Keberhasilan Indonesia menekan utang luar negeri sebesar USD 8 miliar pada Kuartal-III 2025 menjadi bukti stabilitas makroekonomi dan kemampuan pemerintah dan dunia usaha melakukan manajemen risiko secara tepat dan terukur. Di samping menjadi titik tolak pemulihan kepercayaan dunia usaha mendapatkan pembiayaan luar negeri, keberhasilan ini menjadi alat ungkit (leverage) daya tawar Indonesia di KTT G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, akhir pekan ini.
Bank Indonesia (BI) mengumumkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia turun 1,82% ke posisi USD 424,4 miliar pada Kuartal-III 2025, dari sebelumnya sebesar USD 432,3 miliar pada Kuartal-II 2025.
Secara tahunan, ULN Indonesia berkurang 0,6% year-on-year (YoY) pada Kuartal-III, setelah pada Kuartal III-2024 sebesar USD 426,84 yang antara lain dipengaruhi melambatnya pertumbuhan ULN di sektor publik serta kontraksi ULN di sektor swasta.
Secara rinci, ULN pemerintah tercatat USD 210,1 miliar, tumbuh 2,9% YoY pada Kuartal-III, melambat dibandingkan pertumbuhan 10,0% YoY pada triwulan sebelumnya.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, sebab perlambatan ini dipengaruhi perlambatan aliran masuk modal asing pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Dalam posisi tersebut, utang jangka panjang mendominasi hingga 99,9% total ULN pemerintah.
"Sebagai salah satu instrumen pembiayaan APBN, ULN pemerintah dikelola secara cermat, terukur, dan mendukung pembiayaan program-program prioritas, antara lain sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial, administrasi pemerintahan, pendidikan, konstruksi, transportasi dan pergudangan, serta jasa keuangan dan asuransi," jelas Denny dalam pernyataan tertulisnya, Senin (17/11/2025).
Sementara itu, ULN sektor swasta tercatat USD 191 miliar, lebih rendah daripada posisi di Kuartal-II sebesar USD 193,9 miliar, atau terkontraksi sebesar 1,9% YoY.
Perkembangan ini melanjutkan kontraksi ULN lembaga keuangan sebesar 3,0% YoY dan kontraksi ULN perusahaan bukan lembaga keuangan sebesar 1,7% YoY. Industri manufaktur, jasa keuangan dan asuransi, pengadaan listrik dan gas, serta pertambangan dan penggalian menjadi empat sektor dengan ULN terbesar.
Dengan kesehatan portofolio ULN yang terjaga dengan baik, ditandai dari rasio utang sebesar 29,1% terhadap PDB pada Kuartal-III dan dominasi 86,1% ULN jangka panjang dari total utang, pemerintah berkomitmen memantau dan berkoordinasi dalam perkembangan ULN untuk menopang pembiayaan pembangunan, di samping meminimalkan risiko yang memengaruhi stabilitas.
Tetap hati-hati
Terlepas dari struktur ULN yang sehat karena didominasi utang jangka panjang, pemerintah dan dunia usaha tetap perlu mengantisipasi sejumlah risiko serta mempersiapkan langkah-langkah strategis. Bagaimanapun, utang adalah pisau bermata ganda, yang bisa menjadi bukti kebijaksanaan pengelolaan pembiayaan dan risiko, tetapi juga merupakan sinyal perlunya penguatan dorongan investasi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar menggarisbawahi, sekalipun penurunan ULN membantu menjaga persepsi stabilitas neraca dan risiko eksternal Indonesia, dunia usaha memiliki pertimbangan lain dalam mengupayakan pembiayaan luar negeri, termasuk arah suku bunga global, stabilitas nilai tukar, dan ketersediaan likuiditas global.
"Banyak perusahaan saat ini masih berhati-hati untuk mengambil pinjaman valuta asing jangka panjang karena suku bunga global masih cukup tinggi, volatilitas dolar Amerika Serikat masih kuat, dan permintaan global masih belum cukup stabil," ujar Sanny saat dihubungi SUAR, Selasa (18/11/2025).
