Kesenjangan Upah Berpotensi Picu Pergeseran Industri ke Jawa Tengah

Kawasan industri Cikarang dan Karawang yang selama ini menjadi pusat manufaktur di Jawa Barat mulai ditinggalkan sebagian pelaku industri.

Kesenjangan Upah Berpotensi Picu Pergeseran Industri ke Jawa Tengah
Pekerja menyelesaikan pembuatan sepatu di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Banten, Jumat (14/11/2025). Foto: Antara/Putra M. Akbar/bar.
Daftar Isi

Di ujung telepon, Agus Darsana (58) menceritakan awal dia hijrah ke Ibu Kota Jakarta untuk mencari kerja. Berpindah kerja dari profesi satu ke yang lain membawa Agus mantap pindah dari Klaten pada 1990.

Sempat membantu orang tua sebagai buruh tani, hingga sopir angkutan, Agus kemudian menjajal menjadi buruh pabrik di salah satu pabrik alas kaki ternama di Tangerang.

"Dulu itu kerja pasti belum dapat. Jadi yang penting cari kerja dapat. Awalnya ke Jakarta tapi enggak dapat-dapat akhirnya ke Tangerang ada tawaran kerja di pabrik sepatu," kata dia kepada SUAR, Senin (24/11).

Di Klaten, ia mengatakan lapangan kerja tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan bekerja di pabrik sepatu itu, ia berharap bisa meningkatkan ekonomi keluarganya di kampung.

Staff PT Victory Chingluh Indonesia ini mengatakan dengan menjadi buruh, lambat laun upahnya diharapkan naik setiap tahun. "Kalau ada naik upah itu anugerah bagi kami karena kebutuhan pasar sehari-hari juga naik," kata dia.

Namun ada kabar yang cukup mengkhawatirkan dirinya dan ribuan buruh lainnya saat perusahaan tempatnya bekerja selama puluhan tahun itu akan membuka pabrik baru di Cirebon pada 2027. Belum pasti apakah ribuan buruh pekerja akan turun berpindah, namun Agus mengatakan tingginya cost, perbedaan UMP dan keterbatasan lahan menjadi pemicunya.

Upah minimum kedua kota itu terbilang berbeda cukup jauh. Cirebon di angka Rp2,7 juta sementara Tangerang di angka Rp4,9 juta.

"Agak kecewa dengan disparitas yang besar ini, harga bahan pokoknya sama antara Tangerang dan Cirebon, tapi gajinya bedanya bisa 40%. Di sana hanya ada keterpaksaan kerja karena lapangan kerja sempit, jadi ujungnya terpaksa dan dipaksa dengan keadaan. Orang kan nggak mau juga dianggap pengangguran," keluhnya.

Berdasarkan laporan CBRE Advisory Services Indonesia awal pekan lalu, kawasan industri Cikarang dan Karawang yang selama ini menjadi pusat manufaktur di Jawa Barat mulai ditinggalkan sebagian pelaku industri.

Pergeseran ini dipicu kecenderungan perusahaan mencari daerah dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Langkah relokasi terutama terjadi pada sektor padat karya yang sensitif terhadap upah.

“Memang ada beberapa juga yang pindah dari barat ke khususnya ke tengah,” ujar Head of Research and Consulting CBRE Advisory Services Indonesia, Anton Sitorus, pada Selasa (18/11/2025).

Tingginya upah minimum di kedua kawasan itu menjadi salah satu faktor yang mendorong relokasi.

Pemerintah daerah menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) Kabupaten Bekasi untuk 2025 sekitar Rp5,55 juta dan UMK Karawang sekitar Rp5,59 juta. Kedua wilayah ini tercatat sebagai daerah dengan upah tertinggi di Jawa Barat.

Perbedaan upah antarwilayah terlihat jelas ketika dibandingkan dengan daerah yang menjadi tujuan relokasi. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sekitar Rp2,16 juta, sementara UMK di beberapa kabupaten berada di kisaran Rp2,17 juta.

Selisih itu menjadi salah satu alasan industri padat karya mengalihkan operasi ke wilayah itu . “Sementara di Jawa Tengah itu masih jauh sekali, UMP-nya itu masih rendah sekali di sana,” ujar Anton.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan lebih dari delapan ribu perusahaan manufaktur skala menengah dan besar beroperasi di provinsi ini pada 2023 sampai 2024.

Pemerintah provinsi Jawa Barat mencatat selama ini kawasan industri manufaktur masih terkonsentrasi di koridor Bekasi, Karawang, hingga Purwakarta. Menurut Anton area seperti Batang dan Jatiluhur kini juga masuk radar perluasan pabrik, dan arus perpindahan itu sudah menjalar sampai ke daerah Subang sebelum bergerak lebih jauh ke timur. 

