Bank Indonesia pada Kamis (30/10/2025) resmi meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) Tap In & Out untuk lima moda transportasi di wilayah Jabodetabek mulai dari KRL Commuter Line, Transjakarta, LRT Jakarta, LRT Jabodebek dan MRT.
Hal ini dilakukan guna memudahkan masyarakat dalam melakukan pembayaran digital tanpa perlu memindai kode QR.
"QRIS Tap In & Tap Out ini akan diluncurkan untuk lima moda transportasi di Jabodetabek," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam acara Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia x Indonesia Fintech Summit & Expo (FEKDI x IFSE) 2025 di Jakarta.
Berbeda dari QRIS konvensional yang harus menggunakan kode QR untuk memindai, QRIS tap bekerja dengan sentuhan ponsel ke mesin pembaca pada umumnya, namun tanpa kartu.
Indonesia, kata dia, menjadi negara dengan pertumbuhan dengan ekonomi keuangan digital tercepat di dunia dengan volume mencapai 37 miliar transaksi senilai Rp520 triliun pada tahun 2025.

Menurut Perry, sejak pertama kali diluncurkan pada 17 Agustus 2019, QRIS telah menghubungkan 57 juta pengguna dan 39 juta merchant yang sebagian besar merupakan UMKM.
Ia menargetkan pada 2030, keuangan digital akan meningkat menjadi 147,3 miliar transaksi.
"Inilah masa depan Indonesia sebagai the fastest growing digital payment. Kita terus maju bergerak menjadi the best digital economy in the world," ujar Perry.
Mempertegas penjelasan Perry, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan, transformasi ekonomi digital demi memperkuat daya saing industri digital membutuhkan inovasi yang menghadirkan akses inklusif, layanan efisien dan aman, sehingga menimbulkan kepercayaan publik yang semakin kuat.
"OJK terus memperkuat pengawasan berbasis data dan teknologi, termasuk berkolaborasi dengan otoritas fiskal, moneter, dan pelaku industri. Melalui kesempatan ini, Indonesia tidak lagi hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penentu dan pengarah ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara," ucap Mahendra.
Ke negeri ginseng
Tak berhenti di situ, pengembangan QRIS Lintas Batas ke Korea Selatan juga resmi diluncurkan, menyusul kesuksesan QRIS Lintas Batas Negara yang berhasil digunakan di Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Tiongkok.
Head of ASEAN-ROK Financial Cooperation Centre Lee Young-jick secara terbuka mengungkapkan apresiasinya atas peluncuran ini.
Menurut Lee, sistem pembayaran QR Indonesia yang telah mantap merupakan langkah awal untuk integrasi dalam sistem EKD global, yang saat ini mencapai USD 14,3 miliar dan diproyeksikan akan menyentuh USD 61,7 miliar pada 2033. Perluasan akses layanan internet, lokapasar, serta transisi demografi pada generasi melek digital membuka jalan untuk mencapai pertumbuhan itu.
"Situasi ini menggambarkan bukan hanya perubahan teknologi, melainkan juga perubahan gaya hidup. Sesudah keberhasilan QRIS yang menghubungkan lebih dari 50 juta pengguna, langkah berikutnya adalah membangun integrasi pembayaran lintas-batas yang menghubungkan jaringan pembayaran QR untuk kelancaran transaksi antarnegara," cetusnya.
Baca juga:

Serupa dengan Indonesia, kemudahan pembayaran digital pun mengalami pertumbuhan signifikan di Korea Selatan, dengan rata-rata volume transaksi harian mencapai 30,72 juta transaksi senilai KRW 959,4 miliar. Sesudah pandemi, frekuensi ini meningkat seiring tumbuhnya kebutuhan pelancong Korea untuk menggunakan pembayaran QR saat berwisata ke Asia Tenggara.
Selaku otoritas pembayaran antarbank di Korea Selatan, KFTC telah memilih Hana Bank sebagai exclusive settlement bank untuk proyek QR lintas batas negara, dengan pilot project diluncurkan di Indonesia. Pilihan tersebut berdasarkan temuan KFTC bahwa Hana Bank telah mencatat transaksi QR senilai KRW 31,8 miliar (USD 23 juta) pada 2024, atau meningkat 10 kali lipat dari 2022, dengan sebagian besar dilakukan para pelancong Korea Selatan di Asia Tenggara.
Dalam periode uji coba saat ini, pelancong asal Korea Selatan dapat menggunakan aplikasi pembayaran digital Korea untuk memindai QRIS saat berkunjung ke Indonesia. Demikian pula, pelancong asal Indonesia dapat memindai ZeroPay dan SeoulPay dengan aplikasi pembayaran digital Indonesia untuk bertransaksi di Korea Selatan. Baik ZeroPay maupun SeoulPay merupakan platform pembayaran yang digunakan lebih dari 2 juta merchant di seluruh Korea Selatan.
"Kami akan terus bekerja dengan mitra Indonesia kami guna memastikan proyek ini semakin mudah diakses. Ini bukan hanya tentang pembayaran, melainkan satu langkah menuju saling pengertian yang lebih baik dan penguatan hubungan antara Korea Selatan dan Asia Tenggara, untuk saling mengetahui, terhubung, dan tumbuh bersama-sama," pungkas Lee.
Belum ideal
Selain inklusi horizontal dengan memperluas jangkauan QRIS Lintas Batas, kiat mendorong inklusi vertikal lewat peningkatan kapasitas literasi keuangan UMKM turut menjadi perhatian FEKDI x IFSE 2025. Dalam kesempatan ini, PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. mendemonstrasikan aplikasi mobile Stroberi Kasir sebagai dedikasi BRI membantu UMKM melalui aplikasi point of sales.
Kepala Departemen Kemitraan Bisnis BRI Faiz Nasrullah Samara menjelaskan, aplikasi Stroberi Kasir lahir dari kesadaran bahwa UMKM sebagai pilar ekonomi Indonesia membutuhkan dorongan inklusi finansial yang lebih baik, mengingat kapasitas literasi keuangan yang masih rendah.
Melalui aplikasi ini, BRI ingin membangun kebiasaan pelaku UMKM memiliki pencatatan lebih baik, mencapai efisiensi operasional, serta mempermudah stok dan laporan keuangan. Dalam pemakaiannya, Stroberi Kasir membantu pelaku UMKM untuk menghitung stok, mencatat transaksi dan nominal, serta membantu penghitungan hasil keuntungan dalam penjualan di akhir hari.
"Aplikasi ini gratis selama BRI berdiri. Cukup unduh, dan daftar secara sederhana dengan nomor ponsel. Aplikasi ini dapat digunakan siapa saja, baik nasabah BRI maupun bukan. Lewat aplikasi ini, kami ingin menanamkan kebiasaan mencatat penjualan yang sangat penting, termasuk oleh pengusaha mikro," tutur Faiz.
Praktik-praktik penyediaan kesempatan setiap lapisan masyarakat mendapatkan akses pada produk dan layanan keuangan sebagai spirit BI memberikan makna semakin luas tentang inklusi keuangan. Namun, Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Media Wahyudi Askar memberi catatan bahwa kepemilikan akun sebagai tolok ukur BI dan OJK mengukur tingkat inklusi keuangan dapat memicu masalah.
"Sangat mungkin, Indonesia memiliki tingkat kepemilikan akun yang tinggi, tetapi pemiliknya tidak menggunakan akun tersebut untuk mengakses layanan keuangan. Kita tahu, hampir sebagian besar bantuan sosial menggunakan akun perbankan, dan akun itu digunakan untuk menerima uang dari pemerintah saja, bukan transaksi aktif," ujarnya saat dihubungi SUAR, Kamis (30/10/2025).
Media menegaskan, meskipun jumlah kepemilikan akun perbankan tinggi belum mencerminkan inklusi keuangan yang baik. Ukuran kebergunaan produk dan layanan keuanganlah yang harus menjadi tolok ukur inklusi, bersamaan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
"Inklusi lebih dari sekadar buka rekening. Yang paling penting, masyarakat benar-benar menggunakan produk sesuai kebutuhan. Data kepemilikan akun tinggi, tetapi diukur dengan indikator penggunaan produk, apalagi ditambah signifikansi dampak penggunaan produk terhadap kesejahteraan, kita bisa menemukan inklusi masih jauh dari kata ideal dan harus disegerakan," tandasnya.