Pelajaran Berharga dari Peraih Nobel Ekonomi 2025 bagi Dunia Usaha

Intisari gagasan dari para peraih nobel ekonomi 2025 yakni "destruksi kreatif" sangat relevan dengan berbagai kemajuan perkembangan teknologi inovasi. Bagaimana ide ini bisa jadi pelajaran bagi dunia usaha Indonesia?

Pelajaran Berharga dari Peraih Nobel Ekonomi 2025 bagi Dunia Usaha
Daftar Isi

Peran inovasi dan mekanisme "destruksi kreatif" terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi benang merah Hadiah Nobel Ekonomi 2025. Bagi dunia usaha, penghargaan itu meresonansikan pelajaran berharga yakni investasi riset dan inovasi produk merupakan senjata menghadapi keniscayaan perubahan. Siapkah pengusaha Indonesia melakukannya?

Dari Stockholm, Akademi Swedia mengumumkan penghargaan Hadiah Sveriges Riksbank untuk Ilmu Ekonomi 2025 (atau biasa disebut Nobel Ekonomi) pada Senin (13/10/2025) waktu setempat. Nama dua guru besar berkebangsaan Amerika Serikat dan Inggris, Joel Mokyr dan Peter Howitt, serta satu guru besar berkebangsaan Prancis, Philippe Aghion, keluar sebagai penerima hadiah prestisius yang dianugerahkan setiap tahun sejak 1968 itu.

Dalam pernyataan tertulisnya, Akademi Swedia memilih Mokyr karena kontribusi karya-karya ilmiahnya yang menggunakan sumber-sumber sejarah untuk mengungkap asal-muasal pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai suatu kenormalan baru sejak revolusi industri dimulai.

"Mokyr mendemonstrasikan secara jelas, dengan inovasi yang berkesinambungan, kita tidak hanya mengetahui bahwa sesuatu bekerja, tetapi juga mengetahui mengapa sesuatu bekerja. Dia juga menekankan pentingnya masyarakat untuk terbuka pada gagasan-gagasan baru yang memungkinkan perubahan terjadi," tulis Komite Ekonomi Akademi Swedia yang diketuai Guru Besar Ekonomi Internasional Stockholm University, John Hassler.

Baca juga:

Wawancara Ekslusif: Ketua Komite Nobel Ekonomi Bicara soal Inovasi Dunia Usaha Kunci Cegah Stagnasi
Redaksi SUAR berkesempatan mewawancarai Ketua Komite Ekonomi Hadiah Nobel 2025 dan Guru Besar Ekonomi Internasional Stockholm University John Hassler melalui korespondensi tertulis via surel.

Sementara itu, Akademi Swedia juga memilih Aghion dan Howitt sebagai pemenang karena kontribusi keduanya dalam merumuskan sebuah model matematis yang menjelaskan mekanisme "destruksi kreatif" dalam artikel "A Model of Growth Through Creative Destruction" yang terbit di jurnal Econometrica, Vol. 60, No. 2 (1992).

Aghion dan Howitt mendeskripsikan "destruksi kreatif" terjadi saat produk-produk baru yang lebih baik dan inovatif akan mengalahkan perusahaan yang bertahan dengan produk-produk lama. Inovasi merepresentasikan kebaruan dan kreativitas, tetapi di saat yang sama juga destruktif dan menghancurkan produk-produk lama secara alamiah.

"Dengan cara masing-masing, para pemenang telah menunjukkan bahwa 'destruksi kreatif' menciptakan konflik yang harus dikelola secara konstruktif. Jika tidak, perusahaan besar yang berkepentingan dan kelompok-kelompok yang terancam dirugikan dapat memblokir inovasi yang akan lahir," pungkas pernyataan tersebut.

Ciptakan ekosistem menyeluruh

Mengikutsertakan inovasi sebagai butir penting dalam praktik bisnis menjadi keniscayaan bagi dunia usaha. Meski demikian, dalam konteks Indonesia, masih ada pekerjaan rumah membenahi ekosistem usaha dan ekosistem inovasi sebagai prasyarat agar inovasi industri dapat berjalan sesuai yang diharapkan, sekalipun membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan CEO Sintesa Group Shinta W. Kamdani menyatakan, inovasi industri membutuhkan ekosistem pendukung yang bersifat holistik, dinamis, terbuka, dan kolaboratif. Usaha memperbaiki ekosistem usaha dan ekosistem inovasi secara simultan dibutuhkan untuk mendorong industri berinovasi.

Shinta menjelaskan, sedikitnya terdapat tiga aspek penting dalam membenahi ekosistem tersebut, yaitu sumber daya manusia, iklim usaha yang diciptakan pemerintah, serta daya serap pasar. Dalam aspek pertama, bukan hanya kualitas luaran SDM perlu dibahas, melainkan juga kualitas sistem pendidikan yang mempersiapkan SDM itu.

"Misalnya sejauh mana sistem pendidikan memberikan insentif untuk aktivitas R&D yang menjual secara komersial atau dukungan pendanaan R&D di sektor pendidikan. Dalam hal ini, kerja sama pentahelix perlu dilakukan agar prasyarat ini bisa dipenuhi," ucap Shinta saat dihubungi SUAR, Selasa (14/10/2025).

Dalam aspek kedua, efisiensi cost of doing business, keterbukaan regulasi terhadap produk barang/jasa yang belum pernah ada sebelumnya, hingga perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap pembajakan dan pemalsuan produk inovatif menjadi kunci yang mendorong industri dapat berinovasi.

"Pelaku usaha hanya akan melakukan R&D bila luaran hasilnya menghasilkan return on investment yang baik secara komersial. Pemerintah perlu menciptakan iklim regulasi yang tidak hanya efisien, tetapi juga terbuka terhadap kolaborasi inovasi dan tegas mendukung persaingan usaha yang sehat," tegasnya.

Efektivitas sebuah produk inovatif hanya akan teruji apabila diterima secara responsif oleh pasar. Untuk itu, daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah yang meningkat secara bertahap dan stabil dari sisi jumlah maupun nominal daya beli, merupakan syarat mutlak. Artinya, permintaan yang tinggi niscaya menciptakan pasar yang kompetitif dari segi inovasi produk.

"Jangan berpikir bahwa dengan adanya insentif R&D atau insentif pengembangan SDM, inovasi industri akan jalan dengan sendirinya. Insentif turut membantu pelaku usaha, tetapi dia hanya sebagian kecil dari hal yang dibutuhkan untuk melakukan inovasi usaha secara berkesinambungan," pungkas Shinta.

Berbagi pandangan dengan Shinta, Presiden Direktur Sahid Jaya International Hariyadi Sukamdani menilai inovasi menjadi keniscayaan bisnis apapun, bahkan yang hanya menjual produk-produk basic seperti air mineral. Namun, prioritas terhadap inovasi masih belum diperhatikan sebagian besar pengusaha.

"Saya melihat kecenderungan pengusaha di Indonesia lebih banyak membeli produk inovasi yang sudah jadi daripada berinovasi melakukan research sendiri sampai dapat paten. Alasannya, di samping harus menyediakan biaya trial and error, waktunya untuk bisa masuk ke komersial juga tidak bisa dipastikan berapa lama," cetus Hariyadi saat dihubungi, Selasa (14/10/2025).

Sejauh ini, menurut Hariyadi, produk potensial yang dapat dikembangkan lewat investasi riset dan inovasi adalah turunan produk sawit guna meningkatkan nilai tambah yang lebih tinggi dari sekadar ekspor CPO. Selain dukungan institusional, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit memiliki dana untuk riset.

Meski kurang memprioritaskan, Hariyadi optimis bahwa mulai ada pengusaha yang memikirkan pentingnya berinvestasi pada riset dengan mendanai atau membeli penelitian yang dihasilkan universitas. Cara itu dapat menjadi alternatif selain mengembangkan departemen penelitian dan pengembangan di perusahaan sendiri.

"Kalau kita lihat secara keseluruhan, jumlahnya memang masih kecil. Padahal, kalau kita lihat, investasi di bidang riset itu memiliki margin yang besar. Cuma, pengusaha kurang sabar dan memilih membeli teknologi yang sudah jadi dan siap pakai, padahal kalau mau serius, nilai tambah produk hasil riset itu besar," tukasnya.

Semakin relevan

Selain memberikan pelajaran bagi dunia usaha, penghargaan Nobel Ekonomi 2025 juga memiliki sejumlah pesan implisit tentang dunia saat ini. Pengajar keuangan internasional Universitas Katolik Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menilai, meski inovasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi telah lama disadari, relevansinya semakin terasakan akhir-akhir ini.

"Inovasi menjadi relevan karena dunia menghadapi kemandekan pertumbuhan akibat geopolitik yang ruwet sehingga sumber-sumber pertumbuhan domestik tak akan lagi mendorong pertumbuhan. Selain itu, revolusi AI perlu dilihat dengan perspektif endogenous growth dan proses destruksi kreatif yang ditawarkan ketiga pemenang Nobel 2025 ini," jelas Prasetyantoko kepada SUAR, Selasa (14/10/2025).

Perbedaan kebangsaan tiga pemenang, menurut Prasetyantoko, juga memiliki makna bahwa Komite Nobel sedang menegaskan kembali makna multilateralisme tidak bisa ditolak, sekalipun saat ini sedang mendekati kematiannya.

"Howitt sangat menentang kebijakan Trump, sementara Aghion menyarankan agar belajar dari Tiongkok. Kemenangan mereka jadi mewakili perspektif multilateral yang terancam akhir-akhir ini," ungkapnya.

Bagi Indonesia, keunggulan inovasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi menjadi ajakan agar Indonesia tidak lagi mengandalkan sumber daya alam konvensional seperti mineral dan batubara, melainkan fokus pada nilai tambah industri serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu melakukan "destruksi kreatif".

"Di luar semua itu, harus ada tata kelola, regulasi, dan kelembagaan yang solid agar alokasi untuk memperbaiki tatanan dan sistem perekonomian tidak menguap dan jatuh ke tangan koruptor," imbuh Prasetyantoko.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional