Genjot Transparansi, Perusahaan Wajib Setor Laporan Keuangan Mulai 2027

Pemerintah yang akan mewajibkan setiap perusahaan di Indonesia untuk mengirimkan laporan keuangan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai tahun 2027.

Genjot Transparansi, Perusahaan Wajib Setor Laporan Keuangan Mulai 2027
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). (FOTO/Rivan Awal Lingga/agr)

Sejumlah pakar menilai wajib setor laporan keuangan satu pintu akan memperkuat transparansi dan persepsi investor terhadap perusahaan emiten sehingga bisa meningkatkan kualitas data finansial nasional secara menyeluruh.

Hal tersebut menyusul rencana pemerintah yang akan mewajibkan setiap perusahaan di Indonesia untuk mengirimkan laporan keuangan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai tahun 2027.

Aturan ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 19 September 2025. Kebijakan itu jadi langkah awal menuju sistem pelaporan keuangan nasional yang lebih terpusat dan terstandar. Mekanisme penyampaian laporan akan dilakukan melalui Platform Bersama Pelaporan Keuangan atau PBPK.

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede dengan satu kanal resmi, investor dan pemangku kepentingan lain akan mengacu pada data yang sama sehingga mengurangi risiko perbedaan angka antarinstitusi.

Penjelasan PP 43/2025 memberi ruang agar laporan di PBPK dapat dimanfaatkan oleh otoritas, investor, akademisi hingga masyarakat umum.

“Penjelasan PP 43/2025 secara eksplisit menyebut bahwa PBPK dimaksudkan untuk memudahkan pelapor dan memberi kredibilitas pada data yang disampaikan,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta, Senin (1/12).

Menurut Josua aturan baru tersebut tidak menghapus kewenangan pelaporan ke OJK dan BEI, tetapi mengubah jalur utama penyampaian laporan keuangan dengan tujuan umum.

Josua menjelaskan idealnya emiten cukup mengunggah laporan satu kali ke PBPK, dan sistem antar-lembaga yang saling terhubung akan mengurangi kebutuhan pelaporan berulang.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut kebijakan ini bertujuan meminimalisir duplikasi laporan sekaligus memperkuat keandalan data yang mengalir antarinstansi.

Menurut Yusuf, langkah ini merupakan upaya strategis pemerintah untuk mengkonsolidasikan seluruh data keuangan perusahaan, baik skala besar maupun kecil.

"Tujuannya adalah efisiensi, memastikan standar pelaporan yang seragam, dan yang terpenting, menjamin kualitas data yang dapat dipercaya," jelas Yusuf.

Lintas sektor

Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan Masyita Crystallin menjelaskan kebijakan ini dibangun untuk menciptakan sistem pelaporan yang terintegrasi lintas sektor.

Melalui PP ini, pemerintah akan mengintegrasikan sistem pelaporan perusahaan ke dalam Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK) atau Financial Reporting Single Window (FRSW).

Nantinya, perusahaan wajib menyampaikan laporan keuangannya secara digital, dengan penyusun laporan berasal dari pihak yang kompeten dan berintegritas, seperti akuntan profesional maupun akuntan publik.

“PP 43 Tahun 2025 dirancang untuk memperkuat fondasi tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel,” ujar Masyita.

Menurutnya, laporan keuangan yang lebih kredibel akan membantu pengambilan keputusan di tingkat korporasi maupun kebijakan publik. Pemerintah menyatakan mekanisme baru ini mencakup penyusunan, penyampaian, dan pemanfaatan laporan keuangan yang berlaku di sektor jasa keuangan, sektor riil, dan entitas yang memiliki keterkaitan bisnis dengan sektor keuangan.

Masyita mengatakan sistem ini diharapkan dapat memperkaya basis data pemerintah dengan informasi yang aktual dan terverifikasi. “PBPK akan menjadi simpul utama integrasi data sehingga proses pelaporan lebih sederhana bagi pelaku usaha,” kata dia.

