Pemerintah Arahkan Gen Z Jadi Penggerak Ekonomi Digital

Pemerintah mengarahkan orang muda Generasi Z (kelahiran 1997-2012) menjadi penggerak ekosistem ekonomi digital, memaksimalkan momentum serta potensi ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai USD 360 miliar pada 2030.

Pemerintah Arahkan Gen Z Jadi Penggerak Ekonomi Digital
Sejumlah peserta mengikuti Program Pelatihan Gig Economy dan AI Open Innovation Challenge seusai peluncurannya di Jakarta Creative Hub, Jakarta, Kamis (19/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.
Daftar Isi

Pemerintah mengarahkan orang muda Generasi Z (kelahiran 1997-2012) menjadi penggerak ekosistem ekonomi digital, memaksimalkan momentum serta potensi ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai USD 360 miliar pada 2030. Pelatihan gig economy bagi Generasi Z serta inkubasi talenta digital untuk menciptakan solusi inovatif melalui perlombaan hackathon AI menjadi dua strategi utama yang akan dilaksanakan secara simultan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sesudah industri manufaktur dan stimulus fiskal, ekonomi digital menjadi mesin pertumbuhan ketiga yang setiap tahun bertumbuh eksponensial. Praktik gig economy, yaitu jenis pekerjaan fleksibel berbasis platform digital, merupakan salah satu komponen ekosistem ekonomi digital yang semakin diminati Gen Z, dan karenanya, pemerintah siap memberikan dukungan yang dibutuhkan.

"Tahun ini, sesudah 100.000 lulusan fresh graduate kita magangkan di korporasi, selebihnya akan ke gig economy. Dari ekosistem digital ini, yang kita kejar adalah intellectual property rights atau paten terdaftar. Kedua, pengembangan chip yang semakin penting karena industri elektronik kita sudah mengglobal," ucap Airlangga dalam peluncuran Program Pelatihan Gig Economy bagi Gen Z dan AI Open Innovation Challenge di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Menghadapi situasi perkembangan ekosistem digital yang sedemikian cepat, Airlangga menegaskan, pemerintah berfokus untuk mewujudkan kedaulatan teknologi dengan mengejar potensi lima industri besar, yakni data center, kendaraan listrik, personal computer (PC), telepon pintar, dan internet of things. Pengembangan ekosistem digital di sejumlah kawasan industri seperti KEK Batang, Cikarang, hingga Maluku saat ini tengah dalam proses penggodokan.

"Khusus untuk gig economy, dengan Kementerian Ekraf, kami siapkan KUR Rp10 triliun bagi pelaku gig economy yang mengembangkan proyek. Begitu proyeknya dapat, pemerintah bisa biayai lewat KUR dengan bunga 6%. Jika ada use case proyek senilai lebih dari Rp500.000.000, maka kami bisa buka juga, karena ini bisa mengakselerasi pertumbuhan," cetusnya.

Melalui pelatihan gig economy dan hackathon AI, pemerintah menyediakan pelatihan, co-working space, hingga akses pasar di 15 kota di seluruh Indonesia. Harapannya, titik-titik pertumbuhan ekosistem ekonomi digital tersebut menjadi solusi terhadap rendahnya proporsi tenaga kerja profesional di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang baru sekitar 0,8% dari total angkatan kerja Indonesia.

"Dengan ekosistem yang lengkap ini, ekonomi digital kita bisa mencapai target USD 360-420 miliar pada 2030. Maka, jika saat ini kita memiliki ekonomi digital sebagai mesin pertumbuhan, kita gas penuh sebagai akselerator yang mampu membuat ekonomi Indonesia lebih cepat mencapai pertumbuhan 8%," pungkas Airlangga.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) berbincang dengan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung (tengah) saat peluncuran Program Pelatihan Gig Economy dan AI Open Innovation Challenge di Jakarta Creative Hub, Jakarta, Kamis (19/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

Melengkapi penjelasan Airlangga, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan terima kasih dan apresiasi atas pemilihan Jakarta sebagai pilot project pengembangan ekonomi digital. Sebagai kota yang memberikan kontribusi 16,39% terhadap PDB nasional dan tumbuh 5,04% pada Kuartal-III 2025, ekonomi digital akan membantu Jakarta yang tengah mempersiapkan diri masuk dalam Top 50 Capital di tahun 2030 menegakkan visi sebagai kota global.

"Kami mengundang para peserta pelatihan mengikuti hackathon AI menyambut 500 tahun Jakarta. Hackathon ini bertemakan mencari solusi sampah dan mengatasi kemacetan sebagai kota global. Hadiahnya akan kami buat menarik, dan kalau perlu akan kami fasilitasi untuk Juara I dan II melihat dunia," cetus Pramono, yang segera diikuti tepuk tangan meriah.

Muda berdaya

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jababeka Group Tjahjadi Rahardja menyatakan, pelatihan gig economy yang diberikan kepada Gen Z bertujuan mendorong penguasaan lebih baik terhadap AI sebagai instrumen, dengan harapan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, sekaligus memulai karier dalam ekosistem yang relatif rendah risiko.

