Berpacu menghadapi pelbagai tantangan operasional, sektor logistik dituntut terus berinovasi menciptakan rantai pasok yang andal, efisien, dan meningkatkan daya tarik investasi. Upaya memperkuat konektivitas rel dan maritim sebagai moda transportasi menjadi salah satu andalan untuk tidak hanya meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya logistik. Ini juga membantu mengurangi jejak karbon demi mencapai cita-cita net zero emission pada 2060.
Kiat-kiat alternatif tersebut dikemukakan para panelis Indonesian Logistic Leaders Forum yang menjadi bagian ALFI Convention and Exhibition (ALFI Convex) 2025 yang diselenggarakan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia, bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di ICE BSD City, Tangerang Selatan, Rabu (12/11/2025).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, dengan pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 8,62% year-on-year pada Kuartal-III 2025, sektor transportasi dan pergudangan berperan krusial menopang sektor-sektor produktif penopang pertumbuhan ekonomi, yakni industri manufaktur, pertanian, dan perdagangan.
Meski demikian, Airlangga mengakui, sampai saat ini, efektivitas logistik masih menjadi tantangan. Kemenko Perekonomian mencatat biaya logistik di Indonesia masih mencapai 14,29% PDB nasional, mengakibatkan Indonesia menduduki peringkat 63 dari 118 negara dalam Logistic Performance Index Bank Dunia.
Kondisi ini berdampak, tidak hanya untuk perekonomian domestik, tetapi juga menambah biaya ekspor dan menurunkan daya saing.
"Pemerintah berkomitmen membangun sistem logistik yang efektif, efisien, berdaya saing lewat pengembangan konektivitas infrastruktur, digitalisasi, dan penguatan jasa logistik. Untuk itu, kami mengundang seluruh pemangku kepentingan dalam transformasi besar agar pemerintah tidak berjalan sendiri, terutama masukan para profesional," ucap Airlangga yang bergabung melalui telekonferensi.
Mempertegas penjelasan Airlangga, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono menekankan bahwa tingginya biaya logistik paling dirasakan oleh masyarakat penduduk Indonesia Timur, mengingat infrastruktur dominan masih dibangun di Jawa. Situasi ini memanggil pemerintah agar lebih responsif menjawab tantangan tersebut.
"Dengan situasi Indonesia sebagai negara kepulauan, 91,25% moda transportasi logistik Indonesia masih angkurat darat, sementara alat transportasi maritim hanya 7,07%, kereta api 0,63%, dan udara 0,05%. Padahal, kalau kapasitas tiga moda terakhir bisa ditingkatkan, maka akan sangat menurunkan beban jalan raya dan meningkatkan efisiensi," ujarnya.

Ketua Umum Partai Demokrat yang karib disapa AHY itu menganjurkan Indonesia dapat berkaca dari negara maju yang menyandarkan keandalan dan efisiensi logistik mereka pada jalur kereta api. Saat ini, dengan upaya pemerintah membuka dan mereaktivasi 37 jalur kereta api baru, penguatan konektivitas barang berbasis rel akan menjadi fokus pemerintah ke depan.
Rekomendasi tersebut tidak lepas dari performa kereta api sebagai angkutan logistik. AHY mengilustrasikan, kapasitas satu rangkaian kereta dapat mengangkut muatan setara 30 truk. Dengan capaian PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yang mencatatkan ketepatan waktu keberangkatan 99,69% dan ketepatan waktu kedatangan 97,23%, efisiensi waktu pengiriman barang dapat benar-benar tercapai.
"Selain itu, kereta api juga hemat energi, sehingga lebih ramah lingkungan, karena konsumsi 1 liter bahan bakar untuk kereta api itu dapat digunakan menempuh jarak 199 kilometer, 3-4 kali lebih efisien daripada truk, sehingga jejak karbon bisa lebih kecil dan menekan emisi karbon dioksida," imbuhnya.
Melalui penguatan moda transportasi logistik alternatif, AHY menekankan agar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan perlu dibarengi dengan kesejahteraan yang adil, setara, dan inklusif. Rupa-rupa tantangan konektivitas, tegasnya, merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan ekosistem logistik nasional demi mencapai lompatan ekonomi yang menjadi target bersama.
Lebih cepat
Di samping penguatan moda transportasi logistik berbasis rel, optimasi konektivitas berbasis maritim juga menjadi solusi untuk menekan biaya logistik. Kuncinya, digitalisasi, integrasi pelabuhan dan industri, serta kompetensi mitra logistik untuk memenuhi kebutuhan dan standar layanan bertaraf internasional.
