Rasio Perpajakan Indonesia Bisa Meningkat dengan Dua Strategi Ini

Indonesia bisa meningkatkan rasio perpajakan dengan menerapkan dua strategi. Pertama, menuntaskan empat masalah fundamental pajak. Kedua, menutup lima kebocoran pajak.

Rendahnya rasio perpajakan di Indonesia selalu menjadi bahan perbincangan yang kerap berakhir di jalan buntu. Kenapa Indonesia belum mampu meningkatkan rasio perpajakannya jika dibandingkan dengan negara lain?

Padahal, sebetulnya, Indonesia bisa meningkatkan rasio perpajakan dengan menerapkan dua strategi. Pertama, menuntaskan empat masalah fundamental pajak. Kedua, menutup lima kebocoran pajak. Pendapatan pajak pun bisa meningkat tanpa perlu mengerek naik tarif yang bisa bebani masyarakat dan dunia usaha.

Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menuturkan, empat masalah fundamental pajak yang perlu dituntaskan untuk meningkatkan rasio pajak terdiri dari partisipasi publik yang belum optimal, edukasi pajak yang belum inklusif, narasi kebijakan yang masih minim, dan pengelolaan data yang menantang.

Masalah partisipasi publik yang belum optimal, menurut Darussalam, lantaran pemerintah tidak mau mendengar suara wajib pajak,dukungan publik itu dibutuhkan untuk menjamin efektivitas sistem pajak.

Dalam menyusun sistem pajak, ia menyarankan, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, target pembangunan ke depan, serta jaminan dukungan publik.

Masalah edukasi pajak yang belum inklusif karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami pajak dengan tepat. “Apa sih pajak? Gunanya apa? Kenapa harus bayar pajak?" Pertanyaan-pertanyaan itulah yang sering muncul di benak masyarakat dan sebagian dari mereka masih bingung mengenai pajak.

Maka dari itu, pemerintah – khususnya Ditjen Pajak – perlu meningkatkan sosialisasi mengenai pajak.

Masalah narasi kebijakan ini memang masih minim, karena pemerintah belum optimal menarasikan setiap kebijakan yang ada. Misalnya, narasi mengenai insentif pajak, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa itu insentif pajak. Tidak semua masyarakat yang lulusan  S1 ekonomi. Kondisi seperti inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah.

Masalah data, tantangannya masih berkaitan dengan cara pengumpulan data, memastikan validitasnya sampai analisis data tersebut.

“Sebenarnya, masih banyak pekerjaan rumah mengenai pajak ini, makanya rasio perpajakan Indonesia masih rendah,” ujar Darussalam ketika menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan Webinar Nasional Mengenai “Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi” di Jakarta (26/8).

Strategi kedua agar rasio perpajakan di Indonesia naik adalah menutup lima kebocoran pajak.

Pertama, shadow economy yang merupakan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah. Shadow economy ini menjadi kebocoran yang menyasar PDB.

Kedua, dampak kompetisi pajak (antar-negara). Akibat adanya keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing investasi, sistem pajak kerap digunakan; sehingga berdampak pada pengurangan penghasilan kena pajak.

Ketiga, pengelakan pajak ke negara dengan tarif rendah, bahkan tidak ada pajak (offshore tax evasion). Untuk Asia, negara favorit untuk memarkir dana berada di Singapura.

Keempat, praktik base erosion and profit shifting (BEPS). Imbas dari globalisasi ini berpengaruh pada penghasilan yang dikenai pajak.

Kelima, praktik tidak melaporkan dan tidak membayarkan beban pajak terutang, kebocoran pajak ini terjadi karena ada beban pajak terutang yang seharusnya dibayar, tapi tidak terpenuhi.

"Lima kebocoran pajak ini perlu diantisipasi agar Indonesia tidak kehilangan potensi penerimaan," ujar Darussalam.

"Lima kebocoran pajak ini perlu diantisipasi agar Indonesia tidak kehilangan potensi penerimaan," ujar Darussalam.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menuturkan, potensi penerimaan negara dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mencapai Rp 56 triliun per tahun.

