Posisi penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih rendah. Rasio ini perlu terus ditingkatkan agar pendapatan pajak pun bisa melesat.
Sebagaimana tampak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp 2.357,7 triliun atau naik 13,5% ketimbang outlook penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp 2.076,9 triliun.
Berdasarkan tren dari tahun sebelumnya, penerimaan pajak di Indonesia tidak stabil. Kadang sesuai target, kadang mengalami penurunan, sehingga membuat tax ratio Indonesia selalu berada di titik terendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Mengutip data OECD, pada 2023 tax ratio Indonesia mencapai 12%. Angka ini masih di bawah negara-negara lainnya, seperti Malaysia (13,1%), Singapura (13,7%), China (20,4%), Korea Selatan (28,9%), dan Jepang (34,4%).
Deputy Director Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, strategi lama yang harus dimatangkan pemerintah untuk menggenjot pajak adalah memperbaiki basis data pajak. Saat ini, perluasan basis data pajak belum maksimal karena keterbatasan data yang dimiliki oleh Ditjen Pajak.
“Untuk memperluas basis data pajak, Ditjen Pajak tidak bisa bekerja sendiri. Harus bekerja sama dengan pihak ketiga, seperti perbankan,” ujar Eko kepada SUAR di Jakarta (20/8/2025).
“Untuk memperluas basis data pajak, Ditjen Pajak tidak bisa bekerja sendiri. Harus bekerja sama dengan pihak ketiga, seperti perbankan,” ujar Eko.
Ia mengatakan, selama ini pemerintah hanya fokus memasang target pajak, tapi tidak menyempurnakan basis data pajak. Ke depan, basis pajak dulu yang harus diperbaiki baru kemudian menetapkan target pajak.
Strategi lain untuk menggenjot penerimaan pajak adalah menyempurnakan sistem Coretax. Sejak diluncurkan pada Januari 2025, sistem ini memang belum sempurna dan banyak menerima kritikan.
Implementasi Coretax ini bisa berjalan lancar apabila sudah menerima pemutakhiran data dari wajib pajak.
“Ditjen Pajak harus concern terhadap sistem Coretax ini. Sistemnya harus jalan. Pemutakhiran yang diperlukan bisa meliputi alamat dan jenis usaha wajib pajak,” ujar Eko.
Strategi baru yang bisa diterapkan Ditjen Pajak ke depan agar target penerimaan bisa on track adalah memisahkan wajib pajak (WP) orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak mempunyai NPWP secara terbuka. WP orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP akan dikenai tarif pajak penghasilan lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai NPWP.
Tapi, menurut Eko, yang terjadi sekarang, Ditjen Pajak masih belum terbuka. Ada kejadian di daerah di mana seorang WP orang pribadi menerima tarif pajak lebih besar, padahal sudah mempunyai NPWP.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan, target penerimaan negara juga dinilai ambisius. Pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan 10%, terutama dari pajak sebesar 13%.
Padahal, menurut CSIS, rata-rata kenaikan pajak selama ini hanya sekitar 5%–6%. Jika target tidak tercapai, kekurangan berpotensi ditutup melalui utang baru – yang justru memperberat tekanan fiskal.
“Hanya 17 juta dari 155 juta pekerja yang membayar pajak. Basis pajak kita masih sangat sempit, sehingga sulit memaksakan kenaikan penerimaan dalam waktu singkat,” kata Deni.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, pemerintah perlu memberikan kebijakan pajak yang bisa diterima dunia usaha. Seperti, pemberian relaksasi pajak terhadap sektor prioritas yang sudah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara.
“Pemerintah harus memilah sektor mana yang bisa diberikan relaksasi pajak dan bisa diskusi dengan dunia usaha,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (20/8).
Kinerja ekonomi nasional
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, target penerimaan pajak sebesar Rp 2.357.7 triliun dalam RAPBN 2026 sudah memperhatikan proyeksi kinerja ekonomi nasional yang membaik, keberlanjutan perpajakan, tantangan dan potensi.
Nilai sebesar Rp 2.357.7 triliun itu mencakup target penerimaan pajak penghasilan (PPh) Rp 1.209,4 triliun, yang naik 15% dibandingkan dengan tahun lalu. Lalu, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) Rp 995,3 triliun, naik 11,7% dari tahun lalu.
Target penerimaan pajak bumi bangunan (PBB) tahun 2026 Rp 26,1 triliun, turun 13,1%. Adapun pajak lainnya ditargetkan Rp 126,9 triliun. Kemudian, pemerintah juga menargetkan penerimaan kepabeanan dan cukai yang mencapai angka Rp 334,3 triliun pada tahun depan.
Untuk mencapai target penerimaan bea dan cukai, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah. Pertama, mendorong kebijakan terkait hasil tembakau dan ekstensifikasi barang kena cukai.
Selain itu, kedua, pemerintah juga akan melakukan intensifikasi bea masuk perdagangan internasional. Menjadikan kebijakan bea keluar untuk mendukung hilirisasi produk. Terakhir, pemerintah juga akan menegakkan hukum dan memberantas peredaran barang kena cukai ilegal dan penyelundupan.