Realisasi APBN 2025, Pelajaran untuk Memacu Pertumbuhan Tahun Depan

Realisasi penerimaan dan belanja negara hingga akhir November 2025 masing-masing mencapai 82,1% dan 82,5% dari outlook APBN 2025.

Realisasi APBN 2025, Pelajaran untuk Memacu Pertumbuhan Tahun Depan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (ketiga kanan) bersama jajaran eselon I dan II Kementerian Keuangan dalam acara Konferensi Pers APBN KiTA edisi Desember 2025 di Jakarta, Kamis (18/12/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana
Daftar Isi

Realisasi penerimaan dan belanja negara hingga akhir November 2025 masing-masing mencapai 82,1% dan 82,5% dari outlook APBN 2025. Capaian yang belum optimal ini menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi tahun depan yang ditargetkan mencapai 5,4% secara tahunan. Sejumlah strategi dan kebijakan fiskal dipersiapkan untuk tidak menyia-nyiakan momentum berharga di Kuartal-I 2026.

Dengan realisasi penerimaan negara mencapai Rp2.351,5 triliun dan belanja negara mencapai Rp2.911,8 triliun per 30 November 2025, defisit APBN tercatat sebesar Rp560,3 triliun atau 2,35% PDB Indonesia.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, angka tersebut masih berada dalam batas terkelola dan sesuai dengan desain awal. Meski demikian, Bendahara Negara menegaskan, penerimaan dan belanja negara memiliki ruang untuk dioptimalkan.

Dari sisi penerimaan, optimasi pajak dilakukan secara simultan dengan penguatan bea cukai dan devisa hasil ekspor sumber daya alam, sementara dari sisi belanja, percepatan tahun depan akan dilakukan guna memaksimalkan naiknya permintaan sepanjang momentum tahun baru, Imlek, dan Idulfitri yang terjadi di Kuartal-I 2026.

"Coretax sudah kita perbaiki, tetapi tentu masih ada ketidaksempurnaan yang akan kita perbaiki. Kemarin sudah dites 50.000 karyawan Kemenkeu sekaligus login dan tetap baik. Sistem digital seperti ini kita perbaiki terus agar tahun depan lebih efisien, dengan target yang bisa lebih tinggi lagi," ucap Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Melengkapi penjelasan Purbaya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan, pada bulan November 2025, pengumpulan pajak tumbuh 2,5% dibandingkan capaian akhir Oktober lalu. Dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.634,4 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bruto tercatat tumbuh positif 1,7%, meski restitusi pajak masih membuat keduanya mengalami kontraksi -6,6%.

"PPN dan PPnBM adalah denyut nadi perekonomian, karena keduanya dibayarkan kalau terjadi transaksi. Artinya, kalau PPN tumbuh positif, transaksi juga bertumbuh positif. Denyut nadi perekonomian ini yang kami ukur lewat pertambahan nilai yang menunjukkan perbaikan, dan akan lebih baik lagi di bulan Desember ini," cetus Suahasil.

Di samping pajak, penerimaan kepabeanan dan cukai tumbuh 4,5% year-on-year (YoY) mencapai Rp269,4 triliun atau 89,3% dari outlook APBN, dengan komponen bea keluar tetap mengalami pertumbuhan tertinggi akibat kenaikan harga CPO dan volume ekspor sawit serta konsentrasi tembaga.

Selain dari segi besaran penerimaan, Suahasil melaporkan prestasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam 17.641 penindakan sepanjang 2025 yang berhasil menyita 1 miliar batang rokok ilegal, termasuk dari aktivitas penindakan terbaru yang mengamankan 11 juta batang rokok ilegal dan mencegah kerugian negara sebesar Rp12,5 miliar. Dalam penindakan ini, DJBC telah menahan 3 warga negara asing sebagai tersangka.

Dalam komponen belanja, di samping belanja kementerian/lembaga dan belanja program prioritas pemerintah, Suahasil menggarisbawahi realisasi belanja pemerintah daerah yang baru mencapai Rp922,5 triliun atau 65,3% dari pagu, padahal nominal transfer ke daerah (TKD) telah mencapai Rp795,6 triliun atau 91,5% pagu APBN.

Apabila capaian dibandingkan dengan besaran TKD Rp713,4 triliun pada akhir Oktober 2025, artinya pemerintah telah memberikan tambahan sebesar Rp82,2 triliun dalam satu bulan kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

"Selama bulan November, Pemda belanja 114 triliun, sehingga saldo rekening pemerintah daerah turun dari Rp230,1 menjadi Rp218,2 triliun. Meski demikian, belanja daerah masih harus lebih tinggi karena realisasi belanja baru 65 persen pagu. Pemda perlu terus mempercepat belanja di bulan Desember agar manfaat ke masyarakat lebih terasa," ucap Suahasil.