Bukan hal baru

Menyikapi fenomena ini, peneliti ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menjelaskan perpindahan industri dari Cikarang dan Karawang bukan fenomena baru, melainkan bagian dari siklus aglomerasi dan disaglomerasi.

Sejak lama pusat bisnis terbentuk di wilayah dengan infrastruktur dan akses logistik terbaik, sehingga Jakarta dan sekitarnya menjadi magnet industri. Namun ketika biaya tanah meningkat, kemacetan bertambah, dan keuntungan lokasi menurun, pusat produksi mulai bergeser ke daerah lain. Relokasi seperti ini, menurutnya, telah terjadi berulang kali seiring perubahan struktur biaya dan daya tarik suatu kawasan.

Deni menambahkan perubahan pola relokasi saat ini tidak hanya disebabkan oleh faktor upah, tetapi juga oleh menyebarnya infrastruktur ke berbagai daerah. Dulu keunggulan Bekasi dan Jakarta banyak ditopang kedekatan dengan pelabuhan dan akses jalan utama, sementara kini fasilitas serupa tersedia di wilayah seperti Semarang.

Perkembangan pelabuhan dan jaringan logistik di beberapa kota membuat biaya distribusi lebih kompetitif di luar Jabodetabek. Kondisi ini ikut mengurangi keunggulan geografis kawasan industri lama.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, melihat relokasi industri sebagai dampak dari kalkulasi jangka panjang perusahaan terhadap beban upah. Investor biasanya menghitung perkembangan UMP bertahun-tahun ke depan dan menilai apakah kenaikannya masih sesuai kemampuan usaha.

Menurutnya, dinamika penetapan upah yang setiap tahun memunculkan polemik dan aksi demonstrasi turut menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. “Kadang-kadang kenaikan UMP itu sudah melampaui kemampuan mereka,” ujar Sarman.

Sarman menyebut perpindahan pabrik ke daerah dengan upah lebih rendah juga membawa konsekuensi bagi pekerja di kawasan industri lama. Sarman menilai daerah seperti Cikarang dan Karawang bisa kehilangan lapangan kerja jika perusahaan memilih bergeser ke wilayah lain. Pekerja yang mengikuti relokasi pun berhadapan dengan penurunan upah karena standar pengupahan di Jawa Tengah berada jauh di bawah Jabodetabek. 

“Kita perlu mencari format pengupahan yang tidak menimbulkan polemik setiap tahun,” kata Sarman.

Pengunjuk rasa dari gabungan aliansi buruh Bogor melakukan aksi jalan kaki menuju Kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/11/2025). Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya/tom.

Sistem pengupahan nasional

Ketua umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Ilhamsyah, melihat kenaikan upah nasional yang diterapkan secara seragam justru memperbesar disparitas. Daerah dengan upah tinggi dan daerah dengan upah rendah mengalami kenaikan dalam persentase yang sama, padahal titik awalnya berbeda jauh.

Dampak paling nyata bagi buruh, menurut Ilhamsyah, adalah pemutusan hubungan kerja ketika perusahaan memindahkan pabrik. Pekerja akan sulit mengikuti relokasi karena standar upah di daerah tujuan berbeda besar dari lokasi asal.

“Bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan relokasi, dia pasti akan melakukan PHK,” kata Ilhamsyah. Industri padat karya seperti garmen, tekstil, dan sepatu menjadi kelompok yang paling terdampak karena jenis produksi mereka relatif mudah dipindahkan.

Untuk mengatasi kesenjangan upah dan meminimalkan relokasi, Ilhamsyah mendorong pemerintah menata ulang sistem pengupahan nasional.

“Untuk daerah yang upahnya kecil, persentasenya harus lebih tinggi supaya ada keseimbangan. Pemerintah juga perlu membuat undang-undang khusus pengupahan yang mengatur disparitas antarwilayah dan antarjabatan. Dan yang paling penting, negara harus segera membangun perumahan pekerja dan transportasi terintegrasi di kawasan industri agar beban hidup buruh tidak terus meningkat.” katanya.

Ketua Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan banyaknya pemutusan kontrak kerja tak hanya karena perkara upah namun turunnya daya beli masyarakat akibatnya produksi menurun.

"Impor dari China ugal-ugalan, dan regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada pengusaha, itu sebabnya," kata dia.

Ia menjelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2024, formula penetapan upah minimum harus mempertimbangkan tiga faktor: inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, dengan tetap mengacu pada kebutuhan hidup layak.

"Berdasarkan perhitungan kami, kenaikan upah minumum itu 6,5 % sampai 7,7% dari upah minimun masing propinsi per tahun," kata Said.