Presiden Direktur Pelindo Solusi Logistik Joko Noerhudha menjelaskan, sebagai trade facilitator, prinsip pelabuhan sangatlah sederhana: semakin cepat operasi pelabuhan, laba akan semakin besar, sebab kapal hanya menghasilkan keuntungan ketika mereka berlayar. Namun, Joko melihat salah satu biaya logistik tinggi adalah hubungan dari pelabuhan ke kawasan industri yang jauh. Akibatnya, barang masuk harus jalan menghabiskan waktu lama di jalan.
"Ini bisa diatasi dengan pengembangan reserved area, seperti di Pelabuhan Tanjung Priok selama dua tahun terakhir ini, yang terkoneksi langsung dengan Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC). Demikian juga di Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara, dan Pelabuhan Kijing di Kalimantan Barat yang dekat dengan lalu lintas pengiriman minyak sawit mentah (CPO)," ucap Joko.
Selain memastikan kawasan industri terhubung langsung dengan pelabuhan, digitalisasi menjadi standar yang diterapkan PSL lintas sektor, mulai dari pelayanan kapal sandar hingga pelayanan terminal. Standardisasi ini terbukti meningkatkan gross productivity hingga 74%, sekaligus menurunkan waktu sandar sampai 32% dengan pelayanan yang lebih cepat.
Menurut Joko, modernisasi dan standardisasi pelayanan digital PSL memangkas waktu pembongkaran 1.000 box dari 2 hari menjadi hanya 18 jam, sehingga total available sailing time meningkat 50%. Di Pelabuhan Belawan, standardisasi terminal bongkar muat curah kering memangkas waktu bongkar muatan 30.000 ton dari 5 hari menjadi hanya 1.5 hari.
"Karenanya, meski ongkos bongkar muat naik dari Rp90.000 menjadi Rp150.000 per metrik ton, total biaya logistik justru turun 40%. Banyak excess activity yang tidak diperlukan dan menjadi beban pelayaran berhasil kami hilangkan dengan standardisasi, peningkatan kapasitas kinerja bongkar muat, dan perbaikan layanan yang terus kami lakukan," tukas Joko.
Tantangan kompetensi
Meski inovasi dan peningkatan standar pelayanan terus dilakukan untuk mengefisienkan biaya logistik, permintaan pelanggan mancanegara yang dinamis membuat pengelola pelabuhan perlu memerhatikan kebutuhan mereka. Presiden Direktur Interport Mandiri Utama Adi Darma Shima melansir, ada empat aspek yang seringkali diminta oleh customer mancanegara pada layanan pelabuhan.
"Pertama adalah aspek safety dan low carbon emission. Kedua, on-schedule, mereka mau terima barang 14 hari sesudah sampai. Ketiga, transparansi, karena masih banyak sekali tarif-tarif undisclosed yang membuat pelanggan membandingkan dengan pelabuhan lain. Keempat, kompetensi mitra lokal, khususnya petugas loading," ucap Adi.
Berkaca dari pengalaman Interport dalam menjalankan usaha pengelolaan pelabuhan selama 21 tahun, Adi membaca keluhan dari customer mancanegara adalah layanan yang tidak memenuhi standar global. Untuk itu, penguatan kompetensi pekerja pelabuhan dan mitra logistik lokal, terutama di pelabuhan Indonesia Timur, menjadi prioritas yang harus diperhatikan untuk efisiensi biaya logistik.
"Untuk menang satu tender saja sangat susah, tetapi ketika kita berhasil dapat, customer kecewa karena pelayanan yang tidak kompeten dan tidak sesuai standar. Asosiasi saya kira berperan di sini, yaitu meningkatkan kompetensi mitra logistik di Indonesia Timur agar sesuai kebutuhan customer dari luar negeri," ujarnya.
Baca juga:

Mantan Ketua Umum ALFI yang kini menjabat Senior Vice President International Federation of Freight Forwarder Association (FIATA) Yukki Nugrahawan Hanafi menekankan, biaya logistik akan berkurang jika volume barang yang diperdagangkan naik, terutama ke Indonesia Timur. Meningkatkan permintaan demi mengatasi imbalance cargo, termasuk cara mengefisienkan biaya logistik.
"Artinya kita perlu kolaborasi besar. Kalau private sector dan pemerintah itu solid, tidak ada yang tidak mungkin, karena optimisme itu sudah ada. Ingat, konektivitas bukan hanya menggerakkan barang, tetapi membangun ekonomi, memberdayakan manusia, dan membentuk masa depan Indonesia," tegas Yuki.