Peluncuran skema Full Mutual Reliance Framework (FMRF) kerja sama Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) menandai babak baru program asistensi pembangunan yang lebih sederhana dan fokus pada luaran bagi negara-negara Pasifik. Di bawah kerangka Country Partnership Strategy yang diperbarui secara berkala, Indonesia siap menyambut semua peluang yang ditawarkan untuk mendukung program pemerintah dalam jangka menengah maupun panjang.
Dalam peluncuran di Kantor Pusat ADB di Manila, Filipina, Kamis (4/12/2025), Presiden ADB Masato Kanda mengumumkan dengan bangga bahwa FMRF merupakan terobosan co-financing inovatif dan bersejarah bagi ADB maupun Bank Dunia. Melalui skema ini, negara debitur berkesempatan mengakses pinjaman dari dua lembaga dengan hanya mengikuti satu alur ketentuan, baik ADB atau Bank Dunia.
"Pengaturan ini akan mempermudah proses dan mengurangi duplikasi antara kedua lembaga. Negara-negara akan mendapatkan manfaat dari implementasi proyek yang lebih cepat, biaya transaksi yang lebih rendah, dan tetap mematuhi standar kebijakan yang tinggi," ucap Masato dalam konferensi pers.
Fiji dan Tonga menjadi dua negara pertama yang mengambil pinjaman dengan skema FMRF. Untuk Fiji, pinjaman dialokasikan untuk pembiayaan Pacific Healthy Islands Transformation (PHIT) senilai USD236,5 juta guna memperbarui layanan dan infrastruktur kesehatan di Fiji, Kiribati, Tuvalu, khususnya layanan pengobatan untuk pasien kanker, penyakit kardiovaskular, dan diabetes.
Sementara untuk Tonga, skema FMRF digunakan untuk membiayai Tonga Sustainable Economic Corridors and Urban Resilience (SECURE) senilai USD 120 juta atau seperempat PDB Tonga. Tujuan utama proyek ini adalah mengembangkan infrastruktur di Nuku'alofa, Tonga, di samping pembangunan sistem drainase perkotaan guna mencegah tsunami dan meningkatkan ketahanan Tonga menghadapi perubahan iklim.
Presiden Bank Dunia Ajay Banga yang hadir dalam peluncuran menyatakan, rencana FMRF sejatinya telah ditunggu-tunggu selama hampir 3 tahun lamanya. Rencana ini, Banga menegaskan, menjadi jalan keluar bagi negara-negara yang kesulitan mengakses pembiayaan karena persoalan tumpang-tindih administratif, padahal seringkali pinjaman itu dibutuhkan untuk infrastruktur sangat dasar.
"Dulu, dengan sistem pencatatan, dokumentasi, dan persyaratan yang berbeda antarlembaga, para peminjam kami lebih sibuk mengurus kertas-kertas dokumen yang sangat banyak dan melelahkan. Kini, melalui efisiensi FMRF, fokus diarahkan pada eksekusi dan dampak langsung yang mempermudah kehidupan masyarakat," cetus Banga.
Sejak penandatanganan nota kesepahaman hingga 1 Desember 2025, Bank Dunia dan ADB telah menerima sedikitnya 20 proposal pembiayaan dari berbagai negara yang tertarik dengan skema pinjaman ini. Di bawah FMRF, Banga mengharapkan Bank Dunia dan ADB dapat bersinergi secara lebih koheren, meningkatkan efisiensi, dan fokus pada eksekusi program.
Penasihan Senior Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Natalia Robalino menambahkan, sebagai program baru, FMRF tetap bersifat opsional dan bukan kewajiban. Negara-negara anggota ADB mendapatkan kesempatan mengakses skema FMRF dengan mempertimbangkan kapasitas, urgensi proyek, kesesuaian tujuan, dan kesanggupan memenuhi persyaratan.
"Setiap pengajuan tentu mendapatkan persetujuan, sedikitnya 3 tahun untuk menyusun perencanaan dan membuat laporan berdasarkan data-data aktual kepada Dewan Direktur. Namun, kami dapat memastikan, dana ADB dan Bank Dunia saat ini lebih dari cukup untuk membiayai proyek FMRF di masa depan," ucap Robalino.
Indonesia menyambut
Terbukanya kesempatan pembiayaan pembangunan multilateral seperti FMRF menjanjikan peluang bagi negara-negara anggota ADB dan Bank Dunia yang tengah berpacu mengejar pertumbuhan sekaligus mengawal program keberlanjutan. Di bawah payung Country Partnership Strategy yang diperbarui setiap 5 tahun, Indonesia menyambut skema ADB tersebut, yang sangat mungkin diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Putut Hari Satyaka menyatakan, sebagai mitra sejak 1966 dan pemegang saham terbesar keenam ADB, Indonesia memiliki nilai portofolio pinjaman aktif sekitar USD 2,3 miliar. Nilai kemitraan tersebut tidak hanya mencakup dukungan pembiayaan, melainkan juga sharing knowledge dan alih teknologi.
"Rangkaian koordinasi dilakukan di level perencanaan maupun teknis pelaksanaan. Dalam diskusi-diskusi ini, Bappenas dan ADB selalu mempertimbangkan kapasitas dan kebutuhan masing-masing untuk menemukan middle ground yang berdampak secara mutualisme," jelas Putut dalam jawaban tertulis yang diterima SUAR, Kamis (4/12/2025).
Baca juga:
Putut menambahkan, program-program pembangunan Indonesia yang cocok dengan skema pembiayaan ADB dan Bank Dunia dapat ditemukan dalam RPJMN, khususnya yang bergerak di sektor pertanian dan perikanan sebagai upaya mencapai ketahanan pangan. Dua di antaranya adalah pengembangan infrastruktur akuakultur untuk budidaya udang dan pengembangan hortikultura di daerah gersang.
Keselarasan menjadi kata kunci dalam pemilihan prioritas program yang dapat dibiayai oleh ADB. Sebagai negara, RPJMN maupun RPJPN Indonesia telah menetapkan sejumlah prioritas, demikian pula ADB memiliki ketentuan untuk menyetujui pembiayaan mereka. Dengan demikian, titik-titik temu akan selalu diupayakan demi tercapainya komitmen bersama yang saling menunjang kepentingan satu sama lain.
"Output dari kegiatan ADB, baik yang dibiayai pinjaman maupun hibah, diarahkan untuk dapat bernilai tambah juga sebagai leverage atau pengungkit skema pendanaan lainnya seperti investasi sektor swasta atau pendanaan inovatif," pungkas Putut.
Dimensi geopolitik
Selain menjanjikan pembiayaan pembangunan yang semakin berdampak bagi negara-negara peminjam, peluncuran program FMRF pada akhir 2025 juga memiliki dimensi geopolitis dan menunjukkan semakin besarnya perhatian dunia pada perkembangan kawasan Asia Timur dan Pasifik Barat Daya secara khusus, terutama dalam mengatasi perubahan iklim dan dominasi adidaya.
Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Asra Virgianita menjelaskan, sebagai frontline krisis iklim global, kawasann Pasifik merupakan salah satu kawasan yang paling rentan, terutama dengan kenaikan permukaan air laut, bahaya tsunami, dan perubahan garis pantai.
"Peluncuran skema bantuan FMRF tersebut dapat dibaca sebagai upaya membangun image positif atas posisi institusi multilateral Barat di kawasan, dan tentu kepentingan komersial dari proyek-proyek yang ada," cetus Asra saat dihubungi, Kamis (04/12/2025).
Kepentingan membangun citra tersebut, menurut Asra, menjadi penting di saat pengaruh Tiongkok mulai meluas di kawasan Pasifik, baik melalui skema kemitraan seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) maupun peluang pembiayaan lain yang dijanjikan New Development Bank (NDB) yang beranggotakan negara-negara BRICS.
"Kehadiran skema FMRF ini, yang merupakan kolaborasi antara ADB dan World Bank, dapat juga dilihat sebagai upaya containment atas pengaruh Tiongkok, dengan menunjukkan bahwa kehadiran institusi multilateral Barat juga berdampak bagi pembangunan di kawasan Pasifik," pungkas Asra.