Dengan komposisi penduduk sebesar 70% usia produktif, tidak berlebihan rasanya mengandalkan anak muda untuk mendorong perekonomian nasional. Hanya saja, anak muda juga dihadapkan sejumlah tantangan seperti perlambatan ekonomi yang membuat besaran upah tidak optimal yang membuat mereka terhimpit urusan keuangan. Namun, ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dari pesatnya digitalisasi hingga ekonomi hijau.
Manajer Riset Strategis Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan, dengan 70% populasi Indonesia berada dalam usia produktif dan menyelesaikan pendidikan menengah atas, Indonesia memiliki modal kuat untuk menghidupkan kembali kejayaan industri.
Sayangnya, akibat perkembangan industri padat modal dan ekonomi jasa yang lebih cepat dari industri padat karya, populasi usia produktif Indonesia justru menyumbang angka pengangguran usia 15-24 tahun.
"Indonesia punya tenggat 10 tahun lagi untuk memanfaatkan bonus demografi," ujarnya dalam Youth Economic Summit: The New Economy Generation yang diselenggarakan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia di Jakarta, Sabtu (15/11/2025).
Kendati demikian, Yusuf mengajak semua pihak tidak kecil hati. Alih-alih pesimistis, Yusuf mengatakan ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan anak muda.
Mulai dari penetrasi internet sudah 80%, keberadaan 2.647 start-ups dari berbagai bidang. Selain itu juga ada peluang 1,7 juta green jobs yang diproyeksikan memiliki kontribusi antara Rp593 triliun-638 triliun pada 2030.
Berbagai stimulus yang telah diluncurkan pemerintah, menurut Rendy, dapat menjadi pintu masuk penting untuk membantu orang muda, khususnya sarjana anyar dari perguruan tinggi, untuk meningkatkan keterampilan mereka dengan tetap mendapatkan imbalan profesional.
Agar optimal, program magang berbayar harus memastikan peserta tidak hanya memperoleh pengalaman kerja, tetapi juga skill-set yang relevan untuk green jobs dan ekonomi digital.
Berbagi pandangan dengan Rendy, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Dipo Satria Ramli menegaskan, strategi fiskal pemerintah berperan sangat krusial untuk memastikan ekosistem awal yang mampu memaksimalkan potensi industri masa depan Indonesia serta memiliki kapasitas untuk menampung orang muda, seperti data center, ekonomi hijau, hingga industri dirgantara.
"Orang muda juga harus pragmatis. Kalau lihat statistik orang muda semakin sulit mencari pekerjaan, dan kalaupun dapat kualitasnya tidak baik. Di sisi lain, skill-set yang dibutuhkan di masa depan tidak seluruhnya berkaitan dengan teknologi: skill menjual, komunikasi, teamwork, itu semua bisa dipelajari saat ini," ucap Dipo.
Perubahan tren akibat transformasi ekonomi saat ini, menurut Dipo, akan memengaruhi bentuk perusahaan di masa depan. Konglomerasi besar dengan puluhan ribu pekerja mungkin tidak akan bertahan, digantikan dengan usaha entrepreneurial beranggotakan 3-5 pegawai, tetapi dengan profit yang menjanjikan dan memutar roda perekonomian.
"Culture hustling akan hidup dari sana. Digitalisasi memungkinkan kita memperoleh pendapatan dari luar negeri. Karena pemerintah bekerja benar sekalipun tidak akan mengubah situasi secara instan, maka itu kita yang perlu beradaptasi. Segera, dari diri kita sendiri, dengan belajar skill di samping penguasaan teknologi," tandasnya.
Persoalan keuangan
Ketidakpastian ekonomi di periode puncak bonus demografi menjadi salah satu kekhawatiran orang muda di Indonesia.
Chief Operating Officer Bareksa Ni Putu Kurniasari menengarai, ada tiga faktor yang membentuk perilaku keuangan Generasi Z dan milenial.
Pertama, mindset yang mengasosiasikan investasi sebagai cara meraih kekayaan secara instan dan membentuk gejala fear of missing out (FOMO) atau takut tertinggal karena paparan konten media sosial, terutama dari pemengaruh (influencer) yang memamerkan kekayaan hasil investasi berisiko tinggi.
Kedua, sikap hopeless yang mendorong perilaku konsumtif dan boros karena anggapan bahwa kebutuhan primer seperti rumah dan kendaraan bermotor sudah tidak terjangkau.
Ketiga, kecenderungan orang muda menjadi sandwich generation yang harus membiayai orang tua dan kakak/adik, di samping mempersiapkan biaya untuk keluarganya sendiri sehingga tidak memiliki tabungan memadai.
"Pola mindset yang terbebani membuat orang muda sering memilih tergoda dan langsung berinvestasi tanpa memikirkan konsekuensinya secara matang, karena ingin mengatasi semua masalah dalam satu langkah. Padahal, kalau niat awalnya salah, itu akan susah diperbaiki nantinya," ucap Putu.
Berkaca pada pengalamannya di industri reksadana, Putu memahami modal terbesar seseorang untuk berinvestasi adalah waktu. Seorang pemula harus memahami apakah investasi akan menjadi pekerjaan, atau cukup membuat uang mereka bekerja. Sebagai pekerjaan, seseorang harus menyiapkan waktu dan konsentrasi penuh untuk aktivitas investasi, di samping siap mental menghadapi kerugian.
Sebaliknya, jika perilaku investasi bertujuan membuat uang bekerja, maka prospek imbal hasil yang besar umumnya memiliki risiko yang juga tinggi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, demikianpun sebaliknya. Karena itu, Putu menegaskan, penting agar orang muda melihat investasi bukan sebagai cara "menggandakan uang", melainkan sebagai instrumen menjaga kesehatan finansial dan menekan pemborosan.
"Jangan lihat persentase imbal hasilnya saja. Ketika terima gaji dan masuk ke reksadana pasar uang, lihatlah ini sebagai cara untuk mempersulit kita untuk mengambil uang sendiri. Dengan demikian, bagi yang sudah memiliki penghasilan, investasi adalah cara membentuk disiplin keuangan secara bertahap," ujarnya.

Melengkapi penjelasan Putu, Certified Financial Planner dan Co-founder Daya Uang Lolita Setyawati menjelaskan, perilaku keuangan orang muda juga sangat dipengaruhi mindset keuangan yang dibentuk orang tua. Keluarga yang terbiasa mengandalkan utang dan pemakaian kartu kredit untuk kebutuhan konsumtif, akan menjadi contoh untuk anak-anak berperilaku serupa.
"Cerdas keuangan bukan hanya soal menabung, tetapi juga mampu memastikan ketersediaan dana darurat, menekan utang untuk kebutuhan konsumtif, dan ketersediaan proteksi berupa asuransi. Jika semua itu sudah ada, maka investasi dapat dimulai secara pelan-pelan," jelas Lolita.
Memperluas sumber pendapatan di samping gaji, menurut Lolita, merupakan keharusan jika gaya hidup cenderung lebih besar dari pemasukan. Pendapatan pasif berupa investasi, usaha kecil-kecilan, atau royalti karya intelektual dapat menjadi pilihan, di samping side job. Jika sumber pemasukan sudah tersebar, maka "ilmu belanja" adalah langkah kedua.
"Saya mencatat pengeluaran setiap hari selama 15 tahun, termasuk yang kecil-kecil seperti bayar parkir. Tujuannya agar kita bisa melihat pola pengeluaran seperti apa, mengetahui apakah kita konsumtif atau tidak, sekaligus bisa membuat perencanaan keuangan untuk bulan depan," kisahnya.
Sependapat dengan Putu, Lolita menilai investasi adalah instrumen terbaik untuk mengerem pemborosan. Dengan tabungan yang sudah dimiliki, investasi kecil tetapi rutin akan mendatangkan manfaat lebih baik daripada investasi dalam jumlah besar yang dilakukan sewaktu-waktu. Kuncinya, pastikan tabungan untuk investasi adalah tabungan yang benar-benar dingin dan tidak dibutuhkan secara mendesak.
"Bagi pemula, Reksa Dana Pasar Uang adalah pilihan yang baik karena relatif likuid, imbal hasilnya dapat dipastikan, profil risiko cenderung konservatif. Selain itu, uang kita jadi lebih sulit dipakai karena menariknya butuh waktu. Akses yang terbatas pada kebutuhan konsumtif tentu membuat kita lebih bijak," pungkasnya.