Rencana pengoperasian kereta cepat baru Jakarta–Bandung "Kilat Pajajaran" yang digagas pemerintah Jawa Barat dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) menuai kontroversi. Berbagai kalangan, khususnya pengusaha logistik, menilai rencana ini kurang tepat dalam hal kelayakan permintaan pernumpang di tengah persaingan yang ketat.
Kereta Api Kilat Pajajaran yang dicanangkan pada 25 November 2025 itu akan menghubungkan rute Jakarta-Bandung dengan pemangkasan waktu tempuh menjadi 1 jam sampai 1,5 jam perjalanan. Layanan kereta cepat ini rencananya juga akan diterapkan pada rute Garut-Tasikmalaya-Banjar dengan perkiraan waktu tempuh sekitar 2 jam.
Founder & CEO Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi menilai, segmentasi pasar penumpang sudah jenuh, sehingga layanan baru yang serupa tidak tepat dari sisi ekonomi maupun efisiensi jaringan transportasi.
"Rencana pengembangan kereta tersebut sebaiknya dialihkan ke penguatan logistik berbasis kereta api daripada mengangkut penumpang, tujuannya untuk mengefisiensikan industri di Jawa Barat," kata Setijadi kepada SUAR di Jakarta (15/12).
Menurut dia, konektivitas penumpang Jakarta-Bandung telah dilayani berbagai moda dan operator. Antara lain, KA Parahyangan yang menjadi pilihan karena akses langsung di pusat kota Jakarta, kereta cepat Whoosh dengan waktu tempuh paling kompetitif, serta layanan travel dan shuttle yang dominan secara point-to-point.
Selain itu, Jalan Tol Jakarta-Cikampek II (Japek II) dengan perkiraan waktu tempuh 1,5 jam juga akan menarik pengguna kendaraan pribadi, di samping layanan travel dan shuttle menjadi makin kompetitif.
"Tambahan layanan seperti KA Kilat Pajajaran tidak akan mendapatkan permintaan yang memadai dan berisiko membebani operator KA tanpa nilai tambah yang signifikan," ujar dia.
Selain itu, dengan kepemilikan saham terbesar secara tidak langsung KAI di KCIC (Whoosh), akan terjadi kompetisi tiga layanan serupa (KA Parahyangan, Whoosh, dan Kilat Pajajaran) yang semuanya “dimiliki” KAI.
Jawa Barat merupakan basis industri manufaktur terbesar di Indonesia yang meliputi sektor otomotif, elektronik, tekstil dan pangan yang membutuhkan dukungan sistem logistik yang kuat. Pada tahun 2024, terdapat 8.239 perusahaan manufaktur skala menengah dan besar serta 38 kawasan industri yang berlokasi di Jawa Barat.
Berdasarkan analisis tim riset SCI, volume ekspor Tanjung Priok berasal dari bekasi sebesar 32%, Karawang sebesar 29%, Purwakarta sebesar 8%, Bandung sebesar 6%, Bogor sebesar 4% serta Cilegon sebesar 8 persen.
Sementara itu, tujuan impor adalah Bekasi sebesar 23%, Karawang sebesar 36%, Purwakarta sebesar 9%, dan Bandung sebesar 6%.

Logistik kereta unggul
Hal senada disampaikan Muhammad Akbar, Peneliti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang mengatakan jalur Padalarang–Purwakarta memiliki kemiringan yang relatif lebih besar dibanding jalur datar Pantura.
Namun secara teknis, jalur ini sejak awal memang dirancang untuk bisa digunakan kereta barang, bukan jalur penumpang murni.
"Faktanya, sejak dulu lintas ini sudah dilalui KA barang berat seperti semen, BBM, dan peti kemas. Artinya, secara daya dukung, jalur ini mampu," ujar dia kepada SUAR di Jakarta, Senin (15/12).
Ia melanjutkan, tantangannya adalah pada manajemen operasional: jumlah rangkaian, daya tarik lokomotif, kecepatan yang disesuaikan, serta kebutuhan perawatan yang lebih intensif.
"Kereta logistik tidak sensitif terhadap tanjakan, selama kecepatan bukan target utama. Yang dicari adalah kapasitas besar, konsistensi waktu tempuh, dan biaya per ton-km yang murah—dan ini keunggulan kereta api," kata dia.

Selain itu, jalur Padalarang–Purwakarta menghubungkan kawasan industri besar (Purwakarta–Karawang–Cikarang), dan terkoneksi dengan pelabuhan (Tanjung Priok via Cikampek).
Secara efisiensi, ia menjelaskan, satu rangkaian KA barang bisa menggantikan 30–40 truk besar. Konsumsi energi per ton-km kereta api jauh lebih hemat dibanding truk, terutama untuk jarak menengah. Kereta api juga dinilai tidak terpengaruh kemacetan, dan pembatasan jam lalu lintas.
"Jika sebagai kereta penumpang reguler, risikonya justru tidak kompetitif dengan jalan tol, biaya tinggi, dan penumpangnya sedikit," kata dia.
Berdasarkan situs Bapenda Jawa Barat, proyek kereta kilat Pajajaran Proyek ini diperkirakan membutuhkan investasi sebesar Rp 8 triliun.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengungkapkan, Pemprov Jabar telah menyusun rencana pembiayaan yang akan disalurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat senilai Rp 2 triliun per tahun, dimulai dari tahun 2027 hingga 2030. Total waktu pengerjaan diperkirakan selama 4 tahun.
Direktur Utama PT KAI melaporkan bahwa studi untuk proyek Kilat Padjadjaran akan dimulai pada awal tahun 2026.
Tidak hanya Bandung-Jakarta, Kilat Padjadjaran juga akan menghubungkan Kota Bandung hingga Banjar, melalui Garut dan Tasikmalaya. Dengan proyek ini, waktu tempuh total dari Jakarta hingga Banjar ditargetkan hanya 3 jam.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengatakan, ada banyak keunggulan yang diperoleh dari logistik berbasis kereta api diantaranya kapasitas dan efisiensi biaya bisa ditekan,karena mampu mengangkut volume barang sangat besar dalam satu kali perjalanan, menekan biaya operasional dan biaya per unit barang secara signifikan dibandingkan truk.
Tidak terpengaruh kemacetan dan kondisi jalan rusak, sehingga waktu tempuh lebih pasti dan terjadwal, mendukung konsep Just-In-Time (JIT).
“Risiko kecelakaan dan pencurian lebih rendah dibanding moda darat lainnya, didukung sistem pelacakan 24 jam dan asuransi,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (15/12).
Logistik berbasis kereta api juga sudah ramah lingkungan karena menghasilkan emisi karbon jauh lebih rendah per ton barang, mendukung agenda keberlanjutan dan Net Zero Emission.
Kawasan industri dengan akses rel kereta menjadi lebih menarik bagi investor dan mempercepat pergerakan barang dari produsen ke konsumen serta menggerakkan ekonomi daerah.