Strategi Transisi Energi Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan transisi energi perlu mengatur ulang skema tarif berbasis biaya, mempercepat reformasi power purchase agreement, meningkatkan pendanaan publik untuk sektor panas bumi dan PLTS, serta memastikan percepatan pembangunan jaringan transmisi agar risiko proyek dapat ditekan lebih rendah

Strategi Transisi Energi Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Peserta pameran mencoba hasil inovasi energi bersih berbasis hidrogen hijau saat pameran bertajuk Desa Utak Atik di Desa Serangan, Denpasar, Bali, Sabtu (6/12/2025). Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc.

Sejumlah pakar pada Selasa (16/12) mengusulkan sejumlah strategi komprehensif agar transisi energi tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Beberapa strategi yang dikemukakan antara lain dengan melakukan perluasan pembiayaan dan mempersiapkan sumber daya manusia.

Ekonom senior Bank Tabungan Negara Winang Budoyo menyatakan, kerja sama pembiayaan bilateral dengan negara-negara yang relatif berhasil menjalankan transisi energi seperti Jerman, Belanda, dan Polandia.

"Eropa sekarang tidak hanya bisa menjadi sumber pendanaan, tetapi juga sumber informasi tata kelola transisi energi. Pembiayaan bilateral ini bisa menyeimbangkan komposisi pendanaan yang saat ini masih 55% bersumber dari investasi domestik," ucap Winang dalam 2nd Pertamina Energy Dialogue di Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Meski potensi pembiayaan bilateral tersebut sangat terbuka, Winang menggarisbawahi sejumlah aspek yang perlu dibereskan dalam ekosistem energi terbarukan di Indonesia, mulai dari meningkatkan kepastian tarif energi luaran, memperkuat pembiayaan publik, serta meningkatkan kapasitas transmisi. Penguatan ekosistem ini bertujuan agar pembiayaan proyek menjadi lebih bankable.

"Kebijakan transisi energi perlu mengatur ulang skema tarif berbasis biaya, mempercepat reformasi power purchase agreement, meningkatkan pendanaan publik untuk sektor panas bumi dan PLTS, serta memastikan percepatan pembangunan jaringan transmisi agar risiko proyek dapat ditekan lebih rendah," tegasnya.

Berbagi pandangan dengan Winang, Kepala Departemen Penelitian Purnomo Yusgiantoro Center Massita Ayu Cindy Putriastuti menekankan, ketersediaan sumber daya manusia yang cakap juga sangat menentukan keberhasilan transisi energi, di samping modal dan teknologi. Faktor SDM berperan memastikan transisi tidak berhenti pada dekarbonisasi, melainkan ditindaklanjuti sampai energi terbarukan menjadi tulang punggung pembangkitan energi seluruhnya.

"Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perlu membuat peta okupasi yang memetakan kebutuhan tenaga kerja transisi pada setiap level, bekerja sama dengan PLN, Pertamina, dan Kemenperin. Peta jalan inilah yang digunakan universitas untuk menyesuaikan materi, sehingga mahasiswa dapat mempelajari kompetensi yang sangat dibutuhkan selama transisi berlangsung," ujar Ayu.

Sejauh ini, solusi pembiayaan yang Kemenperin tawarkan adalah mekanisme Industrial Decarbonization and Competitiveness Fund (IDCF) sebagai pendanaan agregat.

Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Apit Pria Nugraha menilai meski strategi dekarbonisasi prioritas Kemenperin telah ditetapkan lewat peta jalan yang sangat jelas, pembiayaan proyek tetap menjadi salah satu tantangan terbesar yang membutuhkan pemecahan.

Melalui program tersebut, Kemenperin membantu industri untuk melakukan investasi awal untuk aksi dekarbonisasi seperti alih teknologi, otomasi, pergantian permesinan, substitusi bahan bakar, audit menyeluruh, hingga verifikasi dan validasi emisi gas rumah kaca. Donor dari negara mitra, bank dunia, dan filantropi menjadi sumber IDCF yang sejauh ini telah dikelola Kemenperin.

"Lebih jauh dari pembiayaan, IDCF akan mengatur agar syarat dan ketentuan proyek dekarbonisasi untuk setiap level menjadi sama, sehingga proses eksekusinya menjadi lebih cepat. Pendanaan ini diharapkan membantu menurunkan cost of capital dan menyiapkan dekarbonisasi menjadi lebih bankable," pungkas Apit.

