pertumbuhannya di Kuartal-III menjadi salah satu yang tercepat.

"Dari sebelumnya belanja pemerintah melambat -1,37% dan -0,33% di Kuartal-I dan II, konsumsi pemerintah sekarang tumbuh positif 5,49% dan akan terus didorong di Kuartal-IV ini. Dampak belanja pemerintah ke ekonomi menjadi positif, karena pemerintah ikut tancap gas dalam perekonomian," jelas Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTA bulan November 2025 di Jakarta.

Pertumbuhan positif di semua sektor, mulai dari manufaktur, pertanian, perdagangan, konstruksi, informasi dan komunikasi, serta transpirtasi dan pergundangan menjadi tanda lain dari ketepatan strategi untuk mendorong permintaan melalui ekspansi fiskal. Ke depan, dengan perekonomian yang semakin solid, Purbaya menjanjikan efek perekonomian akan mulai dirasakan pada Desember 2025.

"Semuanya sekarang sedang berbalik, jadi kita sedang mengalami akselerasi dari perlambatan yang terjadi sebelumnya," ucap Purbaya.

Secara terperinci, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan, sampai 31 Oktober 2025, pemerintah telah merealisasikan belanja sebesar Rp2.593 triliun atau 73,5% dari target APBN 2025.

Sementara itu penerimaan negara terealisasi sebesar Rp2.113,3 triliun atau 73,7% target APBN 2025.

Pusat dan daerah

Dalam periode tersebut, belanja pemerintah pusat telah mencapai Rp1.879,6 triliun atau 70,6% dari target.

Pada titik ini, belanja pemerintah pusat yang memiliki dorongan langsung pada pengeluaran pemerintah sudah lebih tinggi Rp45,1 triliun dari belanja pemerintah di periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp1.834,5 triliun.

"Dengan belanja pegawai on track sebesar Rp262,7 triliun, pemerintah mempercepat belanja barang sebesar Rp344,9 triliun. Kalau Anda perhatikan, belanja ini yang sempat ditahan pada saat efisiensi terdahulu, tetapi ini meningkat secara konsisten dan dipercepat selama beberapa bulan terakhir untuk layanan masyarakat, dan pemeliharaan sarana-prasarana," jelas Suahasil.

Dari semua komponen belanja pemerintah pusat, Suahasil mencatat komponen belanja modal relatif lambat karena baru mencapai Rp206,4 triliun atau 59,9% dari target, sementara belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bantuan sosial telah mencapai di atas 70%. Untuk itu, pemerintah akan mempercepat penyelesaian proyek-proyek infrastruktur jalan, irigasi, dan jaringan, serta pembayaran kontrak pengadaan belanja infrastruktur dan peralatan serta mesin.

Tidak hanya belanja pemerintah pusat, percepatan dilakukan terhadap program prioritas pemerintah pusat hingga menyentuh angka Rp611,7 triliun atau 65,8% dari pagu Rp929 triliun. Ini termasuk realisasi anggaran Makan Bergizi Gratis yang mencapai Rp41,3 triliun atau 58,2% dari alokasi Rp71 triliun dalam APBN 2025.

"Sampai akhir tahun, Badan Gizi Nasional masih memiliki anggaran hingga Rp30,7 triliun yang dapat digunakan untuk mempercepat realisasi penerima MBG. Ini penting karena dari 82,9 juta target penerima, program baru mencapai 41,2 juta penerima terhitung 18 November 2025," tegasnya.

Di samping belanja pemerintah pusat, Suahasil juga mengingatkan agar transfer ke daerah yang telah tersalurkan hingga Rp713,4 triliun atau 82,1% pagu APBN 2025 dialokasikan semaksimal mungkin oleh kepala daerah. Dia melihat, besaran belanja daerah yang tetap on track hanyalah komponen belanja pegawai, sedangkan belanja barang, belanja modal, dan belanja lainnya masih rendah.