Situasi penurunan ULN Indonesia saat ini, menurut Sanny, harus diakui menjadi awal pemulihan kepercayaan pengusaha secara bertahap. Namun, pengambilan keputusan untuk mencari pembiayaan dari luar negeri tetap harus sangat hati-hati dan bijak, dengan memperhitungkan stabilitas nilai tukar, biaya pinjaman, serta pola penguatan permintaan global yang konsisten beberapa waktu ke depan.
Berbagi pandangan dengan Sanny, Kepala Ekonom The Indonesian Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai, penurunan ULN menjadi indikasi bahwa investasi asing mengalami tren pertumbuhan yang menurun, terutama karena penanaman modal asing biasanya membutuhkan pinjaman dari bank-bank di luar negeri, baik sebagai modal kerja maupun investasi.
"Kalau kita perhatikan, penurunan ULN lebih banyak terjadi pada ULN korporasi, terutama di sektor pertambangan, ketenagalistrikan, dan industri pengolahan. Di satu sisi, penurunan ULN korporasi tersebut menunjukkan upaya korporasi memperbaiki posisi keuangannya. Di sisi lain, itu artinya dorongan investasi yang dilakukan korporasi juga berkurang," jelasnya.
Baca juga:

Pengumuman penurunan ULN saat ini, menurut Sunarsip, tetap perlu disikapi secara hati-hati, betapapun perlu diapresiasi. Dia mengingatkan, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia membutuhkan peran investasi korporasi, khususnya korporasi swasta yang lebih tinggi. Menggerakkan penanaman modal secara kuantitas maupun kualitas menjadi pekerjaan rumah terdekat yang harus diperhatikan segera.
"Fakta menunjukkan, relatif terbatasnya pertumbuhan ekonomi yang tumbuh 5% dalam tiga tahun terakhir disebabkan rendahnya kontribusi investasi di sektor swasta. Penurunan ULN korporasi mesti menjadi perhatian pemerintah, khususnya terkait tujuan mengejar pertumbuhan investasi dan kenaikan PDB," pungkasnya.
Angkat daya tawar
Selain menjadi instrumen mengukur stabilitas perekonomian domestik, ULN Indonesia yang turun juga mengandung kekuatan simbolis mendorong percepatan reformasi institusi keuangan global di KTT G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, 22-23 November 2025 yang akan datang.
Sebagai negara besar di Selatan Bumi, pengalaman Indonesia dapat mengamplifikasi kepentingan negara-negara debitur yang kini berada di jurang kebangkrutan akibat pinjaman yang memicu ketergantungan dan krisis utang, alih-alih membawa kesejahteraan.
Direktur Eksekutif International NGO Forum for Indonesian Development (INFID) Siti Khoirun Ni'mah menegaskan, dengan lebih dari 800 juta penduduk bumi hidup dengan biaya di bawah USD 3 per hari dan situasi utang global yang mengkhawatirkan, Indonesia dapat menjadi suara yang melantangkan pentingnya arsitektur keuangan global yang adil bagi negara berpendapatan rendah.
"Arsitektur ekonomi global saat ini menggambarkan negara yang terlambat membayar utang memiliki ekonomi yang berbahaya dan memperingatkan investor di sana berhati-hati. Saat reputasi negara itu memburuk, mereka terpaksa memperketat fiskal, mengurangi belanja sosial, dan memprivatisasi aset-aset nasional," ucap Ni'mah di Jakarta, Senin (17/11/2025).
Dengan sebagian besar utang negara berkembang dilakukan dengan mata uang Dolar Amerika Serikat, kenaikan suku bunga sebanyak 11 kali dengan rata-rata 3,25% antara 2022-2024 terbukti mendepresiasi nilai mata uang lokal dan membuat biaya-biaya impor semakin tinggi. Bunga utang yang semakin tidak bersahabat pun memperparah situasi perekonomian di negara-negara yang terancam bangkrut itu.
"G20 harus konsisten dengan prinsipnya: pertumbuhan yang kuat, inklusif, dan seimbang. Kesepakatan para pemimpin bisa memberi tekanan kepada Bank Dunia memastikan pembiayaan itu benar-benar mengentaskan kemiskinan, dan Indonesia bisa mendapat momentum memperkuat kepentingan negara-negara di Selatan Bumi, selain memperkuat kerja sama di bidang keuangan," tandas Ni'mah.