Para panelis diskusi "Navigating Pathways for Clean Energy Transition in the Face of Global Uncertainty" dalam 2nd Pertamina Dialogue 2025 di Jakarta, Selasa (16/12/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana

Lima strategi prioritas

Apit menjelaskan kata kunci industri hijau dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Industri adalah efisiensi dan nilai tambah, bukan hanya kepatuhan pada regulasi. Sebagai kementerian pelaksana, Kemenperin menerjemahkan kata kunci tersebut menjadi tiga pilar dalam Peta Jalan Industri Hijau.

  1. Kebijakan fiskal dan instrumen pasar yang disusun bersama Otoritas Jasa Keuangan untuk menyediakan pembiayaan inovatif dan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon yang kompetitif;
  2. Infrastruktur penyediaan energi dan material rendah karbon untuk mengembangkan teknologi industri rendah emisi yang tetap feasible;
  3. Kebijakan standardisasi target remisi industri, serta memastikan produk rendah karbon yang memenuhi standar lingkungan tetap kompetitif di pasar masing-masing.

"Kami memperlakukan peta jalan ini sebagai living document, sehingga harus ada corrective course setiap 2 tahun. Peta jalan ini akan efektif jika mekanisme pelaporan emisi industri semakin kuat. Ini penting karena industri selalu menuntut kepastian soal karbon ini mau turun berapa, kapan batasnya, dan pakai cara apa," jelas Apit.

Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Apit Pria Nugraha menjelaskan peta jalan dekarbonisasi industri dalam 2nd Pertamina Dialogue 2025 di Jakarta, Selasa (16/12/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana

Bertumpu pada tiga pilar di atas, pemerintah tegas berprinsip bahwa agenda dekarbonisasi tidak boleh menghambat pertumbuhan. Namun, pemerintah juga mengingatkan pelaku industri bahwa mengejar pertumbuhan tanpa dekarbonisasi berpeluang melipatgandakan biaya menjadi lebih besar ke depannya. Sebagai jalan keluar, Kemenperin saat ini fokus menerapkan lima strategi dekarbonisasi prioritas.

  • Pertama, efisiensi energi dan material lewat pemanfaatan kembali panas sisa.
  • Kedua, substitusi bahan bakar dan material dengan beralih ke biofuel dan hidrogen.
  • Ketiga, pemutakhiran proses produksi rendah karbon dengan mendorong penggantian mesin BF-BOF ke DRI-EAF.
  • Keempat, elektrifikasi dan pembangkitan listrik rendah karbon bertenaga surya dan panas bumi untuk industri.
  • Kelima, penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon melalui sejumlah proyek reforestasi.

Kelima strategi tersebut dijalankan Kemenperin dengan menjadikan ekonomi sirkular sebagai tulang punggung pelaksanaannya.

"Dengan regulasi yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, kami mengintegrasikan insentif dalam skema TKDN, sehingga semakin hijau sebuah industri, maka itu menambah nilai TKDN. Ke depan, langkah derisking seperti ini akan menjadi paket kebijakan yang mencakup fasilitas pemerintah, nilai ekonomi karbon, dan pinjaman hijau," ujarnya.

Bukan lagi pilihan

Vice President Pertamina Energy Institute (PEI) Margaretha Thaliharjanti mengatakan urgensi transisi bagi ketahanan energi menjadi semakin tidak terelakkan, terutama di saat gejolak konflik di kawasan yang menyebabkan fluktuasi harga minyak dan batubara di tingkat global.

Sebagai think tank PT. Pertamina (Persero), PEI saat ini telah memetakan 9 tematik besar dalam transisi energi, antara lain ketahanan energi, kebijakan transisi nasional, sertifikasi ESG, keekonomian dan pembiayaan energi bersih, hingga modernisasi kebijakan fiskal yang masih tergantung pada penerimaan migas.

"Harapannya, kami ingin melihat transisi energi bukan lagi sebagai pilihan, melainkan sebuah strategi yang siap diimplementasikan untuk memperkuat kemandirian energi dan daya saing ekonomi," ujar Margaretha saat membuka

Saat ini, sejumlah tantangan masih dihadapi pemerintah dan badan usaha energi dalam melaksanakan transisi, mulai dari infrastruktur penyimpanan yang belum merata, pendanaan yang relatif sulit, serta praktik carbon capture, utilization, and storage (CCUS) yang memiliki nilai keekonomian sangat marginal sehingga sulit meyakinkan bank.

"Terlepas dari tantangan itu, masih ada peluang. Energi bersih seperti surya semakin murah. Indonesia juga mampu menemukan benchmark dari negara-negara lain dalam menciptakan perdagangan karbon berbasis kepatuhan (compliance market). Untuk itu, kami ingin bekerja sama dengan semua stakeholder sebagai awal dari transformasi jangka panjang yang terus kami perjuangkan," jelasnya.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional