Social Commerce Ubah Cara Konsumen Berbelanja

Dalam laporan berjudul 2025 Global Insights: How Consumers and Marketers Use Walled Gardens dari DoubleVerify yang melakukan survei mendalam terhadap 22.000 konsumen dan 1.970 pemasar global termasuk Indonesia, ditemukan bahwa 52% konsumen Indonesia secara dominan berbelanja melalui social commerce.

Social Commerce Ubah Cara Konsumen Berbelanja
Karyawan toko FVS Solo melakukan siaran langsung atau live shopping penjualan produk fesyen dengan penawaran diskon lewat platform e-commerce saat ajang Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2025 di Solo, Jawa Tengah, Jumat (12/12/2025). Pemerintah menargetkan transaksi sebesar Rp35 triliun pada ajang Harbolnas 2025 yang dilaksanakan dari 10 sampai 16 Desember 2025. ANTARAFOTO/Maulana Surya/bar

Social commerce merupakan model jual beli online yang menggabungkan media sosial dengan aktivitas e-commerce sehingga memungkinkan konsumen untuk melihat produk, berinteraksi dengan penjual, hingga akhirnya melakukan pembelian. Pengalaman berbelanja konsumen pun menjadi lebih personal dan terintegrasi dengan adanya fitur interaktif seperti posting, live streaming, dan rekomendasi dari teman ataupun influencer.

Di Indonesia, social commerce ini sangat populer. Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga brand besar sekalipun dapat memanfaatkan peluang yang besar dari adanya social commerce ini lantaran biaya yang dikeluarkan lebih rendah, interaksi dengan konsumen tercipta, dan produk bisa dikenal dengan lebih cepat melalui konten media sosial.

Dalam laporan berjudul 2025 Global Insights: How Consumers and Marketers Use Walled Gardens dari DoubleVerify yang melakukan survei mendalam terhadap 22.000 konsumen dan 1.970 pemasar global termasuk Indonesia, ditemukan bahwa 52% konsumen Indonesia secara dominan berbelanja melalui social commerce.

Senior Enterprise Sales Director DoubleVerify Indonesia Theodorus Caniggia, menyebut masyarakat Indonesia sendiri merupakan masyarakat mobile-first, yang menggunakan perangkat seperti smartphone dalam menjalankan aktivitas digital sehari-harinya, salah satunya adalah untuk berbelanja.

“Indonesia adalah pasar mobile-first dan social-first yang unik, di mana walled gardens menjadi pendorong utama ekonomi digital,” kata Theodorus melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/12/2025).

Media sosial di Indonesia telah menjadi saluran transaksi yang signifikan untuk konsumen. Sebanyak 52% konsumen Indonesia mengaku telah melakukan pembelian di social commerce dalam waktu 12 bulan terakhir, sementara nilai rata-rata konsumen di kawasan Asia Pasifik hanya 40%.

Dari total konsumen di Indonesia tersebut, 38% di antaranya melakukan riset sebelum pembelian, dengan salah satu alat riset utama mereka adalah media sosial. Mereka dalam mencari informasi mengandalkan online reviews (64%) dan video reviews (55%). Adopsi media sosial juga sangat tinggi, terlihat dari survei tersebut platform yang paling sering digunakan secara mingguan adalah YouTube (90%), Instagram (78%), dan Facebook (72%).

Menurut Managing Partner Inventure Yuswohady, para pelaku usaha dapat memanfaatkan social commerce untuk memasarkan dan menjual produknya. Bukan tanpa sebab, berjualan di media sosial dinilai olehnya lebih natural tanpa harus melakukan hard selling kepada para konsumen.

Social commerce itu kayak jualan di arisan, itu organik ya, jualannya itu nggak seperti jualan yang pakai promosi atau macam-macam, tapi melalui kedekatan orang-orang yang ada di situ. Begitu munculnya social commerce memang saya kira konvensional commerce itu semakin nggak relevan, karena di social commerce itu komunitasnya sudah terbentuk, engagement-nya sudah terbentuk,” kata Yuswohady, Minggu (14/12/2025).

Pekerja menata paket barang di Lion Hub Halim, Jakarta, Rabu (10/12/2025). Lion Parcel melakukan beberapa persiapan operasional jelang Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) dan Tahun Baru dengan menambah armada serta tenaga kerja sementara dan mengoptimalkan alur kerja untuk memperlancar pengiriman. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.

Apalagi, saat ini banyak para pelaku usaha di e-commerce yang merasa terbebani akibat biaya administrasi yang tinggi, sehingga mereka mulai mencari media penjualan lainnya, salah satu yang paling utama adalah melalui media sosial.

Berbelanja secara offline ataupun online memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berbelanja secara online menawarkan kemudahan, produk yang bervariasi, hingga kenyamanan untuk para konsumen. Sementara itu, konsumen apabila berbelanja secara offline mendapatkan pengalaman secara langsung untuk mencoba produk dan memastikan kualitasnya sebelum melakukan pembelian.

Kedua hal tersebut pun dinilai saling melengkapi dalam hal yang disebut dengan costumer journey. Salah satu contohnya, konsumen dapat melakukan riset terlebih dahulu ataupun membandingkan satu produk dengan produk yang lainnya secara online, lalu baru melakukan transaksi secara offline.

“Orang mulai migrasi dari offline ke online. Tapi nantinya akan terjadi keseimbangan di mana orang itu akan memanfaatkan online untuk satu step pembelian tertentu,” jelasnya.

Baca juga:

Promo dan Gratis Ongkir Masih Jadi Pemikat Belanja Online di Indonesia
Riset YouGov mengatakan 79% responden warganet di Indonesia mencari promo saat berbelanja ecommerce.

Tak hanya UMKM, perusahaan-perusahaan dengan brand ternama juga mulai mengikuti pergeseran ke social commerce untuk memasarkan produknya secara lebih efektif. Dijelaskan olehnya, yang mengawali social commerce ini pada awalnya adalah pelaku usaha kecil yang tidak memiliki modal besar, sehingga mereka memanfaatkan media sosial untuk beriklan tanpa harus mengeluarkan biaya untuk advertising.

"Saya kira tidak bisa dibendung marketing itu nanti akan banyak prosesnya dilakukan secara online khususnya lewat social commerce karena tingkat efektivitasnya tinggi," ujarnya.

Laporan dari DoubleVerify juga menyebut sebanyak 63% konsumen di Indonesia dalam melakukan pembelian di social commerce mengaku dipengaruhi oleh influencer di media sosial mulai dari macro influencers yang memiliki 100.000 hingga 1 juta pengikut hingga mega influencers yang memiliki lebih dari 1 juta pengikut di akun media sosialnya. 

Menanggapi temuan tersebut, Founder & Chair MCorp Hermawan Kartajaya, menilai saat ini pengiklan sudah mulai memanfaatkan influencers yang bahkan jumlah pengikutnya lebih kecil dari angka tersebut, lantaran mereka sudah memiliki komunitas tersendiri untuk kemudian bisa memasarkan sebuah produk.

“Sekarang di social commerce kan mulai bergeser lagi, kalau dulu orang pakai influencers yang gede, sekarang pakai yang kecil. Bukan influencers yang punya jutaan pengikut yang bayarnya mahal, tapi kalau orang yang cuman punya pengikut 500 - 1.000 kan komunitasnya bagus, itu community branding, jadi kita membuat brand menjadi terkenal di komunitas tersebut,” ucap Hermawan, Minggu (14/12/2025).

Baca juga:

Targetkan Rp35 Triliun, Harbolnas Jadi Pendorong Daya Beli Jelang Akhir Tahun
Jatuh pada tanggal 12 bulan 12 (12.12) Harbolnas ditargetkan bisa meraup Rp35 triliun atau naik 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya senilai Rp31,2 triliun.

Para pelaku usaha pun disebut harus dengan cepat melakukan transformasi teknologi dan beradaptasi agar tidak tertinggal dalam persaingan. Hermawan menjelaskan ada sejumlah kesalahan yang dilakukan oleh para pengusaha dalam memanfaatkan social commerce untuk memasarkan produknya.

Media sosial seperti YouTube, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya, memiliki karakteristik dan segmentasi yang berbeda-beda, sehingga dalam memasarkan sebuah produk tidak bisa dipukul rata.

“Lalu ketika masuk media sosial dan live streaming jualan, dia tidak memilih host yang benar yang kepribadiannya berbeda dengan brand-nya. Kemudian, tidak ada positioning yang jelas, kan marketing itu positioning differentiation branding, sehingga tidak boleh diabaikan,” lanjutnya.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, menyoroti pentingnya regulasi yang mengatur terkait dengan social commerce dalam melindungi konsumen hingga para pelaku usaha untuk menciptakan keadilan di ekosistem ekonomi digital.

Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan aturan terkait dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada tahun 2020 lalu, dan social commerce yang dimasukkan ke dalam lingkup PMSE dalam Permendag No.31 Tahun 2023.

“Ketika aturan terkait dengan PMSE dikeluarkan, saya sudah menyampaikan ada potensi perpindahan transaksi dari e-commerce ke social commerce. Dengan mereka pindah ke social commerce, seller ini tidak perlu membayar biaya administrasi yang semakin tinggi, namun sudah ada pembeli setianya,” ucap Huda, Minggu (14/12/2025).

Melalui aturan yang mengatur marketplace dan social commerce tersebut, persaingan usaha dapat menjadi lebih adil dan sehat.

“Hal ini dapat dimengerti karena meskipun banyak digunakan, namun perlindungan konsumen di social commerce juga kurang. Penjualan di social commerce hanya berdasarkan kepercayaan kepada seller dari buyer,” sambungnya.

Baca selengkapnya