Dalam waktu sebulan terakhir, Indonesia berhasil menandatangani dua perjanjian dagang dengan Uni Eropa dan Kanada.
Indonesia- European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA) diharapkan dapat melipatgandakan kinerja ekspor dalam beberapa tahun ke depan setelah implementasi.
“Komitmen kita bersama pelaku usaha adalah meningkatkan total trade dan ekspor ke Uni Eropa. Lalu, untuk Kanada yang saat ini US$ 3,5 miliar, harapannya bisa meningkat dua kali lipat setelah implementasi berjalan,” kata Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam acara Strategic Forum Indonesia-Canada CEPA dan Indonesia-European Union CEPA di Kementerian Perdagangan di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Sementara itu, berdasarkan data kementerian perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa tahun lalu mencapai US$ 30 miliar, sedangkan ekspor ke Kanada baru sebesar US$ 3,5 miliar.
Indonesia menargetkan kedua perjanjian ini akan rampung secara substansial dan bisa diimplementasikan segera setelah 2026.
Menurut Budi, kedua perjanjian dagang ini menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi perdagangan Indonesia di pasar global di tengah kondisi ketidakpastian kondisi global saat ini.
Dengan perjanjian ini, IEU-CEPA bisa menghapus hingga 98% tarif, mengurangi hambatan perdagangan barang dan jasa, serta membuka peluang investasi.
Sektor yang diuntungkan Indonesia antara lain sawit, tekstil, dan alas kaki, sedangkan Uni Eropa mendapat manfaat pada produk makanan pertanian, otomotif, dan industri kimia.
Sementara itu, melalui Indonesia–Kanada CEPA, lebih dari 90% atau sekitar 6.573 pos tarif Indonesia memperoleh preferensi di pasar Kanada.
Produk potensial Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur, makanan olahan, elektronik ringan, otomotif, hingga sarang burung walet diprediksi akan makin kompetitif.

Direktur Jenderal Perundingan Perjanjian Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan terdapat 5.441 produk ekspor asal Indonesia akan bebas tarif bea masuk ke Kanada pasca ditandatanganinya perjanjian dagang ICA-CEPA.
Contoh produknya adalah produk makanan olahan, kue, biskuit, roti, kemudian produk manufaktur seperti kabel.
“Kemudian serat optik, peralatan dekorasi rumah, suku cadang, aksesoris, otomotif, itu semua akan 0 persen," ujar dia.
Pemberlakuan tarif 0 persen ini akan dilakukan secara bertahap,sedangkan, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, sektor lain yang akan mendapat tarif terendah ini, antara lain adalah kayu, buah-buahan, olahan kelautan dan sebagainya.
Nano-Nano sampai Kanada
Salah satu perusahaan yang sudah menjajaki ekspor ke Kanada adalah Konimex Group, yang sejak Juni 2025 telah mengekspor produk ke negeri daun maple itu.
Chief Strategy Officer Konimex Group Edward Setiawan Joesoef mengatakan produk Konimex yang sudah masuk di pasar Kanada dan menjadi produk unggulan adalah Nano Nano.
Edward mengatakan masalah susah atau tidaknya masuk ke pasar Kanada semuanya tergantung produk, apakah produk yang diekspor tersebut sudah sesuai kriteria pasar dan diminati masyarakat disana, intinya produk yang diekspor harus mempunyai standar tinggi.
“Pemerintah telah membuka akses perdagangan melalui ICA-CEPA, sehingga memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk ekspor, tugasnya sekarang adalah tingkatkan kualitas produk,” ujar dia.
Ia mengatakan Kanada dikenal memiliki salah satu sistem regulasi dan pengawasan pangan yang paling ketat di dunia, diterapkan melalui Canadian Food Inspection Agency (CFIA).
“Ekspor ke Kanada merupakan langkah strategis bagi Konimex dalam memperluas penetrasi pasar internasional,” kata dia.
Seluruh produk makanan, jelasnya, harus memenuhi standar tinggi dalam aspek keamanan, komposisi bahan, dan pelabelan nutrisi, sehingga tidak semua produk dapat dengan mudah diterima di pasar.
Sementara kepatuhan terhadap regulasi ekspor Kanada merupakan tantangan awal, sekaligus menjadi validasi mutu produk Konimex dalam menjawab tuntutan pasar ekspor.
“Dengan adanya ICA-CEPA, tentu kegiatan ekspor Konimex akan semakin mudah dan berjalan lancar,” ujar dia.
Dalam pemaparannya, Konimex juga berkolaborasi dengan Atase Perdagangan RI di Ottawa, Kanada yang berperan aktif dalam mendorong perluasan akses pasar serta fasilitasi ekspor produk Indonesia.
Melalui dukungan ini, Konimex berhasil menjalin kerja sama eksklusif dengan mitra distribusi yang akan menjadi gerbang awal untuk memasuki pasar-pasar strategis di kawasan Amerika Utara dan Selatan, termasuk Amerika Serikat dan Brasil.

Duta Besar Indonesia untuk Kanada Muhsin Syihab mengatakan perjanjian dagang ICA-CEPA merupakan babak baru perdagangan Indonesia-Kanada dan bonusnya bisa memberikan akses yang lebih luas ke pasar Amerika Utara.
“ICA-CEPA akan mendorong Kanada untuk memperbesar investasi di Indonesia, khususnya pada sektor pertambangan, transportasi, dan telekomunikasi,” kata dia.
Menurut dia, ICA-CEPA membuat Indonesia semakin menarik sebagai tujuan pasar bagi Kanada. Produk kedua negara dinilai tidak saling bersaing, melainkan komplementer. Hal ini sekaligus membuka pintu masuk bagi investasi asing langsung (FDI) dari Kanada.
“Kesepakatan ini juga memberi keuntungan strategis. Indonesia semakin kokoh menancapkan pengaruhnya di Amerika Utara, sementara Kanada mendapatkan jalur baru memasuki pasar Asia Tenggara melalui Indonesia,” kata dia.
Pintu Strategis
Ketua Komite Tetap Perjanjian Internasional Kadin dan Apindo Mufti Hamka St Rajo Basa mengatakan perjanjian dagang IEU-CEPA dan ICA-CEPA yang sudah ditandatangani Indonesia bukan hanya sekedar masalah ekspor-impor melainkan pintu strategis untuk mendorong investasi, memperkuat daya saing industri nasional sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Mufti menekankan pentingnya kesiapan sektor swasta, khususnya UMKM, agar mampu memenuhi standar pasar Kanada dan Uni Eropa. Hal ini mencakup peningkatan kualitas produk, kepatuhan pada regulasi lingkungan, hingga adopsi transformasi digital.
“CEPA bukan hanya sekedar instrumen untuk peningkatan ekspor-impor tetapi juga investasi, cakupannya sangat luas,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan meskipun hambatan tarif berhasil dihapus dan Indonesia sudah mempunyai perjanjian dagang dengan Uni Eropa melalui IEU-CEPA, ekspor sawit masih harus melewati “tembok tinggi” berupa aturan deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
EUDR ini masih menjadi musuh utama bagi pelaku sawit, karena Uni Eropa masih menganggap sawit Indonesia produk tidak ramah lingkungan. Asumsi pemikiran ini harus diubah.
“IEU-CEPA kabar bagus, tapi kalau EUDR tidak bisa dipenuhi, maka nol tarif itu percuma. Tetap saja ekspor kita terhambat,” ujar Eddy kepada SUAR di Jakarta (29/9)
Eddy mengingatkan bahwa kunci sukses ekspor sawit Indonesia bukan hanya soal penghapusan tarif, tetapi juga kemampuan memenuhi regulasi non tarif. Saat ini, pemerintah bersama pelaku usaha tengah mematangkan strategi agar implementasi EUDR tidak membebani industri sawit, khususnya petani rakyat.