Indonesia udang di Tanah Air tengah mengalami pukulan ganda yang memusingkan. Persaingan semakin ketat akibat perang dagang, muncul pula imbauan otoritas Amerika Serikat sesudah ditemukannya unsur radioaktif Cesium (Cs-137) dalam batch ekspor udang asal Indonesia.
Mengatasi masalah berkepanjangan ini, pelaku industri mengharapkan pemerintah menyatakan ketegasan kepada otoritas AS untuk menyelamatkan industri yang berada di ujung tanduk.
Seperti yang ramai dikabarkan, belum lama ini ekspor udang Indonesia menghadapi kendala sesudah US Food and Drug Administration (FDA) menyatakan bahwa salah satu batch ekspor dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS) terkontaminasi paparan radioaktif. Tapi persoalannya hingga kini tak kunjung menemukan titik terang.
Pasalnya, sesudah mengimbau udang beku asal Indonesia tidak dikonsumsi oleh atau dijual untuk masyarakat Amerika, FDA menuntut penjelasan akar masalah dan menyatakan persoalan ini telah meningkat menjadi masalah government to government (G2G).
Dalam sebuah pernyataan terbuka kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang diterima SUAR, Rabu (10/9), asosiasi Shrimp Club Indonesia menyatakan, pelaku industri udang menghadapi kebimbangan. Sesudah hampir 1 bulan berdialog dengan jajaran pemerintah, SCI tidak mendapatkan jalan keluar dari persoalan ini, sementara situasi di lapangan memburuk.
Harga udang di sejumlah wilayah anjlok lebih dari 30%, terutama di Aceh dan Sumatra Utara. Ini mengingat PT BMS merupakan eksportir terbesar yang mendominasi 80% pembelian udang Sumatra. Gara-gara penutupan pabrik yang terjadi sesudah temuan FDA, pembudidaya udang terpaksa memanen lebih awal dan menjual dengan harga rendah. Akibatnya, terjadi kelebihan suplai yang berdampak pada pasar udang domestik.
Tidak bisa banyak berbuat
Seorang sumber dari kalangan industri yang menolak disebutkan namanya menyatakan, kasus temuan Cs-137 ini berbeda dengan kasus temuan kandungan antibiotik aditif dalam batch ekspor udang Indonesia ke Eropa beberapa waktu lalu. Dalam kasus ini, pelaku industri sama sekali tidak mampu mencegah paparan terjadi.
"Dalam keadaan seperti ini, petambak tidak salah, pabrik tidak salah, penjual aditif tidak salah, pemroses juga tidak salah. Karena, semua mata rantai ini adalah korban dari kontaminasi unsur luar yang menurut Bapeten berasal dari cemaran pabrik pengolahan logam di kawasan industri akhir. Karena ini sudah di luar kemampuan pelaku industri, kami minta pemerintah memperhatikan masalah ini sebagai G2G problem," ujar sumber tersebut saat dihubungi SUAR, Rabu (10/9).
Sumber tersebut menyatakan, apa yang FDA kehendaki bukanlah sesuatu yang rumit. Yaitu, penjelasan akar masalah dan jawaban Pemerintah Indonesia yang dapat diwakili Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Kementerian Perdagangan.
Sumber tersebut menyatakan, apa yang FDA kehendaki bukanlah sesuatu yang rumit. Yaitu, penjelasan akar masalah dan jawaban Pemerintah Indonesia.
Namun, alih-alih memberikan keterangan resmi disertai hasil pengukuran kuantitatif dari Bapeten, pemerintah hanya memberikan klarifikasi verbal.
"Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami tidak bisa meminta petambak atau pabrik berbuat sesuatu karena kesalahan bukan dari mereka. Masalah radioaktif ini hanya pemerintah yang mengatasi. Sayangnya, pemerintah defensif dan menyampaikan hal-hal yang tidak dikehendaki AS," tukas sang sumber.
"Jawaban yang tidak clear ini membuat Pemerintah AS semakin bertanya-tanya," lanjutnya.