Hal itu bisa dicapai melalui skema pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% dari omzet untuk UMKM dengan pendapatan hingga Rp 4,8 miliar per tahun. Meski demikian, saat ini kepatuhan pajak dari pelaku UMKM masih rendah.

“Sistem pajak juga mungkin perlu diperbaiki agar memudahkan orang untuk membayar pajak," ujar dia.

Saat ini UMKM berkontribusi sekitar 60,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp 12.639,9 triliun dari total PDB Rp 20.892,4 triliun.

Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.

Aviliani menilai tarif 0,5% dari omzet tidak bisa diterapkan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan moral hazard. Yakni, pelaku usaha bisa saja memecah usaha mereka agar tetap berada di bawah batas omzet Rp 4,8 miliar.

Aviliani menilai tarif 0,5% dari omzet tidak bisa diterapkan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan moral hazard.

UMKM dikenai PPh final 0,5% apabila memiliki omzet (peredaran bruto) tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022.

Bidik pajak kripto

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan, pemerintah sedang membahas kebijakan perpajakan aset kripto, sebagai salah satu langkah untuk menambah penerimaan negara.

Jadi, ada perubahan regulasi perpajakan untuk aset digital tersebut. Aturan baru itu sudah diterbitkan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Dasar perubahannya adalah peralihan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam aturan baru tersebut, Kemenkeu menetapkan sejumlah perubahan utama pada skema pajak kripto. Pertama, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi aset kripto di platform resmi, karena kini aset digital tersebut diperlakukan setara dengan surat berharga.

Kedua, penyesuaian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 final. Transaksi aset kripto melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dikenai tarif 0,21%, sedangkan transaksi melalui PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 1%.


Dorong dunia usaha

Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Dewan Pengawas Indonesia Business Council (IBC) Arsjad Rasjid menjelaskan, cita-cita mengembangkan perekonomian nasional yang unggul, berdaya saing, dan inklusif semakin sulit di tengah ketidakpastian akibat dinamika geopolitik dan geoekonomi global.

Karenanya, kesediaan memacu keunggulan kompetitif, diikuti penyelarasan perspektif antarpemangku kepentingan lewat pertukaran gagasan konstruktif, menjadi kunci sukses Indonesia menemukan jalan keluar terbaik guna mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.

Pemikiran tersebut ditekankan Arsjad dalam konferensi pers kick-off Indonesia Economic Summit 2026 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (26/08/2025). Dalam konferensi pers yang dimoderatori Vice President for International Affairs IBC Noto Suoneto tersebut, Arsjad menjadi pembicara bersama Chief of Executive Officer IBC, Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional 2016-2022.

Di hadapan puluhan awak media, konferensi tersebut menandai persiapan Indonesia Economic Summit (IES) 2026 yang akan diselenggarakan di Shangri La Hotel, Jakarta, pada 3 Februari–4 Februari 2026 mendatang. Konvensi internasional kedua IBC tersebut direncanakan menjadi ruang pertukaran gagasan dan peluang bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Dengan rencana mengundang lebih dari 150 perwakilan pemerintah, akademisi, pelaku bisnis dan industri, pembuat kebijakan, serta pemikir dari Indonesia dan mancanegara, IES 2026 akan mengusung tema Coming Together to Boost Resilient Growth and Shared Prosperity.

IBC memilih tema tersebut dengan memperhatikan konteks situasi perekonomian nasional dan internasional, serta berharap dapat memupuk komitmen untuk tidak hanya bertahan, melainkan juga menyintas ketidakpastian dengan memanfaatkan potensi yang ada di Tanah Air, tetapi belum tergarap secara maksimal.

Dalam pemaparannya, Arsjad kembali menegaskan cita-citanya saat mendirikan IBC pada 2023. Yaitu, menciptakan ekosistem bisnis yang sehat, transparan, berdampak, dan kompetitif, demi menjaga perekonomian Indonesia tetap tumbuh dan tangguh di tengah ketidakpastian global. Melalui program-program kerja penelitian, advokasi kebijakan, dan konferensi, IBC membantu pemerintah, pelaku bisnis dan industri, dan masyarakat madani menyelaraskan prioritas ke depan.

