Perbaiki Penegakan Hukum untuk Memberi Kepastian bagi Dunia Usaha (1)

Kegiatan ekonomi tidak bisa berjalan sendiri. Ada rambu-rambu, peraturan, bahkan hukum yang mengatur perekonomian agar berjalan harmonis dan bisa mencapai cita-cita kesejahteraan. Sementara, aturan dan hukum adalah produk politik. Ketiganya -hukum, ekonomi, dan politik- tidak dapat dipisahkan.

Perbaiki Penegakan Hukum untuk Memberi Kepastian bagi Dunia Usaha (1)
Terdakwa kasus dugaan suap terhadap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) Muhammad Arif Nuryanta (kanan), Djuyamto (kedua kanan), Agam Syarif Baharudin (tengah), Ali Muhtarom (kedua kiri) dan Wahyu Gunawan (kiri) mengikuti sidang pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (29/10/2025). Foto: Antara/Bayu Pratama S/nz
Daftar Isi

Tim SUAR menggali pemikiran para pengambil keputusan, pemimpin di perusahaan, serta pengamat ekonomi terkait kondisi penegakan hukum di Indonesia yang berpengaruh pada perekonomian dan dunia usaha melalui Survei Semesta Dunia Usaha.

Highlight:

  • Mayoritas responden (90,6%) menyatakan penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik. Alasan utamanya, praktik penegakan hukum masih tebang pilih dan kinerja aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) belum sesuai harapan.
  • Kinerja pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi masih buruk (56,3%), bahkan sebanyak 18,8% menyatakan semakin buruk.
  • Kinerja pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN juga masih buruk (50%) dan semakin buruk (6,3%).
  • Mayoritas narasumber (65,6%) menyatakan kinerja pemerintah dalam mereformasi hukum untuk memperbaiki kinerja dan integritas aparat penegak hukum yang masih buruk, dan sebanyak 12,5% menyatakan semakin buruk.
  • Hampir seluruh narasumber (93,8%) menyatakan bahwa hukuman bagi koruptor belum adil dan memberi efek jera.
  • Kinerja penegakan hukum saat ini belum dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia (81,3%).

Dalam laporan 1 Tahun Kerja Presiden Prabowo & Kabinet Merah Putih yang dilansir oleh Badan Komunikasi Pemerintah RI, terdapat 6 poin pencapaian di bidang hukum:

  1. Gaji hakim tingkat terendah naik 280%.
  2. Rp 300 triliun anggaran negara yang rawan dikorupsi telah dialihkan untuk program-program pro rakyat.
  3. Kasus-kasus korupsi besar diungkap dan diproses hukum. No more untouchables.
  4. Sudah lebih dari Rp 1.000 triliun kerugian negara diselamatkan oleh penegak hukum.
  5. Lebih dari 4 juta hektare kebun sawit dalam kawasan hutan disita dan dikuasai oleh negara.
  6. Lebih dari Rp 100 triliun kerugian dari tambang ilegal dan penyelundupan hasil tambang dihentikan.

Meski demikian, pemerintah mengakui, praktik korupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) masih marak terjadi. Misalnya, sejak tahun 2004 hingga 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 168 perkara tindak pidana korupsi (TPK) di lingkungan BUMN dan BUMD.

Di awal tahun 2025, korupsi Pertamina diungkap. Kasus dugaan korupsi BUMN migas ini terkait dengan tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) yang berlangsung pada periode 2018–2023. Ditaksir perkara ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 193,7 triliun.

Mencermati kondisi seperti itu, mayoritas responden (90,6%) menyatakan penegakan hukum di Indonesia belum  berjalan dengan baik. Alasan utamanya adalah praktik penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kinerja aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang belum sesuai harapan. Banyak aparat penegak hukum yang terlibat dalam jual beli perkara. Ditambah lagi dengan kebijakan hukum yang tidak jelas atau tumpang tindih

Dalam hal pemberantasan korupsi, narasumber responden memandang kinerja pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi masih buruk (56,3%), bahkan sebanyak 18,8% menyatakan semakin buruk. Porsi yang lebih kecil yang menyatakan sebaliknya, yaitu kinerjanya baik (3,1%) dan semakin baik (15,6%).

Meski skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 ada kenaikan (dari 34 ke 37) – yang berarti ada perbaikan dalam merespons kasus korupsi – skor tersebut masih di bawah rata-rata global yang di angka 43. Skor IPK tertinggi yang pernah dicapai Indonesia sejak dinilai tahun 1995 adalah di angka 40 pada tahun 2019. IPK yang dilakukan oleh Transparency International ini merupakan penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia kepada lembaga publik.

Dalam menindak korupsi di perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN pun kinerja pemerintah masih belum memuaskan. Lebih dari separuh narasumber menyatakan kinerja pemberantasan korupsi di tubuh BUMN masih buruk (50%) dan semakin buruk (6,3%). Hanya sekitar 28% yang menyatakan sudah baik dan semakin baik.

Penilaian ini wajar karena dalam ingatan publik masih lekat kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN. Selain kasus korupsi PT Pertamina yang terungkap pada tahun 2025 ini, kasus-kasus besar yang menyita ruang publik media massa antara lain kasus dana pensiun PT Asabri, kasus pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya, kasus korupsi pengadaan pesawat oleh PT Garuda Indonesia, korupsi tata niaga komoditas timah oleh PT Timah Tbk, serta korupsi pengadaan mesin EDC di PT Bank Rakyat Indonesia.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 212 kasus korupsi di lingkungan BUMN pada periode 2016-2023. Negara dirugikan setidaknya sekitar Rp 64 triliun.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, terdapat 212 kasus korupsi di lingkungan BUMN pada periode 2016–2023. Dari 212 kasus yang sudah ditindak aparat penegak hukum, negara telah dirugikan sekitar Rp 64 triliun. Setidaknya sebanyak 349 pejabat BUMN telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, mulai dari level direktur, pimpinan menengah, hingga pegawai/karyawan BUMN.

Setali tiga uang dengan upaya menertibkan lahan ilegal, baik perkebunan maupun tambang-tambang swasta yang mencaplok lahan milik negara, kinerja pemerintah juga dinilai masih belum baik. Pemerintah dianggap belum mampu (53,1%) melakukan penertiban tanah-tanah milik negara yang masuk dalam penguasaan swasta.

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Yoki Firnandi berjalan meninggalkan ruangan usai mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

Reformasi hukum

Dalam sistem hukum negara kita, lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi ada tiga. Yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga lembaga ini, yang kewenangannya diatur dalam undang-undang, bekerja dengan saling memperkuat satu sama lain untuk mencegah dan memberantas korupsi. Ketiga institusi ini menjalin sinergi untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi.

Narasumber responden menilai kinerja pemerintah dalam mereformasi lembaga penegakan hukum atau lembaga peradilan masih negatif. Mayoritas narasumber (65,6%) menyatakan kinerja pemerintah dalam mereformasi hukum termasuk dalam memperbaiki kinerja dan integritas aparat penegak hukum masih buruk dan sebanyak 12,5% menyatakan semakin buruk.

Kasus mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar yang menjadi makelar kasus di MA begitu lekat dalam ingatan publik. Ada pula kasus penangkapan empat hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengadili dan memutus lepas perkara pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO). Keempat hakim tersebut ditetapkan sebagai tersangka karena menerima suap dengan nilai total Rp 60 miliar. Kasus-kasus seperti inilah yang kemudian membentuk opini negatif tentang kuatnya mafia kasus di lembaga peradilan.  

Satu hal yang juga membentuk persepsi negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia adalah hukuman terhadap koruptor yang tidak menimbulkan efek jera, sehingga korupsi tetap merajalela. Sembilan dari 10 narasumber (93,8%) sepakat menyatakan bahwa hukuman bagi koruptor belum adil dan memberi efek jera.

ICW pernah mengungkap vonis majelis hakim terhadap para koruptor rata-rata pada kategori ringan, yaitu kurang dari 4 tahun. Baru dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah PT Timah, salah satu terdakwa yakni Harvey Moeis diperberat hukumannya di tingkat banding dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun penjara disertai pidana denda.

Kepercayaan investor

Mesti diakui bahwa tidak ada penegakan hukum yang sempurna di negara mana pun. Penegakan hukum masih banyak yang transaksional, tebang pilih, dan tidak lepas dari kepentingan politik.

Namun, narasumber melihat penegakan hukum harus maksimal dilakukan. Hal itu karena kondisi penegakan hukum berdampak pada perekonomian, terutama untuk mendatangkan investasi. Mayoritas narasumber responden menyatakan kinerja penegakan hukum saat ini belum dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia (81,3%).

Penegakan hukum sejatinya memberikan kepastian hukum yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan terkait ekonomi atau bisnis. Kasus-kasus yang cenderung bersifat kriminalisasi terhadap pengambil kebijakan menjadi ujian untuk menghadirkan kepastian hukum. Apalagi jika suatu vonis pengadilan bisa digugurkan dengan menggunakan hak prerogatif presiden lama-kelamaan dapat memunculkan kekhawatiran bahwa sistem hukum bisa diintervensi secara politik.

Optimisme harus terus dibangun bahwa penegakan hukum masih bisa diperbaiki di semua lini. Penanganan korupsi tidak boleh tebang pilih, transaksional, atau menjadi alat politik untuk menyandera. Tujuan untuk memiskinkan koruptor harus dilakukan secara maksimal. Oleh sebab itu masyarakat sangat menunggu Rancangan UU Perampasan Aset disahkan.


Metodologi dan Profil Responden

Survei Semesta Dunia Usaha dilakukan pada 5 November–25 November 2025. Sebanyak 32 narasumber (responden) dipilih secara purposive sampling dari kalangan dunia usaha dan pengamat ekonomi. Dari kalangan dunia usaha, posisi narasumber beragam, mulai dari direktur, direktur utama, hingga owner.

Dari segi pendidikan, sebagian besar responden adalah berpendidikan hingga S1 (50%) dan pascasarjana atau S2/S3 (50%).

Dari segi usia, jumlah narasumber responden yang berusia muda bertambah dengan komposisi berusia hingga 35 tahun sebanyak 28,1%, usia 36–45 tahun sebanyak 12,5%, usia 46–55 tahun sebanyak 37,5%, dan usia 56 tahun ke atas sebanyak 21,9%.

Author