Menteri Keuangan Purbaya dan Arah Kebijakan Pajaknya

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, secara pribadi memilih tidak menaikkan tarif pajak dan lebih fokus mendorong laju perekonomian. Kita simak bagaimana arah kebijakannya ke depan.

Menteri Keuangan Purbaya dan Arah Kebijakan Pajaknya
Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tanah Abang Dua di Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/bar.

Usai dilantik Presiden Prabowo Subianto, Senin (8/9/2025), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, secara pribadi memilih tidak menaikkan tarif pajak.

"Saya perlu diskusi dengan teman-teman yang ada di Kementerian Keuangan. Cuma, menurut saya pribadi selama ini enggak usah dulu," ujarnya.

Isu mengenai perpajakan di Indonesia tidak pernah berhenti dibicarakan, mulai dari topik target pajak yang tinggi, tarif pajak yang selalu mengalami kenaikan, hingga kepatuhan wajib pajak yang masih rendah di Indonesia.

Faktanya, pemerintah selalu meningkatkan target penerimaan pajak setiap tahunnya dalam APBN, meskipun seringkali target tersebut tidak pernah tercapai 100%. Perlu suatu rumusan strategi untuk menggenjot penerimaan pajak.

Di RAPBN 2026, pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp 2.357.7 triliun. Naik 13,5% dibandingkan dengan APBN 2025.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berkomitmen tidak menaikkan tarif pajak justru ingin lebih fokus mendorong laju perekonomian, sehingga besaran pungutan pajak pun bisa naik sendirinya. Selain itu, dia pun mendorong kepatuhan wajib pajak.

Purbaya tidak akan menaikkan tarif pajak, justru ingin lebih fokus mendorong laju perekonomian. Untuk itu, dia pun mendorong kepatuhan wajib pajak.

Strategi yang perlu dipertimbangkan untuk mendorong penerimaan pajak tanpa menaikkan tarif adalah reformasi dan digitalisasi administrasi perpajakan.

Pengamat pajak dari Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, mengatakan, reformasi dan digitalisasi perpajakan sudah dilakukan Ditjen Pajak melalui peluncuran sistem Coretax. Inisiatif tersebut sudah cukup baik, berarti Ditjen Pajak sudah mengikuti perkembangan teknologi.

Fungsi utama sistem Coretax ini adalah untuk mempermudah layanan, menguatkan pengawasan, dan penegakan hukum. Maka, sistem ini harus terus dikawal dan terus diperbaiki agar diterima baik oleh wajib pajak.

“Implementasi sistem Coretax ini harus dipantau, bagaimana mekanismenya di lapangan apakah sudah sesuai ekspektasi,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (11/9/2025).

Baca juga:

Rasio Perpajakan Indonesia Bisa Meningkat dengan Dua Strategi Ini
Indonesia bisa meningkatkan rasio perpajakan dengan menerapkan dua strategi. Pertama, menuntaskan empat masalah fundamental pajak. Kedua, menutup lima kebocoran pajak.

Prianto menyebut, setelah meningkatkan kinerja digilitasi perpajakan, maka Ditjen Pajak harus memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak. Untuk menarik minat wajib pajak, layanan harus ramah dan tidak ribet dengan birokrasi.

Garap potensi pajak karbon

Pengamat ekonomi Institute for Development Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, banyak sumber pajak baru yang bisa digali pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Salah satunya pajak karbon.

Pajak karbon memberikan insentif finansial bagi perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi karbon mereka, mendorong penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien. 

Penerimaan dari pajak karbon dapat digunakan pemerintah untuk mendanai program-program yang berkaitan dengan perubahan iklim. Seperti, investasi di infrastruktur transportasi umum, pengembangan energi terbarukan, juga program adaptasi lingkungan. 

“Dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, pajak karbon berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dan membantu menjaga keanekaragaman hayati. Banyak manfaatnya bagi negara,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (11/9/2025).

Kontribusi pajak meningkat

Realisasi penerimaan pajak periode Januari–Juli 2025 mencapai Rp 990,01 triliun. Memang, capaian itu mengalami kontraksi 5,29% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024 yang tercatat Rp 1.045,3 triliun.

Tapi, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto ​​​​​​menyebutkan, kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan negara tercatat meningkat. Pada Januari–Juli 2025, kontribusi tersebut naik 1,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Selain itu, untuk penerimaan pajak bruto pada Januari sampai Juli 2025 tercatat mencapai Rp 1.269,4 triliun atau tumbuh 2,3% dibandingkan dengan tahun lalu. Sekadar catatan, penerimaan pajak bruto merupakan total setoran pajak yang masuk ke kas negara sebelum memperhitungkan restitusi (pengembalian kelebihan bayar) atau pengembalian pajak lainnya.

Baca juga:

Dari Kripto hingga Fintech, Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Terus Meningkat
Kementerian Keuangan menyebutkan, realisasi penerimaan pajak dari ekonomi digital mencapai Rp 40,02 triliun hingga 31 Juli 2025.

Selain pajak, realisasi penerimaan negara hingga Juli 2025 juga ditopang kepabeanan dan cukai sebesar Rp 171,1 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 266,2 triliun, serta hibah Rp1,3 triliun.

Secara total, penerimaan negara tercatat sebesar Rp 1.428,6 triliun hingga Juli 2025.

Jangan ganggu dunia usaha

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana memberikan apresiasi kepada Purbaya yang tidak menaikkan tarif pajak, karena lebih fokus pada kepatuhan pajak.

Kepatuhan pajak, menurut Danang, bisa ditingkatkan melalui edukasi dan sosialisasi. Edukasi sangat prioritas karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengerti mengenai pajak, terutama masyarakat pelosok.

Selain itu, perlu ada kebijakan pajak yang bisa diterima dunia usaha. Misalnya, pemberian relaksasi pajak terhadap sektor prioritas yang sudah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara.

“Pemerintah harus memilah sektor mana yang bisa diberikan relaksasi pajak dan bisa diskusi dengan dunia usaha,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (11/9/2025).