"Melalui pelatihan dan AI Innovation Challenge di mana peserta bootcamp belajar teknologi terkini dan menciptakan solusi inovatif, kita bukan hanya melakukan upgrading skill, tetapi juga membantu memecahkan masalah nyata, membangun digital talent pipeline, dan menciptakan suatu ekosistem inovasi," ucap Tjahjadi.

Bekerja sama dengan President University, pelatihan gig economy dan hackathon AI akan melanjutkan rekam jejak kegiatan serupa yang telah diselenggarakan Jababeka Group bersama KAI untuk merumuskan solusi implementatif yang dialami korporasi. Perlombaan semacam itu, selain mampu memetakan talenta muda, juga melatih Gen Z berpikir cepat dan praktikal layaknya seorang pelaku usaha (entrepreneur).

"Kami akan mengadakan hackathon lagi di bulan Februari 2026 yang akan datang, di samping memperluas agenda kerja sama, termasuk dengan Tiongkok, sesudah mahasiswa President University baru-baru ini mengikuti AI Conference dengan membawa autonomous robot yang berhasil mereka ciptakan di Indonesia," ujarnya.

Baca juga:

Anak Muda dan Harapan Perekonomian Bangsa
Dengan komposisi penduduk sebesar 70% usia produktif, tidak berlebihan rasanya mengandalkan anak muda untuk mendorong perekonomian nasional.

Sebelumnya, dalam kesempatan berbeda, Chief Cloud Officer Lintasarta Gidion Suranta Burus mengatakan, pengembangan talenta AI workforce akan menentukan karakteristik pasar ketenagakerjaan Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Untuk itu, Lintasarta berkomitmen menjadi enabler ekosistem AI melalui program pelatihan AI Merdeka yang terbagi menjadi Laskar AI dan Semesta AI.

"Laskar AI sudah mulai sejak awal 2025 dengan mengundang 500 peserta, dengan 400 berasal dari perguruan tinggi dan 100 dari perusahaan. Dari 500 peserta tersebut, sekitar 100 orang sudah menyatakan tertarik untuk kami bantu carikan pekerjaan di sektor industri AI yang sekarang sedang bertumbuh," ucap Gidion di Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Dalam waktu dekat, Lintasarta akan segera meluncurkan batch Laskar AI kedua yang membuka skema pelatihan co-funding dengan peserta. Tujuan pelatihan ini bukan hanya mengembangkan startup AI yang berdaya saing dan memperluas jejaring AI workforce, tetapi juga memperkuat pengembangan talenta digital yang akan menjadi bukti perkembangan pesat AI di negara-negara Selatan Bumi.

"Tantangannya banyak, maka itu kami mempertemukan peneliti, pelaku, dan perusahaan bersama-sama. Kolaborasi sekarang sudah tercipta, maka kami membutuhkan regulasi AI ke depan yang bukan sekadar mengatur AI ethics, tetapi juga intellectual property, siapa yang akan bertanggung jawab untuk itu, dan seperti apa penegakan hukum di ranah tersebut," pungkas Gidion.

Kualitas pekerjaan

Terlepas dari tujuan membuka kesempatan kerja bagi Gen Z, Peneliti Ekonomi Ketenagakerjaan LPEM FEB UI Muhammad Hanri menilai, karakteristik gig economy yang mengedepankan fleksibilitas jam kerja, hubungan kerja yang lebih longgar, serta peluang mengombinasikan beberapa aktivitas ekonomi dalam waktu bersamaan lebih cocok sebagai pekerjaan sampingan, bukan sebagai pekerjaan utama.

"Data statistik konvensional saat ini masih belum sepenuhnya menangkap dinamika gig economy yang dijalani Gen Z. Akibatnya, dalam survei resmi, aktivitas berbasis platform digital mungkin tercatat sebagai pekerjaan utama, atau justru luput dari kategori seharusnya, yaitu pekerjaan sampingan," jelas Hanri saat dihubungi, Kamis (18/12/2025).

Di samping jenis pekerjaan yang berpotensi tidak teridentifikasi dalam survei angkatan kerja konvensional, kualitas pekerjaan yang dipraktikkan dalam gig economy juga perlu mendapatkan perhatian. Meskipun menjanjikan fleksibilitas dan memungkinkan diversifikasi bidang pekerjaan, Hanri mengingatkan bahwa gig economy lebih optimal sebagai aktivitas mengoptimalkan waktu dan menambah pengalaman, bukan sebagai sumber utama penghasilan.

"Gig economy dapat menambah tekanan fisik maupun mental ketika dilakukan di luar jam kerja utama atau pada akhir pekan. Dalam jangka panjang, beban tambahan ini dapat memengaruhi kesehatan, produktivitas, dan keseimbangan kehidupan kerja. Fenomena ini dapat bernilai positif ketika lahir dari pilihan sadar, tetapi bisa menjadi beban ketika muncul sebagai mekanisme bertahan hidup," pungkasnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional

Baca selengkapnya