Dalam mengembangkan usaha, pemilik bisnis seringkali dihadapkan dengan berbagai tantangan. Salah satunya adalah lamanya waktu yang dibutuhkan pelanggan untuk membayar invoice.
Kondisi ini dapat menghambat pemasukan. Padahal di saat yang sama, operasional bisnis tetap membutuhkan dana untuk berbagai keperluan.
Akhirnya, arus kas bisa mengalami defisit, yang tentu berisiko besar terhadap kelangsungan bisnis.
Ketua Asosiasi Fintech Pembayaran bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, mengatakan pembiayaan piutang melalui invoice financing menjadi solusi alternatif yang dapat membantu pemilik usaha menjaga kestabilan cash flow.
“Invoice financing saat ini masih menjadi produk andalan bagi pinjaman daring produktif pada pembiayaan di atas Rp 2 miliar. Kami melihat sepanjang skemanya ketat, sampai saat ini masih aman dan prospek,” ujar Entjik kepada SUAR, di Jakarta, Senin (11/08/2025).
Invoice financing adalah metode pembiayaan yang memanfaatkan invoice atau tagihan yang belum dibayarkan oleh pelanggan sebagai jaminan.
Melalui skema ini, ujar dia, pemilik bisnis dapat memperoleh dana segar, berkisar 70%—80% dari nilai tagihan yang bisa digunakan untuk kebutuhan operasional. Sementara, pihak pemberi pinjaman akan menahan invoice tersebut sebagai agunan atas dana yang telah dikucurkan.
Ketika pelanggan akhirnya melakukan pembayaran atas invoice tersebut, dana yang diterima kemudian digunakan untuk melunasi pinjaman kepada pemberi dana.
"Dengan mekanisme ini, arus kas bisnis tetap terjaga, sehingga aktivitas operasional dapat terus berjalan tanpa hambatan," kata dia.
Sejumlah platform anggota AFPI, seperti Modalku dan KoinWorks menyediakan fasilitas ini dengan regulasi resmi OJK. Keunggulan utama skema ini bukan hanya kecepatan pencairan, tetapi juga tingkat risiko yang lebih terukur berkat agunan invoice yang sudah jelas sumber pembayarannya.
"Banyak borrower yang belum bisa mendapatkan fasilitas kredit pada bank ataupun IJK (industri jasa keuangan) yang lain, sementara kebutuhannya mendesak dan perlu proses yang cepat di mana market ini cukup besar potensinya," ujar dia tanpa menyebutkan angka pasti.
Namun demikian, regulasi tetap memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan perlindungan konsumen.
Kebijakan terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai pembatasan bunga pinjaman menjadi langkah penting untuk menciptakan ekosistem pembiayaan digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Batas bunga pinjaman
Sejak Januari lalu, OJK menerapkan batas bunga harian: 0,3 persen untuk pinjaman konsumtif, 0,275 persen untuk produktif mikro, dan 0,1 persen untuk usaha kecil.
Tujuannya, agar melindungi konsumen dari jerat utang berbunga tinggi, sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem.
“Kalau borrower-nya untung, penyelenggaranya enggak untung, ya enggak jalan. Begitu juga sebaliknya. Tiga-tiganya harus matching,” kata Entjik.
Ia menyatakan bahwa angka 0,3 persen per hari adalah “sweet spot” yang dapat menjaga keseimbangan antara risiko, imbal hasil, dan akses bagi masyarakat.
Batas ini, katanya, cukup untuk menutup risiko kredit, masih memberi ruang bagi penyelenggara, dan tidak mencekik peminjam.
“Kalau diturunkan ke 0,2 persen, saya yakin seribu persen dispersinya turun. Penyelenggara akan ragu meminjamkan ke masyarakat berisiko,” ujarnya.
Istilah "pindar" (pinjaman daring) sendiri merupakan istilah yang dipakai untuk menggantikan "pinjol" (pinjaman online) untuk layanan keuangan digital yang legal dan berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pergantian nama ini dilakukan untuk memperbaiki citra industri fintech dan memudahkan masyarakat dalam membedakan layanan yang legal dan ilegal, karena istilah "pinjol" seringkali dikaitkan dengan praktik ilegal dan merugikan.
Riset AFPI mencatat nilai outstanding pinjol ilegal mencapai Rp 230 triliun–Rp 260 triliun, jauh di atas total pinjaman Pindar yang “hanya” Rp 80 triliun. Berdasarkan keterangan Entjik, perlahan ada “switching”, perpindahan pengguna dari pinjol ilegal ke pindar, senilai Rp 200 miliar–Rp 300 miliar per bulan.
