Kantor pelayanan bea cukai kini mulai mengoptimalkan sistem digital yang secara otomatis mempercepat prosedur pemeriksaan ekspor-impor dan menciptakan rantai pasok yang lebih transparan.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai Muhammad Mulyono mengatakan transformasi digital pada layanan pabean tersebut mampu meningkatkan kepercayaan publik, menekan biaya logistik, sekaligus meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar mancanegara.
"Transparansi menjamin kepercayaan publik dan mengembangkan keterbukaan prosedur dan tarif yang adaptif dengan kebutuhan perdagangan internasional," kata Mulyono dalam Konferensi Internasional terkait World Customs Organization di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Selasa (11/11).
Menurut Mulyono, Kamboja dan Malaysia menjadi contoh bahwa transparansi tidak hanya mendorong integritas kelembagaan, melainkan juga membantu usaha kecil mampu berkompetisi dan mengakses pasar global.
"Smart Customs memungkinkan kecerdasan artifisial menjadi instrumen kerja yang mampu mengefisienkan kepabeanan lewat face recognition, analisis dokumen secara otomatis, serta simulasi dan pelatihan petugas pabean," jelasnya.
Integrasi layanan dengan teknologi digital mutakhir, Mulyono menjelaskan, harus menjadi instrumen yang memungkinkan pabean menjawab kebutuhan transparansi untuk eksportir dan importir, antara lain dengan manajemen data dan akurasi dalam pengambilan keputusan.
Melengkapi penjelasan Mulyono, mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai serta WCO Accredited Expert Oentarto Wibowo menegaskan transparansi adalah jantung kepabeanan, yang dibuktikan lewat keterbukaan, kejelasan aturan, dan akuntabilitas asesmen, pengawasan, dan penegakan aturan.
"Transparansi dimulai dari kejelasan kerangka regulasi yang mudah diakses, selalu diperbarui, serta menyediakan informasi akurat dan tepat tentang persyaratan, perubahan aturan, dan prosedur kepada eksportir dan importir. Automasi akan mempermudah custom declaration, terutama dengan mengurangi intervensi manusia dalam kerja kepabeanan," jelas Oentarto.
Mengacu pada standar WCO, Oentarto menyatakan terdapat lima aspek dalam pabean modern. Pertama, kerangka regulasi yang jelas tentang restriksi, tarif kepabeanan, dan acuan pemeriksaan. Kedua, standar pelayanan yang mudah diakses dan responsif. Ketiga, pengawasan perbatasan terkoordinasi. Keempat, monitor penuh atas prosedur, clearance time, hingga pengaduan. Kelima, adopsi digital yang membantu pelacakan pengiriman secara real-time.
Kompleks
Oentarto mengakui bahwa penerapan standar layanan pabean yang kompleks membuka ruang untuk terjadinya gratifikasi maupun pungutan liar. Itu sebabnya, WCO juga menyusun kerangka besar yang dapat menjadi acuan penyelenggara pabean di seluruh dunia tentang prosedur pencegahan korupsi mulai dari tingkat terendah hingga aras pengambilan keputusan.
"Namun, pedoman dari WCO tersebut masih perlu diturunkan menjadi panduan praktis atau prosedur tetap (protap), salah satunya dengan Integrity Risk Mapping yang memungkinkan identifikasi risiko korupsi di unitnya masing-masing, seperti instrumen deteksi dini yang bersifat preventif," ucap Oentarto.
Digitalisasi layanan kepabeanan memang tampak menjanjikan. Namun, tanpa standar yang jelas dan terukur, pelaksanaan digitalisasi dan automasi akan cenderung bersifat parsial dan tidak dapat meningkatkan kualitas layanan secara signifikan. Dengan kata lain, adopsi teknologi digital perlu bersifat menyeluruh, dengan standar pelayanan tanpa manusia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyatakan, digitalisasi dan proses serba otomatis merupakan syarat untuk menjamin transparansi proses di pabean sejak awal, yakni pemeriksaan dan dokumentasi. Tujuan akhirnya, menekan biaya logistik yang selama ini sangat membebani pengusaha dan melemahkan minat investasi.
"Memang seharusnya semua dokumen kepabeanan itu bersifat digital dan terhubung, bukan hanya antarpabean, tetapi juga antar pelabuhan. Dokumen digital seperti itu juga akan meminimalkan celah modifikasi dokumen oleh pelaku usaha, baik untuk kepentingan ekspor maupun impor," ucap Redma saat dihubungi, Selasa (11/11/2025).

Tanpa andil manusia
Meski demikian, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Mahendra Rianto menekankan bahwa digitalisasi dokumen pabean dari kertas menjadi file lunak tidaklah cukup.
Lebih-lebih, anggapan bahwa digitalisasi dokumen sama dengan digitalisasi layanan menurutnya salah-kaprah, karena pengertian digitalisasi layanan adalah proses pengiriman logistik secara seamless tanpa sentuhan tangan manusia, dengan seluruh approval dokumen dilaksanakan by system.
