Tingginya biaya logistik yang menjadi salah satu sumber keresahan dunia usaha memicu pelaku sektor logistik untuk berinovasi demi meningkatkan efisiensi rantai pasok nasional, khususnya dalam perdagangan antarpulau. Digitalisasi pergudangan dan relokasi pusat logistik ke titik-titik pertumbuhan ekonomi potensial di luar Jawa menjadi dua tawaran pelaku sektor logistik untuk efisiensi sekaligus membangun rantai pasok yang berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyatakan efisiensi dan kinerja logistik perlu dipercepat, terutama karena industri transportasi dan pergudangan berhasil mencapai pertumbuhan menjanjikan sebesar 8,62% dan keandalan rantai pasok nasional semakin diuji dengan program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis yang ditargetkan menjangkau 82,9 juta pelajar di seluruh Indonesia.
"Bappenas mencatat biaya logistik nasional telah turun secara progresif selama 20 tahun terakhir, saat ini mencapai 14,29% PDB, tetapi ini masih tinggi dan menjadi tantangan besar karena target pemerintah adalah mencapai 9% PDB pada 2045 untuk bisa berkompetisi dengan negara lain di tingkat global," ujar Mahendra saat membuka lokakarya sehari LogiSYM Platinum Indonesia 2025 di Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Menurut Mahendra, selain tingginya biaya, tantangan industri logistik dalam menghadapi disrupsi rantai pasok juga terletak pada tuntutan menyelenggarakan mobilitas berkelanjutan, karena truk dan alat transportasi darat lain berkontribusi hingga 35,6% dari emisi karbon global, sementara Indonesia memiliki tanggung jawab mencapai Net Zero Emission pada 2060 yang harus dicapai secara strategis.
"Bukan hanya truk, melainkan juga moda transportasi last mile delivery yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran logistik, terutama dengan semakin banyaknya e-commerce. Dengan situasi ini, elektrifikasi jalur logistik menjadi penting untuk menjadikan Indonesia sebagai hub logistik berkelanjutan di Asia Tenggara," tegasnya.
Komitmen pelaku industri logistik meningkatkan efisiensi tersebut mendapatkan sambutan positif dari pemerintah. Direktur Sarana Perdagangan dan Logistik Kementerian Perdagangan Sri Sugy Atmanto mengatakan, berdasarkan masukan para pelaku industri, Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan yang melakukan simplifikasi dan satu data nasional barang-barang yang dikirim melalui pelabuhan untuk perdagangan domestik antarpulau di Indonesia.
"Pemerintah memperkuat konektivitas untuk memastikan arus barang menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara merata guna menjaga keseimbangan pasar, memperkuat ketahanan pangan, dan akses produk ke seluruh negeri. Efisiensi lewat integrasi perizinan dan penguatan platform digital sebagai instrumen logistik menjadi dua kebijakan yang kami upayakan secara berkesinambungan," ucap Atmanto.
Atmanto menambahkan, saat ini pemerintah memiliki tiga prioritas dalam mendorong transformasi sektor logistik. Pertama, digitalisasi yang memungkinkan real-time tracking. Kedua, mendorong green logistics dengan pemakaian energi terbarukan dan optimasi rute pengiriman barang. Ketiga, penguatan sistem keamanan data dan manajemen risiko rantai pasok, disertai interoperabilitas data lintas sektor.
"Sinergi perlu dimajukan untuk membangun ekosistem rantai pasok yang adaptif dan responsif terhadap perubahan dan berbasis kebutuhan riil di pasar. Kami mendorong seluruh pemangku kepentingan memperkuat dialog dan membangun standar layanan logistik yang dinamis terhadap fluktuasi global," pungkas Atmanto.
Efisien 30 persen
Di samping persoalan transportasi, pangkal inefisiensi logistik juga terletak pada mekanisme pergudangan yang tidak andal. Direktur Intramega Global Andi Wibisono menyatakan, inefisiensi rantai pasok pergudangan cenderung berdampak langsung terhadap margin, terutama ketika sektor utama pertumbuhan ekonomi nasional ditopang sektor manufaktur, industri ritel, dan pertanian yang sangat bertumpu pada keandalan pergudangan.
"Lebih-lebih lagi, dengan pertumbuhan e-commerce, pergudangan sekarang menyimpan Stock Keeping Units (SKUs) lebih banyak. Pergudangan semakin bergeser dari tempat penyimpanan menjadi fulfillment center untuk pelanggan e-commerce, di samping juga drop point dan fasilitas multifungsi yang dapat menciptakan nilai lebih bagi perusahaan. Karenanya, pergudangan butuh lebih banyak visibilitas, akurasi, optimasi ruang, dan efisiensi," ujar Andi.
Menggeluti usaha pergudangan selama 20 tahun terakhir, Andi mensinyalir inefisiensi gudang umumnya disebabkan ketergantungan pada operasi yang masih manual dan bergantung pada tenaga manusia. Pilihan efisiensi, menurut Andi, terpaksa ditempuh bukan karena perusahaan mempekerjakan terlalu banyak orang, tetapi karena terlalu banyak pekerja gudang bekerja di bawah tingkat produktivitas yang menunjang usaha.