Secara khusus, dia mengharapkan agar IES sebagai ajang tahunan unggulan mampu mengambil lima peran krusial: suara semesta dunia usaha nasional; platform dialog konstruktif; advokat pembaruan kebijakan; kampiun kerja sama pengusaha-pemerintah; serta pemegang kemudi dalam tata kelola ekonomi yang baik (good economic governance).

"Di tengah ketidakpastian global, pertumbuhan saja tidak cukup. Kita membutuhkan ketahanan dan pemerataan kesejahteraan agar pertumbuhan dapat dirasakan seluruh rakyat Indonesia, leaving no one behind," ujarnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia periode 2021-2025 itu menilai inklusivitas sebagai salah satu masalah krusial dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, tetapi jarang diperhatikan. Padahal, kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat melupakan kemiskinan yang masih harus kita tangani.

Inklusivitas sebagai salah satu masalah krusial dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, tetapi jarang diperhatikan. Padahal, kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat melupakan kemiskinan yang masih harus kita tangani.

"Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dirasakan di pusat-pusat perekonomian dan hanya menciptakan kesejahteraan di atas, tetapi juga dirasakan di daerah oleh seluruh rakyat Indonesia, selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto, yaitu 0 persen kemiskinan sebagai landasan memacu 8 persen pertumbuhan," ujarnya.

Selain inklusivitas vertikal di dalam negeri, inklusivitas perekonomian juga harus terwujud secara horizontal dengan mengetengahkan kerja sama Indonesia dengan negara-negara regional ASEAN maupun konektivitas ASEAN dengan negara-negara Amerika Selatan, Afrika, dan Timur Tengah dalam isu-isu kritis seperti transisi energi dan resiliensi kawasan.

Melalui IES, Arsjad berharap Indonesia dapat memetakan titik-titik temu yang berpotensi mendorong pengusaha-pengusaha Indonesia go international. "Jangan kita berpikir bisa unggul di semua sektor, maka kita harus memilih sektor yang paling kompetitif, dan mengembangkannya. We can win the war, but we cannot win all the battles. So, we have to choose our battle," ungkapnya.

Konferensi Pers Kick-off Indonesia Economic Summit 2026 oleh Indonesia Business Council (IBC) di Jakarta (26/08/2025). Ki-ka: Noto Suoneto (Vice President for International Affairs, IBC); Arsjad Rasjid (Chairman of Board of Trustees, IBC); Sofyan Djalil (CEO IBC). Foto: SUAR/Chris Wibisana

CEO IBC Sofyan Djalil menuturkan, salah satu penelitian yang IBC kerjakan saat ini adalah ekspansi peluang pekerja migran Indonesia sebagai antisipasi bonus demografi.

Sofyan mencatat Indonesia tidak pernah mengalami bonus demografi yang membuat populasi generasi muda bertambah secara mendadak. Akibatnya, saat ini kebutuhan pekerjaan meledak, sementara daya tarik investasi Indonesia, baik dalam pertimbangan ease of doing business, cost of doing business, kesiapan teknologi, dan keunggulan talenta belum sangat kuat di mata sebagian investor.

Dengan demikian, lapangan kerja yang dapat terbuka dari investasi tidak berkembang, sementara populasi pencari kerja bertambah secara eksponensial.

"Karena itu, kami memikirkan solusi mengirim orang muda Indonesia menjadi migrant workers untuk mengasah skill dan pengalaman orang muda Indonesia dengan bekerja di luar negeri," ujar Sofyan.

Rekomendasi-rekomendasi yang telah IBC buat, lanjut Sofyan, menjadi kontribusi intelektual yang mendorong agar sebuah kebijakan fit for purpose. Karena itu, penelitian kebijakan yang IBC telah dan sedang buat tetap memerlukan pengawalan agar dapat diimplementasikan, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh para pelaku bisnis dan industri yang menjadi anggota.

"Saat kami menemukan studi kasus atau pengalaman empiris yang telah terbukti menjadi best practices, seperti keberhasilan perusahaan asal negara tetangga kita atau praktik lokal yang terbukti berhasil di daerah dan dapat diterapkan lebih luas, hal itu menjadi pelajaran, dan kami akan memberdayakan anggota-anggota dengan mendorong, why not you’re into this?" ungkap ekonom kelahiran Aceh itu.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional