Neraca Perdagangan Tetap Tumbuh Di Tengah Penurunan Ekspor ke Amerika Serikat

China masih tercatat sebagai negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2025, diikuti oleh Amerika Serikat pada posisi kedua dan India di peringkat ketiga.

Neraca Perdagangan Tetap Tumbuh Di Tengah Penurunan Ekspor ke Amerika Serikat
Foto udara aktivitas bongkar muat peti kemas di PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), Surabaya, Jawa Timur, Senin (8/9/2025). (ANTARA FOTO/Moch Asim/tom.)

Penerapan tarif impor tinggi yang mulai diberlakukan Amerika Serikat sebesar 19 persen sejak awal Agustus berdampak pada penurunan ekspor ke Amerika pada Agustus 2025.

Badan Pusat Statistis (BPS) pada Rabu (10/1/2025) merilis nilai ekspor ke Negeri Paman Sam itu hanya mencapai USD 2,72 miliar, atau menyusut sekitar 12,39% dibanding bulan sebelumnya.

Sementara itu, China masih tercatat sebagai negara tujuan ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2025, diikuti oleh Amerika Serikat pada posisi kedua dan India di peringkat ketiga.

Nilai ekspor ketiga negara ini memberikan share sebesar 41,2 persen dari total ekspor, demikian laporan BPS.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menjelaskan, nilai ekspor nonmigas ke China mencapai USD40,44 miliar, atau sekitar 22,97% dari keseluruhan ekspor nasional.

“Nilai ekspor nonmigas ke China tercatat USD40,44 miliar,” ujar Habibullah dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar ekspor nonmigas Indonesia ke China masih didominasi oleh produk besi dan baja dengan nilai mencapai USD11,77 miliar. Setelah itu, ada komoditas bahan bakar mineral yang menyumbang sekitar USD5,91 miliar, serta nikel beserta turunannya yang tercatat senilai USD4,59 miliar dolar AS.

Kondisi ini terjadi di tengah capaian surplus neraca perdagangan selama 64 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

Data BPS menunjukkan nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2025 mencapai USD24,96 miliar atau naik 5,78% dibandingkan Agustus 2024. Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, neraca perdagangan barang Indonesia mencatat surplus US$29,14 miliar, naik US$10,13 miliar secara tahunan.

Sedangkan nilai ekspor total mencapai US$185,13 miliar, naik 7,72% dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Namun demikian, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit dengan sejumlah mitra dagang utama. Tiga negara yang paling besar menyumbang defisit yakni China dengan nilai mencapai USD13,09 miliar, disusul Singapura sebesar USD3,55 miliar, serta Australia senilai USD3,49 miliar.

Pemerintah Amerika memberlakukan tarif dasar universal 10% untuk semua negara, kemudian menambahkan tarif resiprokal lebih tinggi bagi negara tertentu. Indonesia termasuk yang dikenakan tarif 19%, sementara negara lain seperti Vietnam dikenai hingga 46% dan China menghadapi tambahan tarif sektoral.

Tarif resiprokal

Peneliti Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, menilai penurunan ekspor ke Amerika secara bulanan kemungkinan besar dipengaruhi tarif resiprokal dan pengetatan regulasi impor Amerika Serikat (AS).

“Misalnya, FDA sempat menolak produk udang Indonesia karena kontaminasi Cesium-137,” kata Deni.

Ia juga menyebut pelemahan permintaan konsumen Amerika akibat inflasi dan suku bunga tinggi serta pola belanja menjelang musim liburan sebagai faktor tambahan.

Deni menekankan di sisi lain, ekspor Indonesia menunjukkan ketahanan di tengah tekanan global.

“Peningkatan ekspor pada bulan Agustus ini menunjukkan ketahanan sektor ekspor di tengah tekanan penurunan pertumbuhan global,” ujarnya.

Menurutnya, kinerja ini didorong oleh ekspor nonmigas, khususnya lemak dan minyak hewan nabati termasuk sawit, serta nikel dan produk turunannya.

Ia menjelaskan data BPS menunjukkan kenaikan ekspor ke beberapa negara lain seperti ekspor ke Tiongkok pada Agustus naik 16,03% menjadi US$5,98 miliar, ke Malaysia naik 7,80% menjadi US$1,05 miliar, dan ke Australia naik 13,87% menjadi US$0,36 miliar. Ekspor ke Korea Selatan juga meningkat 5,12% dan ke Italia 8,14%.

"Kenaikan ini ikut mengimbangi penurunan ekspor ke Amerika," ujar dia.

Menurut Deni, pemulihan industri di Tiongkok, terutama sektor manufaktur dan konstruksi, mendorong permintaan bahan baku seperti nikel, sawit, dan batu bara.

Untuk Malaysia, peningkatan terjadi karena peran negara itu sebagai hub produk intermediate Indonesia, khususnya CPO dan olahannya. Sedangkan untuk Uni Eropa, kenaikan ekspor terkait dengan upaya diversifikasi dari penurunan ekspor ke AS akibat tarif baru.

Data BPS mencatat sepanjang Januari hingga Agustus 2025 ekspor ke kawasan ASEAN mencapai US$34,19 miliar atau naik 17,36% secara tahunan. Ekspor ke Uni Eropa pada periode yang sama juga meningkat 11,81% menjadi US$12,76 miliar. 

Deni menegaskan meskipun terjadi kenaikan ekspor ke berbagai negara, pasar Amerika tidak boleh diabaikan.

“Dari segi stabilitas dan margin, pasar Amerika tetap penting,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, memaksimalkan hubungan dagang dengan negara lain harus terus digencarkan.

Deni menilai diversifikasi pasar tidak hanya persoalan besaran nilai ekspor semata, melainkan upaya untuk menjaga kualitas produk serta merawat hubungan dagang.

Foto udara kapal mengangkut peti kemas saat lego jangkar di perairan Ternate, Maluku Utara, Sabtu (27/9/2025). (ANTARA FOTO/Andri Saputra/sgd)

Tidak Dominan

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menilai ekspor ke Amerika porsinya memang tidak dominan.

“Ekspor kita ke Amerika tidak lebih dari 10%, masih ada 90% di luar Amerika,” ujarnya.

Menurutnya, penurunan ekspor ke Amerika akibat tarif 19% membuat importir di sana menguji ulang apakah produk Indonesia tetap kompetitif dibanding negara lain.

Benny menjelaskan importir AS tidak serta-merta meninggalkan produk Indonesia karena khawatir kehilangan pasar. Namun mereka mengecilkan volume terlebih dahulu sembari melihat dampak tarif.

“Kalau dia keluar dari pasar, tentu dia akan sulit kalau mau masuk pasar lagi. Dia tetap harus ada, tapi volumenya dikecilin dulu,” katanya.

Senada dengan Deni, Benny menilai pasar China, Malaysia, dan Uni Eropa menjadi semakin menjanjikan. Menurutnya, peluang ekspor khusus ke Uni Eropa terbuka lebar dengan rencana penghapusan tarif pada 2027.

“Mayoritas HS kita akan dijadikan nol ke sana. Ini akan jadi semacam promo pertama,” katanya.

Dari sisi sektor, Benny menekankan produk manufaktur paling potensial sebagai penggerak ekspor di luar Amerika.

“Sektor manufaktur tentu, karena komoditas mentah harganya selalu ada patokan harga dunia. Yang tidak ada bursanya kan barang-barang manufaktur,” ujarnya.

Menurutnya, produk manufaktur memiliki nilai tambah lebih besar dan dapat berkontribusi signifikan pada penciptaan lapangan kerja.

Ia menambahkan tantangan utama eksportir saat ini adalah akses informasi pasar baru dan birokrasi. Benny menyebut banyak HS code yang sudah tercakup dalam perjanjian perdagangan bebas tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Menurutnya, kebijakan Tarif Trump menjadi desakan bagi eksportir Indonesia untuk mencari peluang dengan lebih kreatif di pasar negara lain. Benny mengingatkan keterlambatan ini akan berdampak ada pengenaan denda serta turunnya kepercayaan pembeli internasional.

Pada titik ini Benny menilai pentingnya kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong untuk produk yang akan diekspor. “Kalau bahan bakunya datang terlambat, ya nguber-nguber untuk commitment delivery-nya juga terlambat,” ujarnya.