"Penekanan digitalisasi adalah proses pabean yang tidak perlu bertemu orang, apalagi sekarang ada big data. Ambillah contoh Tiongkok dengan e-commerce mereka yang mendunia. Kalau mereka tidak dibantu penguasaan database tentang pabean setiap negara, tidak mungkin mereka mendistribusikan barang secepat itu ke seluruh dunia," jelas Mahendra saat dihubungi.
Pengertian parsial tentang digitalisasi, menurut Mahendra, dapat terlihat saat mengurus impor. Sesudah bea masuk dan tarif lain selesai dibayarkan, importir akan menerima Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) secara digital.
Namun, importir tetap harus mencetak sendiri SPPB, membawanya ke kantor pelayanan bea cukai, dan memprosesnya secara manual, artinya terjadi kontak manusia dalam proses yang sudah dianggap "digital".
"Contoh lain adalah Pelabuhan Rotterdam. Di sana, sejak kapal itu bersandar sampai kontainer keluar dari pelabuhan, seluruh proses pabean tidak memerlukan tenaga manusia. Ketika kontainer sudah naik ke truk dan akan keluar, mereka akan langsung screening dengan X-ray, akan langsung diketahui kesesuaian barang dalam kontainer dan yang ada di dokumen," kisahnya.
Dengan kecanggihan teknologi seperti di negeri kincir angin itu, Mahendra berharap teknologi digital untuk layanan pabean diadopsi secara menyeluruh, terutama dalam screening untuk mempercepat custom clearance.
Pasalnya, ketika komoditas ekspor atau impor tersebut sudah sangat dibutuhkan pasar sementara pabean mempermasalahkan dokumen atau kesesuaian barang, di situlah terbuka celah negosiasi dan gratifikasi.
"Kalau e-commerce dan marketplace saja bisa melakukan transaksi, shipping, dan membangun pangkalan data untuk mengirimkan produk mereka secara seamless dan otomatis, apalagi sebuah negara. Pertanyaannya, mau tidak kita menuju ke sana? Alat X-ray bisa dibeli dan dipasang sepanjang pintu keluar pelabuhan, dan Indonesia bisa belajar dari negara yang sudah berpengalaman," tukas Mahendra.
Topang rantai pasok
Di tengah situasi perekonomian global yang tidak pasti dan disrupsi rantai pasok akibat ketegangan geopolitik, kebutuhan layanan kepabeanan digital tidak pernah semendesak sekarang. Bukan hanya memastikan arus komoditas berjalan lancar, tetapi juga membantu peningkatan daya saing sebuah negara.
Guru Besar Departemen Teknik Sistem dan Industri Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya I Nyoman Pujawan menilai, dalam situasi interdepensi yang melipatgandakan ketergantungan industri sebuah negara pada pasokan bahan baku dari negara lain, kontrol pabean menentukan keandalan rantai pasok, dan pada akhirnya, keunggulan kompetitif sebuah negara.
"Kontrol pabean berperan dalam menjaga keamanan dan integritas rantai pasok, meski di sisi lain juga menambah waktu transit dan tentunya berpotensi melipatgandakan biaya logistik, sehingga meningkatkan harga jual produk secara rata-rata," jelas Pujawan.
Rektor Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI) Bandung itu melansir laporan Logistic Performance Index 2023 dari Bank Dunia, yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 63 dalam hal daya saing (competitiveness), jauh di bawah Vietnam yang berada di peringkat 50, Thailand di peringkat 37, dan Malaysia di peringkat 31. Salah satu sebabnya, karena custom score Indonesia hanya 2,8, jauh di bawah rata-rata.
"Digitalisasi kepabeanan menjadi salah satu PR yang harus kita kerjakan, mulai dari mengelektronikkan semua dokumen, mempercepat clearance time untuk green line cargo, praktik data sharing antara pabean, pelabuhan, dan importir untuk menekan penundaan dan error," ujarnya.
Saat ini, menurut Pujawan, kepabeanan di Indonesia masih ditangani hampir 29 instansi, yang mulai disederhanakan dengan mekanisme Indonesia National Single Window (INSW) untuk custom clearance dan National Logistic Ecosystem (NLE) untuk mengintegrasikan ekosistem logistik dari pelabuhan, ke gudang, hingga saat transportasi darat. Namun, Pujawan mendapati bahwa performa NLE masih di bawah INSW dalam mewujudkan ekosistem logistik yang mendukung.
"Kepabeanan yang baik adalah memastikan sesedikit mungkin agensi pemerintah terlibat mengontrol keluar masuk barang. Agar clearance digital bisa cepat dan akurat, lebih baik satu otoritas yang sangat kuat dan punya power lebih dari instansi lain, daripada memiliki banyak instansi dengan power yang setara," pungkas Pujawan.