Apabila ketidakpastian ini tidak segera diatasi pemerintah, pelaku industri mengkhawatirkan penarikan pesanan dapat segera terjadi dari calon maupun pembeli langganan di negara-negara lain. "Kehilangan yang sudah terjadi ini akan membutuhkan waktu sangat lama untuk dapat pulih seperti sedia kala," pungkas sumber tersebut.

Dianggap insidental
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ishartini menyatakan telah memberikan jawaban kepada FDA. "Semua sudah dijelaskan ke FDA," ujar Ishartini singkat saat dihubungi SUAR, Rabu (10/9).
Dalam keterangan pers sebelumnya, Ishartini menyatakan bahwa isu radioaktif pada produk udang beku Indonesia bersifat insidental dan kasuistik, tidak terjadi di tempat dan kontainer lain. KKP telah menindaklanjuti dan FDA menetapkan red list hanya pada produk udang dari PT BMS di kawasan industri Cikande, Banten.
Bapeten menemukan dugaan paparan radioaktif di bagian luar kawasan pabrik PT BMS di Cikande. Yakni, berasal dari cemaran besi-besi tua melalui udara dan pabrik pengolahan logam di sekitar area tersebut.
Dengan penghentian produksi sementara dan melokalisasi area pabrik untuk mencegah risiko lanjutan pada batch produk lain, KKP telah melibatkan BRIN, kepolisian, dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk meninjau lokasi dan memberikan penanganan menyeluruh.
"Kasus ini bersifat kasuistik, hanya terjadi pada pengiriman tertentu, sehingga tidak mempengaruhi tambah lain. Dengan langkah cepat, koordinasi lintas lembaga, dan keterbukaan informasi, kami berkomitmen menjaga reputasi ekspor, memastikan udang Indonesia aman dikonsumsi, dan dipercaya pasar internasional," ujar Ishartini.
Kepercayaan sangat krusial
Pengajar teknologi produk perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Indun Dewi Puspita menilai, kasus ini hendaknya menjadi pembelajaran semua pemangku kepentingan, mulai dari petambak, prosesor, hingga eksportir dan pemerintah.
"Masalah ini hendaknya jangan disepelekan. Karena penolakan dari perspektif ekonomi merupakan sebuah kehilangan signifikan, terutama karena produk ekspor tersebut tidak dapat dikonsumsi atau dimanfaatkan sama sekali. Akibatnya, produk perikanan Indonesia kini diselidiki pasar global, dan kualitas produk harus diperhatikan saksama," ujar Puspita, Kamis (21/08).
Puspita menyatakan bahwa kepercayaan pasar internasional sangat krusial. Sertifikasi yang ketat dan standar keamanan pangan yang tinggi ditetapkan bukan tanpa alasan, melainkan untuk memenuhi ekspektasi pembeli bahwa produk yang dikonsumsi tidak akan menimbulkan risiko, sekalipun untuk jangka panjang.
"Kasus ini menggambarkan celah kecil dalam rantai produksi dapat berdampak panjang terhadap kepercayaan pembeli. Masalah kualitas produk yang bermasalah akan menimbulkan dampak jangka panjang terhadap penjualan dan harga jual produk ke depannya," tandasnya.
"Kasus ini menggambarkan celah kecil dalam rantai produksi dapat berdampak panjang terhadap kepercayaan pembeli," ujar Puspita.
Guna mengatasi masalah ini dalam jangka panjang, Universitas Gadjah Mada telah mengembangkan instrumen deteksi cepat dini untuk mencegah kontaminasi pada produk perikanan. Di samping itu, melibatkan universitas dan penelitian ilmiah dalam pembinaan dan menjangkau pelaku industri perlu dilakukan.
"Universitas berperan penting dalam penelitian, pengayaan pelaku industri tentang keamanan, serta pengembangan kebijakan standardisasi untuk mencegah kontaminasi biologis atau kimiawi pada produk perikanan," ucap Puspita.