Perekonomian Indonesia memasuki 2026 dengan berbagai tekanan dan peluang. Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama, namun daya tahannya diuji oleh pelemahan kelas menengah dan ketidakpastian pasar tenaga kerja.
Hal ini menjadi benang merah dalam Indonesia Economic Outlook 2026 di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Senin (24/11/2025). Para ekonom yang hadir sepakat perekonomian 2026 membutuhkan arah kebijakan yang lebih solid agar momentum pemulihan tidak tergerus.
Mantan Wakil Presiden Boediono mengingatkan keberhasilan ekonomi Indonesia di masa lalu ditopang oleh koordinasi kuat antara teknokrat dan pengambil keputusan politik. Kebijakan yang efektif tidak berhenti pada analisis, melainkan harus menjelma menjadi langkah operasional yang bisa dijalankan lintas instansi.
“Konsep di atas kertas harus dijabarkan menjadi kebijakan operasional yang siap dilaksanakan di lapangan,” ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) 2008-2009 ini mengatakan, sinergi antara teknokrat dan keputusan politik pernah menjadi kunci pertumbuhan Indonesia, yang pada masanya mampu mencapai rata-rata sekitar 7% selama lebih dari dua dekade. Stabilitas arah kebijakan adalah fondasi utama untuk menjaga kepercayaan dan memastikan setiap program berjalan konsisten.
Pengalaman tersebut, lanjut Boediono, menunjukkan keberhasilan ekonomi tidak lahir dari kebijakan yang bertabrakan, melainkan dari koordinasi yang selaras pada aras eksekusi.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Firman Hidayat, menyebut Indonesia hanya bisa mencapai visi negara maju 2045 jika ekonomi tumbuh 6 sampai 7% selama 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dia mengingatkan bonus demografi akan habis sekitar 2034 sehingga ruang momentum semakin sempit. Tantangan global pada 2025 berada pada tingkat ketidakpastian tertinggi dalam sejarah akibat tarif resiprokal Amerika Serikat, geopolitik, perlambatan Cina, perubahan iklim, serta digitalisasi yang bergerak cepat.
Menurut Firman, lonjakan ketidakpastian itu terbukti membuat lembaga internasional merevisi proyeksi ekonomi global 2025 hingga tiga kali, dari 3,3% menjadi 2,8%, lalu 3%, dan terakhir 3,2%. Dampaknya adalah pelaku usaha menunda investasi dan rumah tangga menahan konsumsi sehingga produktivitas ikut tertekan. Menurutnya kondisi ini menjadi alasan kuat perlunya reformasi domestik yang lebih agresif.
Firman menyoroti dua pemain besar yang akan membentuk arah ekonomi 2026, yakni Amerika dan Cina. Ekonomi Amerika masih tumbuh 3,8% pada kuartal kedua 2024, namun 92% pertumbuhan pada paruh pertama ditopang sektor terkait kecerdasan buatan sehingga rentan bila terjadi koreksi.
Sementara itu, Cina menghadapi permintaan domestik yang melemah, kontraksi investasi properti, serta kelebihan kapasitas produksi yang mendorong banjir produk murah ke ASEAN termasuk Indonesia.
Dia memperkirakan ekspor Indonesia akan tertekan karena konsumsi di Cina belum pulih dan indeks kepercayaan konsumen mereka tidak kembali ke zona optimis sejak pandemi. Pada saat yang sama, ekspor Cina ke Amerika menyusut sehingga aliran barang murah dialihkan ke kawasan lain. Kondisi ini, menurut Firman, berpotensi menekan industri dalam negeri bila tidak diimbangi instrumen safeguard.
Situasi dunia usaha
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyebut tahun 2025 sebagai periode penuh tekanan bagi sektor riil. Awal tahun dibuka dengan gelombang PHK di industri tekstil dan garmen karena permintaan dan daya beli yang belum pulih.
Dalam waktu bersamaan, tarif resiprokal Amerika menekan daya saing ekspor Indonesia, sementara konflik geopolitik membuat logistik terganggu dan harga energi melonjak. Kondisi ini, menurut dia, membuat ruang ekspansi industri belum muncul.
Shinta menjelaskan fragmentasi perdagangan global memaksa pelaku usaha menata ulang rantai pasok dan komitmen kerjasama. Biaya logistik yang meningkat dan ketidakpastian politik domestik membuat banyak perusahaan menunda ekspansi. “Permintaan dan daya beli yang belum kunjung pulih menjadi salah satu kendala utama dunia usaha,” katanya. Industri karet, konstruksi, dan furnitur bahkan tumbuh di bawah rata-rata nasional dan mengalami kontraksi dalam beberapa kuartal terakhir.
Menurut Shinta, pasar tenaga kerja kini menjadi tantangan terbesar menuju 2026 karena lapangan kerja formal tidak mampu mengimbangi kebutuhan. 67% pengangguran adalah Gen Z berusia 15 sampai 29 tahun sejumlah 4,9 juta orang, sementara sektor informal terus melebar. “Satu lowongan bisa diperebutkan oleh delapan sampai enam belas orang,” katanya. Pada saat yang sama, pekerja mandiri dan gig workers mencapai 31,5 juta, sementara 7,6 juta orang kehilangan peluang masuk sektor formal.