“Pertanyaannya, apakah borrower di ilegal itu bagus? Sebagian prospek, sebagian tidak, karena literasi ekonomi kita masih rendah,” kata Entjik. Ia berharap lebih banyak masyarakat “pindah ke jalan yang benar”.
Inklusi keuangan dan pergeseran perilaku
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan bahwa pembatasan dilakukan untuk menyentuh aspek industri juga keselamatan konsumen.
“Di Indonesia, akses keuangan formal baru dimiliki sekitar 82% masyarakat,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini perubahan perilaku mulai terasa, masyarakat malas pergi ke kantor bank, memilih layanan digital untuk memenuhi kebutuhan finansial.
Meski begitu, Nailul mencatat sebagian besar penyaluran masih bersifat konsumtif, jauh dari target OJK yang menginginkan 70% untuk hal yang bersifat produktif.
"Contohnya pembelian laptop secara data dianggap konsumtif, tetapi bagi pekerja lepas, itu adalah alat produksi,” ujarnya.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga ikut dalam upaya ini lewat patroli siber 24 jam yang memantau dan menutup aplikasi pinjol ilegal. “Kalau enggak terdaftar di OJK, langsung take down. Jangan tunggu korban banyak,” ujar Entjik.
Dari dua sisi mata uang, ujar dia, pembatasan bunga menguntungkan peminjam karena beban berkurang, sementara lender (pemberi pinjaman) tetap tertarik berinvestasi, meski responsnya bervariasi.
“Dulu orang meminjam ke saudara, sekarang mulai pakai platform,” kata Nailul.
Ia menyebut, hasil kajian difference-in-difference Celios menunjukkan, negara yang memiliki industri fintech mencatat inklusi keuangan 0,712 poin; lebih tinggi dibanding yang tidak. Sebelum adanya fintech, inklusi keuangan hanya 0,406 poin. Dampaknya signifikan, terutama bagi 40% masyarakat kelas menengah ke bawah.
Pertumbuhan aset pindar
Meski awalnya dikhawatirkan akan menekan industri, data OJK justru menunjukkan pertumbuhan setelah pembatasan bunga diberlakukan.
Per Juni 2024, aset pindar mencapai Rp 9,91 triliun, naik 32% dibanding dengan tahun sebelumnya. Outstanding pendanaan tumbuh 22% menjadi 83,52%, dan tingkat pendanaan macet tetap terjaga di 2,85%.
Menurut Hari Gamawan, Direktur Pengembangan Lembaga Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura OJK, sektor ini tidak hanya diminati oleh pelaku fintech, tetapi juga mulai dilirik oleh perbankan.
“Kalau tidak mampu, berarti dia akan harus mengembalikan dan bebannya akan semakin berat kalau dia tidak bisa mengembalikan penjara. Kemudian dari sisi lender juga dibedakan antara yang profesional dan non-profesional,” ujar Hari menjelaskan.
Perlindungan data pribadi
Direktur Strategi dan Kebijakan Pengawasan Ruang Digital, Kementerian Kominfo, Muchtarul Huda, mengingatkan pindar rentan akan kebocoran data pribadi.
“Dulu, data pribadi dianggap aset yang bisa dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Sekarang, data adalah amanah dari subjek data pribadi, yang punya kuasa penuh atas penggunaannya,” jelasnya.
Muchtarul mengurai, dalam operasional pindar, hampir semua jenis data pribadi terkumpul: nama lengkap, nomor telepon, alamat, data keuangan, hingga informasi akun seperti username dan kata sandi.
Ia menekankan pentingnya dasar pemrosesan data yang jelas. Dalam konteks pindar, biasanya menggunakan persetujuan eksplisit pengguna saat mendaftar. Notifikasi atau kebijakan privasi yang ditampilkan di aplikasi harus menyebutkan tujuan penggunaan data secara transparan.
Namun, literasi publik tetap menjadi kunci. Muchtarul mencontohkan masih banyak warga desa yang tergiur iming-iming uang Rp 300.000–Rp 800.000 untuk menyerahkan data biometrik, tanpa menyadari risiko pencurian identitas.
“Di kota besar, orang mungkin paham bahaya pinjol ilegal. Tapi di daerah, dorongan kebutuhan sering lebih kuat daripada kesadaran keamanan,” ujarnya.
Kominfo sendiri tengah menyiapkan Lembaga Penyelenggara Pindar (LPP Pindar) dan patroli siber 24 jam untuk memblokir aplikasi ilegal tanpa menunggu korban berjatuhan. “Ini soal membangun ekosistem digital yang aman, adil, dan bisa dipercaya,” tegasnya.