Intip Medsos Demi Pajak

Pemerintah kini sedang menyiapkan strategi untuk memanfaatkan pemantauan melalui sosial media guna mendeteksi ketidaksesuaian laporan pajak.

Daftar Isi

Setelah resmi menetapkan pajak untuk para pedagang online. Pemerintah kini sedang menyiapkan strategi untuk memanfaatkan pemantauan melalui sosial media guna mendeteksi ketidaksesuaian laporan pajak.

Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan negara sebesar Rp1,99 triliun yang akan digunakan untuk membiayai berbagai program di Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (14/7/2025), menegaskan pemerintah akan memperkuat penggalian potensi pajak melalui data analytic dan pemanfaatan media sosial pada 2026.

“Penggalian potensi itu melalui data analytic maupun media sosial,” kata Anggito seperti dikutip melalui siaran daring.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri sudah menjalankan pemantauan medsos dengan skema crawling: sistem yang 'menyisir' konten di internet untuk mendeteksi potensi ketidaksesuaian laporan pajak.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, pasti diamati teman-teman pajak,” kata Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, dalam media briefing di Kantor Pusat DJP di DPR, kemarin.

Hestu menjelaskan, para fiskus akan menyandingkan data yang dipampang wajib pajak dengan data resmi di sistem pajak. Jika ada ketidaksesuaian, DJP akan memberi edukasi atau peringatan langsung. 

“Jadi memang dengan dinamika digitalisasi semakin meluas, otoritas perpajakan juga harus meng-capture itu, supaya tidak ada yang kemudian tidak kena pajak sementara yang lain kena pajak,” jelasnya.

Awal 2023 lalu, warganet ramai-ramai jadi ‘detektif’ di media sosial: satu per satu pejabat pamer harta, dari rumah mewah, tas belasan juta, sampai pesawat pribadi, terungkap.

Gerakan spontan ini muncul setelah KPK secara terbuka meminta bantuan publik untuk melacak harta tak wajar pejabat, buntut kasus Rafael Alun Trisambodo. Langkah ini terbukti ampuh: tak hanya menyeret Rafael, tapi juga membuat beberapa pejabat lain seperti dua kepala kantor Bea Cukai, pejabat Kemensetneg, hingga istri pejabat KPK masuk radar.

Langkah ini memicu respons beragam. Sebagian mendukung demi keadilan; wajar saja jika gaya hidup mewah dikonfirmasi kepatuhannya. Tapi ada pula yang khawatir soal privasi dan etika.

Privasi dan Etika: Di Wilayah Abu-abu

Menurut Mas Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Safenet, langkah DJP sebenarnya lebih ke deteksi awal atas kesesuaian laporan pajak, bukan 'menggali' data rahasia.

“Ini semacam cek ricek, karena hanya mengambil data yang memang sudah dipublikasikan di media sosial,” jelasnya.

Dari sisi hukum, lanjut Damar, ini memang belum termasuk pelanggaran UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), karena data yang diambil adalah data publik.

“Tapi apakah etis? Di situ letak persoalan. Seharusnya mekanisme pemenuhan kewajiban pajak ya dari laporan resmi, bukan dari nyari-nyari postingan,” kata Damar.

Ia menambahkan, lahirnya UU PDP dan rencana pembentukan lembaga pengawas data memberi harapan.

“Harapannya nanti ada rambu yang lebih jelas, supaya publik tahu mana data yang bisa diakses dan untuk apa,” ujarnya.

Di Inggris, misalnya, Ia menjelaskan otoritas pajak (HM Revenue & Customs) menggunakan data digital untuk analisis kepatuhan, namun tetap tunduk pada Data Protection Act 2018. Australia pun mewajibkan adanya privacy impact assessment sebelum memanfaatkan data digital secara masif.

“Jadi publik tetap tahu apa saja yang dilakukan negara, dan mengapa,” tambahnya.

Suara UMKM: Persaingan Lebih Sehat, Asal Adil

Bukan hanya pakar privasi yang memberi catatan. Dari sisi pelaku usaha, suara serupa juga muncul: pendekatan DJP sebaiknya tak hanya berfokus pada pengawasan.

“Kalau kita UMKM dan patuh pajak, nggak masalah,” ujar Yani Mardiyanto, UKM Kain Lukis NASRAFA dari Kota Solo, Jawa Tengah.

“Bahkan bagus, justru makin membuat semangat untuk persaingan usaha. Khusus UMKM kan kalau omzet di bawah Rp4,8 miliar saat ini tidak kena pajak,” ujar pengusaha batik online yang sudah menekuni usahanya lebih dari 10 tahun itu.

Tapi Yanti juga mengingatkan DJP harus benar-benar adil, bukan hanya menyasar yang kecil.

“Karena saat ini banyak yang usaha besar, omzet besar, gaji besar, nggak terjamah pajak. Sementara yang kecil kadang malah dikejar-kejar pajak,” katanya.

Belajar dari Negara Lain

Agar publik tak merasa diawasi secara sewenang-wenang, transparansi dan pembatasan menjadi kunci. Di Inggris, otoritas pajak (HM Revenue & Customs) boleh memanfaatkan data digital, tapi wajib tunduk pada Data Protection Act 2018. Australia mewajibkan privacy impact assessment sebelum pemakaian data besar-besaran.

“Jadi bukan cuma negara yang bisa ambil data, tapi publik juga tahu data apa saja, untuk apa, dan bisa protes kalau merasa keliru,” jelas Damar.

Negara

Kebijakan

Ada regulasi privasi?

Inggris

HMRC crawling data digital

Tunduk Data Protection Act 2018

Australia

Data-matching & privacy impact assessment

Ya

Indonesia

Rencana crawling medsos

Sedang siapkan regulasi, UU PDP 2022

Sumber: laporan OECD, situs HMRC, Office of the Australian Information Commissioner.

Pada akhirnya, kebijakan pajak bukan soal memata-matai, tetapi soal keadilan: memastikan semua pihak, baik yang berdagang offline maupun online, ikut berkontribusi sesuai kemampuan.

“Jadi kalau endorsement juga sudah kita lakukan banyak pengawasan,” kata Hestu Yoga Saksama. “Supaya tidak ada yang kemudian tidak kena pajak, sementara yang lain kena pajak,” lanjutnya.

Tantangan selanjutnya adalah memastikan kebijakan ini transparan, terukur, dan punya mekanisme kontrol. Sehingga publik tak hanya melihat crawling sebagai ancaman, tetapi sebagai langkah menuju sistem pajak yang lebih adil.