Perkuat Kelas Menengah Jadi Solusi Atasi Pengangguran

Terlepas dari berbagai perdebatan soal klaim Presiden Prabowo Subianto bahwa angka pengangguran terus menurun, salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk secara riil mengurangi pengangguran salah satunya dengan memperkuat kelas menengah.

Perkuat Kelas Menengah Jadi Solusi Atasi Pengangguran
Pencari kerja mendengarkan penjelasan mengenai lowongan pekerjaan saat Jakarta Job Fair Goes to Vocational School di SMKN 57 Jakarta, Jumat (25/7/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Isu ketenagakerjaan kembali menghangat setelah Presiden Prabowo Subianto, pada pidato kenegaraan di Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI), Jumat (15/8/2025), menyebutkan: tingkat pengangguran terus menurun. Terlepas dari berbagai perdebatan, solusi yang bisa ditawarkan untuk secara riil mengurangi pengangguran, salah satunya, dengan memperkuat kelas menengah.

Dalam pidato kenegaraan tahunan pertamanya itu, Presiden Prabowo menyatakan bahwa ketenagakerjaan sebagai salah satu bidang yang menjadi perhatiannya. Langkahnya, antara lain, dengan melakukan percepatan investasi di bidang hilirisasi SDA melalui pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

“Danantara akan ciptakan jutaan lapangan kerja berkualitas, terutama di bidang hilirisasi. Alhamdulillah, hari ini tingkat pengangguran nasional berhasil turun ke level terendah sejak krisis 1998,” ucap Prabowo di hadapan Majelis.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa.

Pernyataan Presiden senada dengan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS termutakhir, yakni Februari 2025, menunjukkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,76%. Angka ini mencerminkan tren penurunan yang terjadi selama 4 tahun terakhir dari angka 6,62% pada 2021; 5,83% pada 2022; 5,45% pada 2023; dan 4,82% pada tahun 2024.

Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, secara data statistik, bisa dikatakan ada penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Sehingga ini adalah catatan yang bisa kita klaim sebagai suatu keberhasilan, terutama pasca-Reformasi 1998 dan pandemi Covid-19,” ujar Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan RI, Anwar Sanusi, kepada SUAR, Sabtu (16/08).

Lebih lanjut, menurut Anwar, tingkat partisipasi angkatan kerja menggambarkan kenaikan angka sebesar 0,8% – dari 69,8% pada 2024 menjadi 70,6% pada tahun 2025.

“Kedua data ini dapat memotivasi sinyal positif tanpa menutup data-data PHK—yang sebentar lagi akan kami sampaikan—sebagai informasi menyeluruh tentang kondisi ketenagakerjaan kita,” ujarnya.

Perbedaan persepsi publik dan pemerintah tentang pengertian pengangguran hanya dapat terselesaikan jika masalah mendasar seperti pengangguran terbuka dan kemiskinan absolut benar-benar dipahami.

Terlepas dari dasar perhitungan statistik yang menunjukkan perkembangan positif tersebut, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menekankan agar pernyataan presiden dalam pidato kenegaraan tersebut tidak serta-merta diterima. Menurutnya, perbedaan persepsi publik dan pemerintah tentang pengertian pengangguran hanya dapat terselesaikan jika masalah mendasar seperti pengangguran terbuka dan kemiskinan absolut benar-benar dipahami.

“Masalah-masalah itu dialami kelas paling bawah masyarakat kita, yang tidak mungkin ditinggalkan oleh pemerintah, dan karena itu membuat pemerintah kita struggling,” terang Bob saat dihubungi SUAR.

Dalam keadaan seperti itu, menurut Bob, pemerintah harus menggerakkan kelas menengah yang memiliki tingkat konsumsi tinggi, seraya memperkuat sektor yang memiliki daya serap ketenagakerjaan paling besar.

“Yang menggerakkan ekonomi di Indonesia adalah kelas menengah. Belanja kelas bawah tidak begitu menciptakan multiplier effect, tetapi belanja kelas menengah menciptakan, sehingga ekonomi akan jalan kalau kelas menengah ditolong,” tandasnya.

Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tersebut tidak menafikan bahwa di samping program-program prioritas pemerintah seperti Koperasi Merah Putih dan Makan Bergizi Gratis yang diklaim akan membuka ribuan lapangan kerja, ada peran swasta dalam menarik investasi yang dapat meningkatkan serapan tenaga kerja.

“Menarik investasi swasta itu tidak gampang. Kalau angka permintaan turun terus, investasi mana yang mau masuk? Jadi ada PR mendasar bagi kita meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah,” katanya.

Bob mengingatkan jika pemerintah, terutama pemerintah daerah, tidak menahan diri dari tindakan menaikkan pajak akhir-akhir ini sementara daya beli melemah, ekonomi nasional dapat memasuki lingkaran setan.

“Kita harus menggerakkan konsumsi, supaya investasi masuk, tenaga kerja terserap, dan penerimaan negara bertambah. Siklus ini yang harus kita bangun. Tugas kita semua adalah mengidentifikasi bidang-bidang usaha yang dapat memberikan revenue lebih besar untuk penerimaan negara, sehingga tidak membebani fiskal lebih panjang, tetapi juga memberikan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi,” pungkas Bob.

Kondisi lapangan

Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah, bahkan menyayangkan pernyataan Presiden, yang menurutnya, bertentangan dengan situasi di lapangan.

“Memang kita tidak punya data pembanding, tetapi kita melihat di lapangan antrean anak muda mencari pekerjaan sampai terjadi kerusuhan di Bekasi, karena jumlah yang mau melamar di luar ekspektasi panitia. Berbondong-bondong orang mendatangi job fair dalam jumlah sangat besar untuk mendapat pekerjaan,” ungkap Ilhamsyah saat dihubungi SUAR.

Aktivis yang juga Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Buruh tersebut menambahkan, data pemutusan hubungan kerja (PHK) di semester pertama 2025 hampir menyamai data PHK sepanjang tahun 2024. 

“Apakah data BPS itu data riil, tidak manipulatif? Bentuk konkretnya seperti apa? Dengan potensi sumber daya alam dan manusia, kita sebagai bagian dari kelas pekerja juga ingin optimistis dan berharap pertumbuhan ekonomi bisa menjadi dua digit,” tukasnya.

Pengajar ekonomi ketenagakerjaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Padang Wicaksono, menjelaskan bahwa keragu-raguan perbandingan data statistik dan kondisi lapangan tersebut berdasar. Angka pengangguran kerap kali identik dengan tingkat pengangguran terbuka, yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja. 

Padahal, di saat yang sama, tren pengangguran terselubung atau hidden unemployment meningkat menjadi 11,67 juta pekerja, atau setara 8% dari total penduduk bekerja. Pengangguran terselubung yang ia maksud adalah pekerja dengan jam kerja kurang dari 35 jam sepekan dan masih bersedia menerima pekerjaan tambahan. 

Di saat yang sama, tren pengangguran terselubung atau hidden unemployment meningkat menjadi 11,67 juta pekerja, atau setara 8% dari total penduduk bekerja.

Padang menengarai serapan tenaga kerja formal terbatas karena sebagian besar pencari kerja memiliki latar belakang pendidikan dan keterampilan rendah. “Ini diikuti dengan dinamika lapangan usaha yang semakin kompetitif sehingga menyebabkan PHK, diikuti terdesaknya mereka yang semula berstatus pekerja formal menjadi pekerja informal,” jelas Padang dalam pernyataan tertulis kepada SUAR.

Peralihan status ketenagakerjaan tersebut berimplikasi pada penurunan pendapatan dan tingkat kesejahteraan, di samping perlindungan pekerja yang tidak lagi dapat mengakses manfaat BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Karenanya, angka pengangguran turun perlu dipahami secara holistik dengan memperhitungkan pergeseran status ketenagakerjaan, mengingat karakteristik pengangguran di Indonesia yang sangat dinamis.

Anwar Sanusi menambahkan, pihaknya mendapat mandat untuk peningkatan keterampilan selalu berkoordinasi dengan pasar tenaga kerja agar setiap lowongan dapat diisi tenaga-tenaga kerja yang memiliki kapasitas untuk menjalankan pekerjaan tersebut. 

“Kita bisa katakan sinyal-sinyal positif sangat banyak untuk prospek ketenagakerjaan ke depan, selain mengantisipasi PHK yang masih terjadi. Dari sinyal-sinyal ini, kita berharap dapat menyuplai tenaga kerja yang sesuai dengan kompetensi sehingga mendukung kinerja perusahaan,” tutup Anwar.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional