Menghitung Angka Alfa yang Dapat Menaikkan Kesejahteraan Pekerja

Setiap tahun, perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) menimbulkan perdebatan dan berujung dengan ketidakpuasan baik di pihak pekerja/buruh maupun pemberi kerja. Pembahasan selalu terkait dengan kesenjangan antara UMP dengan realitas Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terjadi di berbagai daerah. 

Menghitung Angka Alfa yang Dapat Menaikkan Kesejahteraan Pekerja

Bagi dunia usaha, Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi pedoman biaya produksi yang perlu dikeluarkan memengaruhi daya hidup perusahaan. Sedangkan bagi pekerja, standar minimum itu menjadi ukuran masih mampukah mereka menjalani hidup yang layak.

Pahitnya realitas hidup mesti dihadapi pekerja/buruh karena kesenjangan antara UMP dan KHL yang semakin lebar. Kekhawatiran menurunnya daya beli terus menghantui.

Analisis Tim SUAR terhadap selisih atau gap nominal antara UMP 2025 dan KHL 2026 menunjukkan potret kesejahteraan pekerja/buruh yang timpang di Indonesia.

Berdasarkan tiga kategorisasi yang disusun (Aman-Moderat-Kritis), hanya terdapat tiga provinsi yang masuk dalam kategori Aman dengan gap positif dalam arti UMP lebih tinggi dari KHL. Ketiga provinsi itu adalah Sulawesi Barat, Aceh, dan Sumatera Selatan. Ini berarti hanya sekitar 7,9% wilayah di Indonesia yang upah minimumnya sudah memenuhi atau berada di atas standar hidup layak. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pekerja di Indonesia masih berjuang di bawah garis kelayakan biaya hidup yang sesungguhnya.

Kategori Moderat atau Menengah adalah gap negatif dengan KHL lebih tinggi antara Rp 1 hingga Rp 1 juta dibandingkan UMP, terjadi di 39,5% atau sekitar 15 provinsi di Indonesia. Wilayah-wilayah ini tersebar mulai dari sebagian besar Sulawesi, DKI Jakarta, sebagian Sumatera seperti Riau dan Sumatera Utara, hingga kawasan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Meskipun gap tidak sedalam pada kategori kritis, pekerja di wilayah ini juga menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan karena pendapatan mereka tidak mampu menutupi seluruh komponen kebutuhan dasar secara ideal.

Adapun pada kategori Kritis, yang dialami lebih dari separuh provinsi di Indonesia (52%) terjadi gap negatif dengan kesenjangan yang lebih tinggi, yaitu KHL lebih tinggi (di atas Rp 1 juta) dibandingkan UMP. Sebanyak 20 provinsi berada dalam lubang defisit yang dalam, dengan D.I. Yogyakarta ( minus Rp 2,34 juta), Bali (minus Rp 2,26 juta), Kalimantan Timur (kminus Rp 2,16 juta), dan Kepulauan Riau (minus Rp 2,09 juta) menempati puncak teratas sebagai wilayah dengan gap negatif paling tinggi. 

Provinsi-provinsi yang menjadi pusat kawasan industri besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten juga termasuk dalam kategori kritis ini. Hal tersebut menandakan bahwa pertumbuhan industri belum berbanding lurus dengan kesejahteraan pekerja di kawasan tersebut.

Untuk memperkecil kesenjangan ini, penggunaan variabel alfa dalam formula Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 menjadi sangat menentukan. Berdasarkan simulasi, provinsi yang termasuk dalam Kluster Aman yang memiliki gap positif tidak memerlukan dorongan alfa tinggi, cukup mengikuti inflasi. Seperti contohnya Sumatera Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.

Sementara pada provinsi dalam kluster Moderat atau Menengah seperti DKI Jakarta dan Lampung memerlukan nilai alfa di rentang 0 - 5,0 untuk mencapai KHL. Jika diupayakan, kelompok ini masih mungkin mengejar standar hidup layak jika regulasi memberikan fleksibilitas di atas batas alfa 0,30 yang berlaku saat ini.

Namun, tantangan terbesar berada pada Kluster Kritis yang memerlukan nilai alfa di atas 5,0, seperti D.I. Yogyakarta (19,5) dan Jawa Barat (16,6). Nilai alfa setinggi ini dianggap tidak realistis dalam formula standar karena menuntut pertumbuhan ekonomi dikalikan hingga belasan kali lipat untuk mencapai angka KHL. 

Perbedaan antarwilayah ini memberikan sinyal kuat bagi pengambil kebijakan bahwa tanpa terobosan formula yang lebih baik, kesenjangan antara upah minimum dan kehidupan layak di wilayah-wilayah kategori kritis tersebut akan menimbulkan gejolak yang dapat memengaruhi perekonomian nasional.

Jika perhitungan menggunakan angka alfa maksimal berdasarkan PP Nomor 51/2023, yaitu 0,5 - 0,9, maka provinsi-provinsi yang berada di kategori Kritis seperti D.I. Yogyakarta, Bali, dan Kepulauan Riau tidak akan pernah bisa mengejar standar KHL.

Perhitungan dengan angka alfa 0,5 - 0,9 bisa jadi cukup efektif untuk menjaga daya beli pekerja agar tidak semakin terperosok. Namun, angka itu kurang tepat untuk memperkecil kesenjangan antara upah dan standar hidup layak yang saat ini di banyak daerah sudah telanjur jauh.