Tekanan itu semakin terasa karena kelas menengah menyusut signifikan. Jumlahnya turun dari 57 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024 atau berkurang hampir 10 juta.
Indeks kepercayaan konsumen memang naik dari 115 menjadi 121 antara September dan Oktober 2025, namun daya beli belum pulih karena tabungan kelompok menengah bawah terus tergerus. Kondisi ini membuat pemulihan sektor padat karya yang menyerap jutaan pekerja semakin berat.
Memasuki 2026, Shinta menilai dunia usaha membutuhkan arah kebijakan yang memberikan kepastian dan memperbaiki fondasi pasar kerja. Dia mengatakan lima fokus pemulihan yang disusun Apindo untuk merespons tekanan global dan menyempitnya ruang ekspansi.
“Pertama adalah mendorong sektor strategis pencetak lapangan kerja layak. Kedua mengungkit daya beli masyarakat terutama kelas menengah. Ketiga meningkatkan kinerja dan kualitas investasi. Keempat memperluas peluang perdagangan global. Dan yang terakhir adalah memperbesar multiplier effect program prioritas pemerintah,” katanya.
Arah kebijakan
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN, Ferry Irawan, dari menyebut ekonomi domestik masih memiliki momentum pertumbuhan menuju 2026. Pertumbuhan kuartal tiga berada di sekitar 5%, konsumsi rumah tangga tetap solid, dan investasi kembali naik ke kisaran 5%. Belanja pemerintah juga pulih setelah dua kuartal melemah dan kembali tumbuh 5,49%. “
Baca juga:
Upaya kita untuk mengakselerasi pertumbuhan belanja pemerintah di kuartal ketiga sudah kelihatan hasilnya,” ujar Ferry. Kombinasi konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah, kata dia, menjaga peluang mencapai target 5,2% sesuai APBN.
Ferry menyoroti beberapa sektor yang masih menjadi penopang utama ekonomi, seperti manufaktur yang tumbuh 5,5% dan pertanian yang kembali naik ke 5% sesuai siklus panen. Indeks keyakinan konsumen tetap di zona ekspansif, begitu juga Purchasing Manufacturing Index di angka 52.
Ferry mengatakan kuartal empat biasanya memberikan kontribusi besar, rata-rata 33,6% terhadap belanja tahunan, sehingga percepatan belanja pemerintah terus didorong. Pemerintah juga telah menempatkan dana saldo anggaran lebih sebesar Rp276 triliun di bank himbara untuk memperkuat likuiditas dan menurunkan biaya kredit.
Ferry menjelaskan pemerintah telah menyalurkan paket stimulus 8+4+5, mulai dari bantuan pangan, bantuan untuk sekitar 35 juta keluarga, hingga program magang yang menargetkan 100 ribu peserta. “Ini kita harapkan bisa menjadi penopang daya beli untuk masyarakat,” ujarnya. Selain itu, pengembangan kawasan ekonomi khusus juga terus dipercepat, mencakup pusat data di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Nongsa, ekosistem digital dan pendidikan di KEK Singhasari, hilirisasi di KEK Gresik, serta kendaraan listrik di KEK Kendal. Menurutnya, rangkaian kebijakan ini menjadi fondasi pertumbuhan 2025 sekaligus modal untuk mengejar target 5,4% pada 2026.
Sementara itu, Direktorat Strategi APBN, Wahyu Utomo, menegaskan kebijakan fiskal 2026 diarahkan untuk menjaga pertumbuhan yang kuat dan merata. Ia menyebut tujuan akhirnya adalah kesejahteraan, yang dicapai lewat tenaga kerja formal, likuiditas yang memadai, dan APBN yang sehat. “Ultimate goal-nya adalah kesejahteraan,” ujarnya. Tantangan seperti bonus demografi yang menyempit, perubahan iklim, dan ekonomi digital membuat terobosan kebijakan menjadi keharusan.
Wahyu menekankan APBN 2026 difokuskan untuk menjaga perputaran ekonomi melalui percepatan belanja, perluasan program prioritas, dan penurunan biaya kredit. Menurutnya target pertumbuhan 5,4% hanya bisa dicapai jika konsumsi dan investasi bergerak serempak. Seluruh instrumen fiskal akan diarahkan untuk memperkuat daya beli dan memberi ruang bagi sektor usaha melakukan ekspansi.
“APBN posturnya tetap ekspansif, terarah, dan terukur dengan defisit 2,68%. Pendapatan negara Rp3.153 triliun dan belanja Rp3.842 triliun ditetapkan untuk menjaga dorongan pertumbuhan sekaligus mengendalikan risiko fiskal. Pertumbuhan ekonomi pada 2026 diarahkan mencapai 5,4% dengan inflasi di 2,5% serta suku bunga dan nilai tukar yang lebih efisien agar konsumsi dan investasi tetap bergerak,” katanya.