Seperempat bisnis di Asia Pasifik berencana untuk mengalihkan fokus ke pasar Intra-Asia dan Eropa di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian akibat kebijakan tarif Amerika Serikat yang berubah-ubah.
Survei Federal Express Corporation (FedEx) yang baru dirilis Senin (21/10/2025) menunjukkan lebih dari 40 persen perusahaan kini mempertimbangkan untuk memindahkan fokus perdagangan lintas negara ke kawasan yang lebih dekat dan stabil, seperti intra-Asia dan Eropa.
Hal ini dilakukan sebagai strategi bisnis dalam menjaga keberlanjutan usaha di tengah persaingan dagang global.
"Sekitar seperempat bisnis di Asia Pasifik masih menganggap Amerika Serikat sebagai pasar utama mereka, namun lebih dari 40% berencana mengalihkan fokus ke pasar Intra-Asia (22%) dan Eropa (21%) dalam 12 bulan mendatang," demikian hasil survei FedEx dalam rilis yang diterima SUAR.
Senior Vice President, Marketing and Customer Experience, Asia Pacific, FedEx Salil Chari mengatakan berdasarkan tanggapan peserta, berikut beberapa temuan utama yang mencerminkan perubahan prioritas dalam perdagangan lintas batas.
Pengendalian biaya dan transparansi bea menjadi prioritas utama, dengan 25% responden menyatakan perlunya kejelasan atas bea dan pajak sebelum pengiriman, termasuk biaya Delivered Duty Paid (DDP).
“Ketidakpastian regulasi menjadi tantangan utama, di mana 27% bisnis menyebut kesulitan mengikuti perubahan aturan sebagai hambatan terbesar dalam perdagangan internasional,” ujar dia.
FedEx membantu bisnis di Asia Pasifik meningkatkan transparansi biaya dan bea, memperlancar proses kepabeanan, serta membuka peluang pertumbuhan baru di kawasan dan di Eropa dengan penuh keyakinan, dengan menggabungkan keahlian regulasi yang mendalam, inovasi digital, dan kekuatan jaringan global kami.
FedEx memperluas portofolio layanannya untuk memenuhi kebutuhan lintas batas dengan menavigasi regulasi dengan keahlian perdagangan yang terpercaya. Sebanyak 24% responden menyatakan perlunya akses langsung ke pakar regulasi dan kepatuhan perdagangan.
Sebagai salah satu entry filler terbesar di Amerika Serikat, FedEx menyediakan dukungan selama 24 jam untuk memastikan kelancaran pengiriman di lebih dari 220 negara dan wilayah.
Untuk perdagangan menuju Amerika Serikat, FedEx U.S. Tariff Hub menyediakan panduan terbaru mengenai tarif, kebijakan kepabeanan, dan dokumen yang dibutuhkan. Platform ini juga menampilkan ringkasan kebijakan, lembar informasi produk dan layanan, serta tutorial yang membantu bisnis tetap siap dan patuh terhadap ketentuan yang berlaku.
FedEX juga meningkatkan prediktabilitas dan transparansi melalui inovasi digital, sebanyak 27% bisnis di Asia Pasifik menyatakan perlunya alat otomatisasi untuk mempercepat proses kepabeanan.
"Menjawab kebutuhan ini, FedEx terus berinvestasi dalam solusi digital yang membantu pelanggan mengirimkan barang dengan lebih hemat biaya, efisien, dan andal," kata Salil.
Survei tersebut dilakukan terhadap responden dari serangkaian webinar di sembilan pasar Asia Pasifik yang diikuti oleh lebih dari 3.800 pelanggan mulai dari usaha kecil dan menengah (UKM) hingga perusahaan multinasional.
Beberapa negara yang diikutsertakan antara lain Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand.
Melalui sesi ini, FedEx memberikan panduan praktis tentang cara menjaga efisiensi operasional, memperlancar proses kepabeanan, menghindari biaya tidak terduga, dan meningkatkan otomatisasi pengiriman.
Tujuannya adalah membantu bisnis menavigasi kompleksitas perdagangan internasional dengan lebih percaya diri dan efisien.
Biaya operasional tinggi
Tarif Trump juga menimbulkan tantangan bagi para pelaku usaha logistik. Salah satunya adalah peningkatan biaya operasional yang cukup tinggi dan sulit dikontrol.
Senior Consultant Supply Chain Indonesia Zaroni mengatakan kenaikan biaya operasional bisa menurunkan daya saing industri logistik nasional, jika daya saing industri sudah turun maka berpotensi terjadinya PHK.
“Banyak pelaku usaha logistik yang mulai memutar otak untuk tetap bertahan di tengah situasi perang dagang ini,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (21/10).
Selain peningkatan biaya operasional yang tinggi, dampak tarif trump yang sudah dirasakan pelaku usaha adalah menurunkan volume perdagangan karena tarif yang tinggi membuat produk kurang kompetitif sehingga mempengaruhi pergerakan ekspor dan impor.
Zaroni mengatakan ada dua strategi yang dilakukan pelaku usaha logistik untuk menghadapi tarif trump ini yaitu menunda pengiriman ke Amerika Serikat dan mencari alternatif baru.
Amerika Serikat memang pasar terbesar untuk ekspor, beberapa barang ada yang tetap dikirim namun pengirimannya dilakukan secara bertahap, ada juga barang yang ditunda pengirimannya karena melihat margin perusahaan.
Jika margin perusahaan masih untung maka pengiriman tetap dilanjutkan ke Amerika Serikat namun jika margin tidak untung, maka solusinya harus mencari alternatif baru.
“Alternatif ini masih dipikirkan belum tau lewat rute mana, kami berharap pemerintah bisa melakukan negosiasi lagi dengan AS,” ujar dia.

Negosiasi berlanjut
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menargetkan pembahasan tarif dagang dengan Amerika Serikat (AS) rampung pada Desember 2025. Target ini mundur dari sebelumya diproyeksikan selesai akhir Oktober 2025.
"Deadline tahun ini, bulannya, ya, Desember," kata Menko Airlangga saat ditemui di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, Jakarta dilansir dari Antara, (21/10).
Lebih lanjut, ia mengatakan saat ini negosiasi dengan Negeri Paman Sam masih terus berjalan dengan intens, terlebih sudah memasuki tahap penyusunan aspek hukum (legal drafting).
"Negosiasi (kami) sedang bicara (dengan AS), dan kita akan terus bicara detail karena sekarang tahapannya adalah legal drafting. Tentu ini akan membutuhkan waktu," ujar Airlangga.
Sementara itu, penutupan (shutdown) pemerintah Amerika Serikat (AS) masih berlangsung dan membuat rilis data-data ekonomi tertunda, sehingga membuat investor lebih mencermati data yang dikeluarkan oleh swasta pada akhir-akhir ini.