"Letak barang, waktu penyimpanan, dan arus keluar masuk barang masih mengandalkan kecakapan pekerja. Karenanya, peningkatan produktivitas butuh pekerja warehouse yang lebih melek digital, sedikitnya kemampuan bekerja dengan instrumen digital dan yang benar-benar dibutuhkan saat ini. Saya mengajak rekan-rekan untuk melihat transformasi digital sebagai penciptaan nilai, bukan sebagai cost," cetusnya.
Dari pengalaman di Intramega Global, Andi menegaskan terdapat empat langkah dalam menciptakan gudang yang terintegrasi dengan teknologi digital. Pertama, memetakan titik-titik optimasi dalam proses pergudangan, mulai dari input barang hingga keluar. Kedua, meletakkan fondasi digital dengan membangun sistem inventori dan pemakaian Radio Frequency Identification (RFID) di titik-titik keluar barang. Ketiga, memaksimalkan pemakaian seluruh ruang dengan high-density layout. Keempat, mendorong automasi proses tanpa sentuhan tangan manusia.
"Dengan teknologi dark warehouse, efisiensi ruang 30% sudah pasti, dan dari sana return of investment bisa dihitung dari sana. Tergantung area, tetapi kalau kita bisa optimalkan space 40 sampai 50% saja, harga tanah yang harus kita investasikan berkurang. Jumlah pekerja juga jadi lebih banyak knowledge worker daripada blue-collar, jadi produktivitas bertambah," jelas Andi.
Meski demikian, Andi mengakui bahwa gagasan gudang digital tersebut hanya akan mungkin jika tantangan infrastruktur, termasuk kecukupan pasokan energi, berhasil diatasi. Tanpa pasokan yang memadai, teknologi pergudangan digital justru akan menjadi beban bagi perusahaan.
"Logistik itu seperti sungai, tetapi hulunya harus kompetitif juga. Karenanya kembali ke infrastruktur. Mengapa warehouse susah di Indonesia, antara lain, karena kita negara kepulauan, mau-tidak-mau, infrastruktur harus banyak. Tidak ada pilihan lain. Yang memiliki kapasitas membangun infrastruktur hanya pemerintah, karena belum ada swasta yang bisa mencapai semasif itu," pungkas Andi.
Telah terbukti
Salah satu bukti keberhasilan rantai pasok yang andal dalam menopang usaha dialami oleh maskapai Singapore Airlines. Presiden Logistics and Supply Chain Management Society Raymon Krishnan mengungkapkan, terhitung Januari 2026, 100% makanan yang dihidangkan dalam penerbangan kelas ekonomi maskapai Singapore Airline tidak lagi dibuat di Singapura, melainkan Thailand.
"Mengapa bukan Indonesia atau Malaysia? Karena Thailand memiliki iklim bisnis logistik yang kondusif, sehingga biaya memproduksi makanan di Thailand dan mengirimnya kembali ke Singapura masih lebih murah dibandingkan memproduksi makanan itu sendiri di Singapura," ujar Raymon.
Baca juga:

Situasi ini menjadi bukti bahwa rantai pasok yang andal sangat dibutuhkan agar usaha berjalan.
Praktik relokasi pusat logistik seperti yang dilakukan Singapore Airlines tersebut dapat ditarik dalam konteks Indonesia. Wakil Ketua ALI dan Country General Manager HAVI Indonesia Adithya Sari menjelaskan, upaya melakukan relokasi pusat logistik memiliki momentum yang tepat dengan melihat data pertumbuhan ekonomi terbaru. Selain Jawa, Sulawesi yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi 5,84%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.
"Dengan pertumbuhan itu, artinya daerah luar Jawa mulai diperhatikan dan arah investasi ke sana membesar, tetapi pengiriman logistik ke sana masih sangat kurang, terutama kebutuhan bahan pangan. Industri logistik bisa masuk di situ untuk memperkuat rantai pasok antarpulau, yang juga akan membantu memastikan pertumbuhan luar Jawa menjadi lebih terpacu," imbuh Adithya.
Meski demikian, ketersediaan pasokan energi di luar Jawa masih menjadi tantangan yang harus dipecahkan. Agar memenuhi kriteria berkelanjutan, industri logistik dan pergudangan kini didorong menggunakan panel surya untuk gudang dan kendaraan listrik untuk alat transportasi. Namun, menurut Adithya, keduanya tidak memungkinkan dari segi biaya maupun teknologi EV yang belum mencapai teknologi pembuatan moda transportasi logistik bertenaga listrik.
"Efisiensi dapat diraih bukan dengan sekadar mengganti moda, melainkan mengatasi hambatan infrastruktur yang sudah ada terlebih dahulu. Bagaimanapun, tantangan utama logistik tetaplah memastikan barang itu sampai, meski kriteria keberlanjutan juga merupakan persoalan yang harus diselesaikan di lapangan," pungkas Adithya.