"Kami menginginkan uang yang ditransfer itu seyogyanya menjadi belanja APBD supaya efek di masyarakat mendorong pertumbuhan. Kami sampaikan untuk belanja lebih cepat di bulan November dan Desember ini. Dana simpanan Pemda meningkat terus dari 143 T menjadi 244 T per Oktober 2025 karena belum dibelanjakan," ungkapnya.

Melengkapi penjelasan Suahasil, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Luky Alfirman membenarkan bahwa terdapat kementerian/lembaga yang mengembalikan anggaran mereka kepada Menteri Keuangan, bukan karena anggarannya tidak terserap, tetapi karena pos belanja yang ada sudah benar-benar dioptimalkan hingga akhir tahun.

"Ada beberapa K/L yang menyampaikan akan mengembalikan anggaran dan tidak membelanjakan. Kami terima, tetapi kami ingin pastikan output tidak terganggu atau bisa tercapai. Kalau ada K/L melakukan pergeseran, itu yang akan kami dorong terus. Intinya adalah bagaimana membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kami ingin belanja itu dimanfaatkan sebaik-baiknya," ujar Luky.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (tengah) didampingi Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) dan Direktur Jendral Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu (kanan) memberikan keterangan kepada media dalam konferensi pers APBN KiTa edisi November 2025 di Jakarta, Kamis (20/11/2025). (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.)

Jaga disiplin dan kualitas

Bagaimanapun peran belanja pemerintah yang dipercepat secara signifikan mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, disiplin fiskal dan kualitas belanja tetap harus diperhatikan. Dengan demikian, belanja pemerintah bukan hanya mencapai besaran yang sesuai target APBN, melainkan benar-benar berdampak dan mengangkat kesejahteraan, khususnya kelas menengah yang rawan.

Peneliti Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios) Galau D. Muhammad menilai, pola ekspansif dalam kebijakan fiskal sejatinya merupakan pola yang wajar dalam skema politik anggaran, terutama untuk mendorong produktivitas sektor-sektor yang berkaitan dengan infrastruktur dan sektor riil. Namun, dia menggarisbawahi kualitas belanja yang juga mesti diperhatikan.

"Ada banyak program populis yang capaiannya belum memuaskan, tetapi dipaksakan seperti MBG, yang akan merealokasi anggaran pendidikan hingga Rp223 triliun. Ini seharusnya ditinjau kembali, apa yang dikorbankan? Fakta di lapangan, yang dikorbankan adalah kesejahteraan guru honorer dan kuota beasiswa, sehingga malah berdampak pada kualitas pendidikan," kata Galau saat dihubungi SUAR, Kamis (20/11/2025).

Berkaca pada rekomendasi IMF berdasarkan Konsultasi Artikel IV, Galau mengingatkan bahwa perhatian pemerintah terkait belanja bukan hanya dari segi persentase realisasi terhadap target anggaran, melainkan juga kualitas belanja dan sektor-sektor produktif yang diprioritaskan. Menurutnya, tuntutan masyarakat yang belum benar-benar merasakan pemulihan daya beli dan investasi yang masih terus menunggu adalah indikator yang lebih konkret.

"Ada banyak PR yang harus didorong, tetapi yang paling jelas, kita perlu lebih disiplin sembari memastikan semua program mampu disusun secara teknokratik dan efektif daripada terlalu menggembar-gemborkan di awal tanpa transparansi sehingga memunculkan risiko fiskal yang tidak terbayar di tahun-tahun ke depan," cetusnya.

Berbagi pandangan dengan Galau, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menjelaskan, belanja pemerintah memang harus meningkat dari tahun ke tahun. Defisit yang berada dalam batas aman terhadap PDB sejatinya tidak perlu dipermasalahkan, selama belanja lebih besar untuk pembangunan daripada belanja rutin seperti belanja pegawai.

"Defisit sudah ditentukan dalam undang-undang maksimal 3%. Agar tidak membengkak, alokasi anggaran harus untuk program ekonomi yang produktif. Indikator efektivitas bukan hanya serapan anggaran oleh kementerian/lembaga, tetapi harus indikator capaian kinerja dari setiap program dan efek yang dirasakan masyarakat," ujar Esther.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional