Belajar dari Masa Lalu untuk Kejar Ekonomi 8% Lewat Peningkatan TFP

Pada 1971-1975 ekonomi Indonesia bisa tumbuh 8,2% karena kontribusi Total Factor Productivity yang masif.

Belajar dari Masa Lalu untuk Kejar Ekonomi 8% Lewat Peningkatan TFP
Produk manufaktur ditampilkan pada pameran Manufacturing Indonesia Series 2025 di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.
Daftar Isi

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi 8% melalui faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) yang optimal. TFP ini bisa dikerek melalui penguatan riset dan pengembangan (R&D) sehingga mendorong industrialisasi yang ujungnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede menyatakan, ketergantungan Indonesia pada cadangan sumber daya alam selama ini telah membuat Indonesia terjebak pada ilusi kekayaan semu dan mengabaikan peran teknologi dan inovasi industri. Akibatnya, Indonesia tertatih-tatih mengejar target pertumbuhan yang hanya mungkin jika industri dalam negeri benar-benar kuat.

"Ketika perekonomian Indonesia bisa tumbuh hingga 8,2% antara 1971-1975, itu adalah kontribusi dari faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP). Sejak 1998, kontribusi TFP menurun, menunjukkan industrialisasi cenderung melemah dari segi jumlah maupun kontribusi terhadap PDB," ujar Pardede saat membawakan sesi panel seminar "Industrial Policy: Improving Productivity through Innovation and R&D" di Jakarta, Senin (15/12/2025).

TFP adalah alat ukur efisiensi dan efektivitas penggunaan semua faktor produksi (seperti modal dan tenaga kerja) dalam menghasilkan output barang dan jasa. Peningkatan TFP berarti unit input yang sama kini mampu menghasilkan lebih banyak output. Ini adalah indikator utama kemajuan teknologi dan peningkatan efisiensi dalam suatu perekonomian.

Pardede menjelaskan, lebih dari sekadar ketergantungan, penurunan kontribusi TFP menyebabkan alokasi sumber daya alam menjadi tidak efisien, sumber daya manusia menjadi tidak kompetitif, dan perkembangan R&D menjadi terlambat.

Padahal, Pardede menekankan, tanpa meningkatkan TFP, Indonesia tidak akan keluar dari jebakan negara pendapatan menengah (middle income trap), alih-alih mencapai pertumbuhan 8%.

Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede (kedua kiri) memaparkan tantangan industri Indonesia dalam seminar "Industrial Policy: Improving Productivity through Innovation and R&D" di Jakarta, Senin (15/12/2025). Foto: Dewan Ekonomi Nasional

Saat Indonesia memprioritaskan hilirisasi setelah sangat terlambat, industri manufaktur yang berhasil dibangun barulah low-skill manufacturing dan menghasilkan produk intermediat. Di titik ini, transformasi dibutuhkan agar produk intermediat dapat menjadi produk unik dengan desain dan brand khusus, yang hanya dapat diciptakan pekerja dengan skill tertentu dan penguasaan teknologi.

"Semua kebijakan industrial perlu mengarah ke titik ini. Jangan lagi kita diam-diam menikmati ekonomi ditopang UMKM yang produktivitasnya rendah dan membayar upah di bawah standar, yang membuat kualitas lapangan pekerjaan turun walaupun kuantitasnya besar," tegas Pardede.

Peneliti Senior Indonesia Financial Group (IFG) Progress Ibrahim Kholilul Rohman menilai, akan lebih mudah bagi Indonesia untuk mengatasi persoalan struktural yang selama ini telah membenggu potensi pertumbuhan tinggi dan berkesinambungan. Lewat industrialisasi, pertumbuhan itu tidak akan lagi bersifat episodik dan rentan, tetapi langgeng dan berkepanjangan.

"TFP yang tumbuh rendah terus-menerus dan pertumbuhan utang yang tidak memperlihatkan korelasi positif dengan pertumbuhan PDB menjadi bukti akumulasi kapital tidak serta-merta menyumbangkan pertumbuhan yang signifikan," papar Ibrahim.

Dengan memperjuangkan peningkatan TFP melalui industri yang inovatif dan berdaya saing, Indonesia dapat meningkatkan kemampuan lebih baik dalam menjadikan pertumbuhan berbasis komoditas dan dipimpin investasi sebagai instrumen mencapai produktivitas yang berkesinambungan.

Apabila produktivitas tersebut telah terjaga, Ibrahim menegaskan, pertumbuhan 8% tidak hanya terjadi sekali, tetapi terulang secara berturut-turut, seperti halnya Malaysia yang mencapai pertumbuhan di atas 7% selama 10 tahun berturut-turut atau Tiongkok yang mampu mencapai pertumbuhan tinggi selama 24 tahun secara terus-menerus.

"Kombinasi target jangka pendek untuk menjaga pasar tenaga kerja tidak terus memburuk dan kemampuan melihat jangka panjang harus dilakukan bersama-sama. Inovasi R&D harus mempersiapkan generasi berikutnya menjadi motor pertumbuhan dalam menghadapi lanskap masa depan yang berubah," pungkasnya.

Belajar dari Taiwan

Kendati transformasi dibutuhkan, Guru Besar Ekonomi University of Chicago Chiang Tai Hsieh mengingatkan, Indonesia perlu belajar dari pengalaman Taiwan pada dasawarsa 1970-an yang mengalami situasi hampir-hampir serupa dengan Indonesia saat ini, ekonomi ditopang usaha-usaha kecil, upah rendah, dan produktivitas stagnan.

Di tengah keadaan seperti itu, pemerintah Taiwan memutuskan mendiriklan Industrial Policy Research Institute, sebuah laboratorium terapan yang menghimpun peneliuti dari pemerintah, universitas, dan korporasi untuk bekerja dalam satu proyek besar membangun teknologi masa depan, yang hari ini dikenal sebagai semikonduktor atau chip.

Guru Besar Ekonomi University of Chicago Chiang Tai Hsieh bergabung melalui telekonferensi Zoom dalam seminar ""Industrial Policy: Improving Productivity through Innovation and R&D" di Jakarta, Senin (15/12/2025). Foto: Dewan Ekonomi Nasional

"Dekade tersebut adalah titik krusial, bukan hanya dari segi teknologi, tetapi juga pengembangan struktur manajemen bisnis agar penemuan tersebut memiliki pasar. Tanpa pasar yang jelas, anggaran penelitian akan langsung dipotong.. Ini langkah yang sangat ekstrem dan keras, tetapi dengan cara inilah, TSM berkembang menjadi perusahaan semikonduktor paling berpengaruh di dunia," ujar Chiang yang bergabung melalui telekonferensi Zoom.

Dengan kekuatan pendirian tersebut, Chiang menjelaskan, tidak sekali pemerintah Taiwan menghadapi taufan protes politik karena menempuh keputusan yang benar walau tidak populer. Contohnya, ketika pemerintah menghentikan pendanaan pembangunan pesawat terbang pada awal 1990-an karena pasar yang tidak siap menerima pesawat buatan Taiwan.

"Ini adalah pelajaran nomor satu: tidak penting seberapa yakin Anda percaya pada kebaruan dan keunggulan produk penelitian itu, jika Anda tidak bisa memasarkannya dan tidak bisa membuat pembeli yakin, produk itu adalah produk gagal. Apapun kebijakan R&D yang Anda tempuh, pikirkan satu hal: pastikan uang Anda berputar dalam produk itu, dengan pasar yang jelas," tandasnya.

Penelitian yang mendengar

Menyadari pentingnya penelitian dan inovasi R&D mendengarkan kebutuhan industri, Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan Adziman mengatakan, pihaknya saat ini memprioritaskan intervensi komprehensif yang bertumpu pada empat pilar:

  1. Upskilling sumber daya manusia sebagai fondasi utama kurikulum, guna mengatasi mismatch dengan industri;
  2. Meningkatkan kualitas R&D dengan membuka kemungkinan ilmuwan Indonesia berjejaring dengan sesama ilmuwan dari luar negeri;
  3. Menggalang kemitraan penelitian dengan berbagai universitas dan institusi riset dunia;
  4. Memastikan kebijakan pembangunan teknologi yang adaptif dan selaras dengan kebutuhan industri.

"Kami membuka gerbang, membangun solusi, dan melaksanakan pertukaran antara industri dan universitas dengan fokus membangun jembatan yang kuat, karena stagnasi bukan hanya menekan produktivitas sektor industri, tetapi juga menghambat inovasi para peneliti Indonesia," ucap Fauzan dalam kesempatan yang sama.

Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemdiktisaintek Fauzan Adziman menjelaskan empat pilar strategi intervensi komprehensif pemerintah di bidang R&D dalam sesi panel seminar "Industrial Policy: Improving Productivity through Innovation and R&D" di Jakarta, Senin (15/12/2025). Foto: Dewan Ekonomi Nasional

Bertumpu pada keempat pilar tersebut, transformasi paradigma Kemdiktisaintek akan mengubah penelitian yang semula berfokus pada topik atau produk menjadi penelitian yang fokus pada masalah dan mengukur sejauh mana dampak penelitian terhadap penyelesaian masalah. Penelitian tidak lagi semata-mata berdasarkan minat individu peneliti, tetapi berdasarkan tugas universitas sebagai complex problem solver.

"Kami menempuh dua jalur dalam membangun ekosistem tersebut. Dalam pemerataan penelitian, kami berinvestasi dalam Program Riset Prioritas, sedangkan untuk para peneliti yang memiliki kapasitas bagus, kami mendorong keikutsertaan dalam Program Riset Strategis yang menyediakan arah untuk penelitian dengan anggaran Rp2 miliar, 15 kali lipat lebih besar daripada anggaran riset selama ini," imbuhnya.

Baca juga:

Genjot Investasi Bidang Riset dan Inovasi Industri, Pemerintah Berlakukan Dua Skema
Untuk mendorong investasi di bidang riset dan inovasi industri, pemerintah memberlakukan dua skema program riset yang dibiayai negara yaitu Program Riset Prioritas (PRP) dan Program Riset Strategis (PRS).

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional