Menakar Potensi Afrika Selatan sebagai Pasar Baru Furnitur Indonesia

Walau diterpa tarif ekspor 19 persen ke Amerika Serikat (AS), pelaku industri furnitur tidak perlu berlarut terlalu lama dalam kekhawatiran. Sebab, kini telah terbuka opsi destinasi pasar ekspor baru yakni ke Afrika Selatan.

Menakar Potensi Afrika Selatan sebagai Pasar Baru Furnitur Indonesia
Delegasi Indonesia dalam Pameran Decorex Johannesburg 2025 di Afrika Selatan di Sandton Convention Center, Johannesburg, Afrika Selatan, pada 25 Juli 2025. Sumber: Instagram ITPC Johannesburg.

Walau diterpa tarif ekspor 19% ke Amerika Serikat (AS), pelaku industri furnitur tidak perlu berlarut terlalu lama dalam kekhawatiran. Sebab, kini telah terbuka opsi destinasi pasar ekspor baru. Yakni, ke Afrika Selatan.

Dengan mencatatkan potensi transaksi sebesar USD 520.500 atau sekitar Rp 8,5 miliar dalam Pameran Decorex Johannesburg 2025, industri furnitur nasional kini melirik pasar non-tradisional untuk menjaga stabilitas bisnis.

Kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Johannesburg Efri Yenni mengatakan, hal ini menjadi langkah strategis untuk membuka pasar baru di luar pasar tradisional, terutama setelah kebijakan tarif impor di Amerika Serikat.

“Partisipasi Indonesia dalam pameran ini merupakan salah satu cara untuk membuka pasar baru dan meningkatkan akses pasar serta mempromosikan produk Indonesia di Afrika Selatan. Penetapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat yang juga menjadi salah satu negara utama ekspor furnitur dan dekorasi rumah Indonesia dapat dijadikan pendorong untuk mencari pasar alternatif baru di negara non tradisional,” ujarnya dalam keterangan resmi (7/8/2025).

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) dan Chief Executive Officer (CEO) Global Kriya Nusantara, Abdul Sobur, juga melihat potensi besar di pasar non-tradisional, terutama Afrika Selatan. Ia menanggapi positif keikutsertaan Indonesia dalam pameran Decorex Johannesburg 2025, menyebutnya sebagai langkah strategis. 

Ia menilai partisipasi Indonesia dalam pameran tersebut adalah langkah strategis untuk membuka pasar non-tradisional. "Secara umum, kehadiran Indonesia cukup diapresiasi di sana, dengan respons buyer yang positif terhadap produk furnitur berbahan kayu tropis dan desain etnik-modern yang khas. Kami mendorong agar keikutsertaan ini diperluas dan dilanjutkan dengan follow-up business matching secara konkret," ujarnya kepada SUAR (8/8/2025)

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) dan Chief Executive Officer (CEO) Global Kriya Nusantara, Abdul Sobur, (Sumber: Dok.Pribadi).

Menurutnya, Afrika Selatan berpotensi menjadi pintu gerbang ke pasar Afrika Sub-Sahara. Negara ini memiliki kelas menengah yang berkembang dan kebutuhan akan furnitur berkualitas untuk berbagai proyek, seperti properti, hotel, dan villa. 

Ia mengakui, jumlah ekspor ke Afrika Selatan masih minim, hanya sekitar 0,1% dari total ekspor furnitur Indonesia. Namun, ia tetap optimistis volume ekspor dapat ditingkatkan dengan dukungan logistik dan promosi yang lebih terintegrasi.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan bahwa meskipun banyak negara Afrika masih tergolong ekonomi menengah ke bawah, pertumbuhan kelas menengah yang terus meningkat. Kondisi ini membuat mereka menjadi target pasar yang menjanjikan, terutama untuk produk-produk seperti furnitur.

“Afrika Selatan  salah satu negara yang paling besar ekonominya di Afrika, dari sisi purchasing power (daya beli) yang paling tinggi di Afrika Selatan. Jadi kalau untuk pasar furnitur sebetulnya menjanjikan,” ujarnya kepada SUAR (8/8/2025).

Perusahaan menengah seperti CV Surya Java Furnindo, eksportir furnitur asal Kabupaten Jepara, juga melakukan diversifikasi pasar ke kawasan Afrika sebagai strategi untuk menjaga stabilitas bisnis. Hal tersebut diungkapkan oleh Johan Lesmana, produsen dan eksportir furnitur di perusahaan tersebut.

“Banyak sekali sih [potensi pasar baru], seperti pembeli baru kami datang dari berbagai negara, termasuk New Caledonia, Lithuania, Libya, bahkan Pasar di Afrika pun pernah menjadi tujuan ekspor kami,” ujarnya kepada SUAR (8/8/2025).

Johan menjelaskan bahwa perusahaannya tidak mengkhususkan ekspor ke negara tertentu, Sejak tahun 2015, perusahaannya terus melakukan ekspansi pasar dan tidak hanya mengandalkan satu atau dua negara tujuan ekspor.

Strategi diversifikasi ini memungkinkan perusahaannya untuk tetap menjaga kuantitas ekspor. Johan mencontohkan, seorang pembeli dari Lithuania bisa memesan hingga tiga kontainer, sementara pembeli tetap dari Jerman bisa memesan satu kontainer setiap dua bulan.

Mengatasi tantangan logistik dan regulasi

Meski memiliki potensi besar, Abdul Sobur tidak memungkiri adanya tantangan utama dalam menembus pasar Afrika Selatan. Masalah logistik menjadi hambatan terbesar karena tingginya biaya pengiriman akibat keterbatasan jalur langsung.

"Tantangan utamanya adalah logistik, tarif impor, dan kurangnya informasi pasar. Biaya pengiriman cukup tinggi karena keterbatasan jalur langsung,” jelasnya. 

Selain itu, ia menambahkan bahwa regulasi teknis di Afrika Selatan terkait keamanan produk dan sertifikasi juga menjadi kendala. Minimnya aggregator atau perwakilan Indonesia di wilayah tersebut juga membuat penetrasi pasar belum optimal menurut. 

Mohammad Faisal, Executive Director at Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Sumber: Dok.Pribadi.

Ekonom Mohammad Faisal menambahkan, Indonesia juga perlu memperhatikan harga yang kompetitif untuk bersaing dengan para pemain besar, khususnya China. China mampu memasok produk dalam jumlah besar dengan harga yang sangat murah. 

“Kalau barang-barang di Afrika yang di luar pangan, khususnya untuk elektronik dan juga banyak datang dari China. Karena China bisa menyuplai dalam jumlah besar dengan harga yang kompetitif, yang sangat murah. China juga tempat produksi manufaktur dunia yang paling besar di dunia dengan harga yang kompetitif,” jelasnya.

Selain China, menurutnya, India dan beberapa negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), seperti Vietnam, juga menjadi pesaing yang patut diperhitungkan. Ia menyarankan agar Indonesia tidak hanya fokus pada harga, tetapi juga kualitas dan jenis produk yang tepat untuk memenangkan persaingan di pasar furnitur global.

Untuk mengatasi hambatan ini, Abdul Sobur menyatakan bahwa HIMKI sedang menjajaki strategi kolaboratif dengan berbagai pihak. Tujuannya adalah untuk mengatasi kurangnya informasi pasar dan minimnya perwakilan Indonesia di wilayah tersebut, sehingga peluang ekspor baru ke kawasan Afrika dapat dimaksimalkan.

Diversifikasi pasar ke Afrika Selatan tidak hanya menjadi strategi untuk mengatasi tekanan pasar tradisional, tetapi juga membuka babak baru bagi pertumbuhan industri furnitur nasional di kancah global.