Baca juga:

Stabilitas Sistem Keuangan Pancarkan Optimisme Pertumbuhan Ekonomi Tahunan
Perkembangan terkini kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan terlihat sinergis. Ini membuahkan optimisme pertumbuhan ekonomi.

Pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan masing masing sektor.

Untuk pasar modal, penyampaian laporan keuangan melalui PBPK wajib dilakukan paling lambat pada 2027, sementara sektor lain akan menyesuaikan tahapan implementasi sesuai hasil koordinasi pemerintah dengan otoritas terkait. 

Jangan sampai tumpang tindih

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno mengatakan aturan mengenai kewajiban pelaporan keuangan melalui PBPK masih berada dalam koridor penyesuaian regulasi yang umum.

Suwandi menjelaskan perusahaan pembiayaan sudah lama menjalankan kewajiban pelaporan keuangan kepada OJK, termasuk laporan neraca dan laba rugi.

"Hal ini membuat industri terbiasa dengan proses pelaporan rutin sehingga tidak melihat adanya isu berarti dalam perubahan mekanisme menuju PBPK," ujar dia.

Menurutnya, penyesuaian yang diperlukan terutama terkait alur teknis pelaporan pada platform yang baru.

Suwandi mengatakan detail teknis pelaporan masih menunggu sosialisasi resmi dari pemerintah. "Pelaku industri perlu memahami apakah pelaporan keuangan ke OJK akan tetap berjalan atau sepenuhnya dialihkan ke PBPK. Kejelasan ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih kewajiban bagi perusahaan pembiayaan," kata dia seraya menambahkan masih ada waktu untuk menyiapkan transisi.

Menjawab pertanyaan mengenai infrastruktur dan keamanan data, Suwandi menyampaikan pemerintah pasti akan memperhatikan ketentuan perlindungan data pribadi dan keamanan informasi.

Pun perusahaan pembiayaan pada dasarnya juga menjaga aspek keamanan sistem ketika pelaporan dilakukan. “Perusahaan pasti nanti dari sisi infrastrukturnya, security-nya dan segalanya pasti sudah dijaga,” ujarnya. 

Terkait pelaksanaan serentak di pasar modal, Josua Pardede kembali mengingatkan tanpa penyesuaian, masa transisi berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewajiban.

Josua menilai ada sejumlah risiko pada awal implementasi 2027 yang perlu diantisipasi. Dia menyoroti risiko teknis seperti kapasitas PBPK menampung laporan dalam jumlah besar, ketersediaan layanan, dan keamanan sistem sesuai prinsip penyelenggaraan layanan elektronik.

Menurutnya, gangguan pada periode pelaporan dapat menimbulkan ketidakpastian kepatuhan dan mengganggu jadwal keterbukaan informasi. Dia juga menilai kesiapan internal emiten, terutama perusahaan menengah atau baru, dapat menjadi tantangan jika pedoman teknis tidak tersedia cukup awal.

Josua menilai tenggat waktu 2027 relatif realistis bagi emiten besar yang sudah terbiasa dengan pelaporan elektronik, selama ada sosialisasi intensif dan uji coba menyeluruh pada 2026.

Implementasi tetap dapat menjadi tantangan bagi perusahaan dengan kapasitas sistem dan sumber daya yang lebih terbatas. Menurutnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada cepatnya penerbitan aturan turunan dan kesiapan infrastruktur teknis antara PBPK dan otoritas pasar modal. Di sisi lain, Josua menilai pendekatan yang sinkron akan menentukan kelancaran fase transisi.

“Kebijakan ini berpotensi menjadi lompatan penting dalam memperkuat tata kelola dan transparansi pasar modal Indonesia, bukan sekadar menambah satu kewajiban administratif baru bagi emiten. Jika hal-hal tersebut dipenuhi, PBPK dapat menjadi dasar baru bagi ekosistem pelaporan yang kredibel dan konsisten lintas otoritas,” ujar Josua.