Strategi awal tahun

Berkaca dari realisasi penerimaan dan belanja yang suboptimal, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan pemetaan strategi fiskal pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi tahun depan, terutama dengan melihat postur APBN yang benar-benar ekspansif.

"Belanja harus lebih cepat di Q1 2026, sehingga komponen pertumbuhan government expenditure akan positif dan tinggi untuk pertumbuhan Q1. Iklim usaha harus diperbaiki, sehingga peran swasta makin besar. Ekspor kita masih punya peluang, terutama tekstil dan alas kaki yang sangat bersaing. Nilai tambah sumber daya alam harus semakin banyak di Indonesia," ucap Febrio.

Baca juga:

Optimalisasi Belanja K/L Mendesak untuk Menopang Pertumbuhan
Realisasi anggaran belanja negara hingga September 2025 mencapai 63,4%. Kinerja ini lebih ditopang oleh realisasi anggaran Transfer ke Daerah (TKD) yang mencapai 74,6%. Sementara belanja pemerintah pusat baru mencapai 59,7% disebabkan beberapa kementerian/lembaga yang realisasinya di bawah 50%.

Sejauh ini, Febrio menjelaskan, strategi mengejar penerimaan yang akan segera berlaku adalah peningkatan konversi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) hingga 50%. Selain menambah penerimaan, DHE membuka peluang peningkatan likuiditas valuta asing di pasar uang domestik.

Di samping peningkatan konversi DHE SDA, pemberlakuan bea keluar batubara terhitung 1 Januari 2026 akan mengamankan penerimaan negara hingga Rp24-25 triliun. Selain keduanya telah memperoleh persetujuan DPR, memaksimalkan potensi sumber daya alam untuk penerimaan negara sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

"Selama ini eksportir SDA itu menyimpan paling tidak 40%. Nah, dengan cara meningkatkan konversi, ini sekaligus bersama OJK kita melakukan pendalaman pasar dan menambah instrumen yang dibutuhkan, termasuk SBN domestik dengan tenor di bawah 1 tahun. Likuiditas bertambah, transaksi makin banyak, sehingga pasar keuangan juga semakin efisien," jelas Febrio.

Perhatikan kualitas

Meski realisasi APBN telah berhasil mencapai lebih dari 80% outlook, Peneliti Makroekonomi LPEM FEB UI Mervin Goklas Hamonangan cenderung skeptis bahwa target pertumbuhan tahunan 5,2% akan tercapai. Bukan hanya karena masalah shortfall penerimaan dan belanja, melainkan faktor lain yang memengaruhi anggaran, yaitu konsumsi masyarakat dan dinamika sektor riil.

"Salah satu yang menjadi concern utama adalah penanggulangan bencana yang kemungkinan berdampak terhadap angka Q4 yang diharapkan mengungkit naik angka pertumbuhan tahunan," jelas Mervin saat dihubungi SUAR, Kamis (18/12/2025).

Baca juga:

Efisien dan Antibocor di RAPBN 2026 (3)
Pemerintahan mematok target tinggi dalam rancangan anggaran dan pendapatan di tahun 2026. Pembiayaan belanja yang akan ditopang pajak perlu dirancang matang agar tidak membebani rakyat.

Mervin menekankan agar pemerintah tetap ingat bahwa anggaran bukan masalah kuantitas, melainkan kualitas. Terkait program prioritas yang digadang-gadang menggerakkan perekonomian akar rumput, kepastian tepat sasaran lebih penting daripada pertumbuhan jumlah penerima dan anggaran tersalurkan, terutama MBG dan KDMP.

Sepandangan dengan Mervin, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengharapkan alokasi anggaran pemerintah benar-benar produktif dan mengurangi acara-acara yang bersifat seremonial. Karenanya, peruntukan anggaran untuk program pemerintah yang cenderung dipaksakan sebaiknya dihemat dan dipindahkan ke anggaran lain.

"Budget fiskal kita 'kan terbatas, artinya harus mengurangi apa yang kita inginkan ke apa yang kita butuhkan, kalau tidak mau menambah kerja lebih keras lagi. Kebijakan yang tidak fundamental dan populis serta kurang produktif membutuhkan evaluasi, agar anggarannya dihemat dan programnya tidak sekadar menjadi kebijakan mercusuar," tegas Esther.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional