Genjot Investasi Bidang Riset dan Inovasi Industri, Pemerintah Berlakukan Dua Skema

Untuk mendorong investasi di bidang riset dan inovasi industri, pemerintah memberlakukan dua skema program riset yang dibiayai negara yaitu Program Riset Prioritas (PRP) dan Program Riset Strategis (PRS).

Genjot Investasi Bidang Riset dan Inovasi Industri, Pemerintah Berlakukan Dua Skema
Sejumlah mahasiswa melakukan penelitian pengembangan teknologi baterai dan penyimpanan energi di Pusat Unggulan Iptek Teknologi Penyimpanan Energi Listrik (PUI-TPEL) Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo, Jawa Tengah, Selasa (21/10/2025). Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.

Untuk mendorong investasi di bidang riset dan inovasi industri, pemerintah memberlakukan dua skema program riset yang dibiayai negara yaitu Program Riset Prioritas (PRP) dan Program Riset Strategis (PRS). Makin gencarnya riset bisa meningkatkan daya saing produk dan sumber daya manusia sehingga berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu mengatakan, demi mengejar target realisasi investasi Rp13.032 triliun pada 2029, pihaknya berharap investasi yang masuk ke Tanah Air juga bisa berupa riset dan pengembangan.

"Kementerian Investasi dan Hilirisasi berpikir agar investasi masuk dalam kerangka inovasi nasional triple helix (akademisi, industri, pemerintah), yaitu interaksi dinamis antara universitas, industri, dan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan bersama," ucapnya dalam Forum Investasi Nasional (FIN) 2025 yang diselenggarakan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal di Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/11/2025).

Dua skema

Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) Muhammad Fauzan Adziman menjelaskan, PRP akan menjadi payung yang menjamin keberlanjutan 16.700 penelitian dari seluruh Indonesia yang didanai Kementerian, dengan rata-rata anggaran Rp150.000.000 per peneliti.

"Melalui PRP, kami mengembangkan prioritas peningkatan pemerataan, yang masih sangat penting untuk meningkatkan prestasi dan keberhasilan riset sampai ke pelosok daerah. Dalam APBN 2026, kami telah menganggarkan Rp3,2 triliun untuk program ini, yang terintegrasi pembinaan talenta dalam ekosistem perguruan tinggi," ucap Fauzan

Berbeda dengan PRP, skema PRS fokus mengembangkan produk riset untuk kebutuhan industri dengan pendanaan hingga Rp2.500.000.000 per tahun, atau Rp5.000.000.000 jika berbentuk konsorsium, serta dapat diperpanjang. PRS akan berorientasi menyelesaikan masalah industri dan mempercepat strategi hilirisasi.

"Maksud program tersebut adalah menghubungkan riset dari hulu ke hilir, bekerja sama dengan industri dan perbankan. Kami mengajak industri, dengan skema pembiayaan setahun pertama full dari kami, sementara tahun kedua dapat dimulai skema co-funding dengan industri membiayai maksimal 10 persen nilai penelitian," imbuhnya.

Sejauh ini, menurut Fauzan, pemerintah menargetkan sektor riil sebagai penampung utama dari produk-produk hasil riset PRP maupun PRS. Sebagai contoh, saat produsen alat kesehatan Oneject Indonesia mengajukan proposal melakukan scaling up mesin MRI, sebuah perguruan tinggi negeri diundang ikut serta dalam bidding untuk pembuatan model citraan dan tabung sinar X. Pemenang bidding nantinya akan memulai riset dengan dana Kementerian.

Hingga saat ini, menurut Fauzan, Kemdiktisaintek telah mengumpulkan 900 produk hasil riset untuk dikurasi. Royalti produk untuk kampus bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah hingga Rp10 miliar per tahun. Lewat PRS, kampus telah membantu menghasilkan alat-alat kebutuhan cek kesehatan gratis, material logam, hingga produk cat solar reflective paint yang menghemat penggunaan AC.

"Kami telah siapkan rumusan masalah untuk PRS di bidang pangan, kesehatan, energi, maritim, material, hilirisasi, pertahanan, hingga pendidikan. Dari Kementerian Pertahanan, kami bahkan sudah terima 21 produk yang membutuhkan substitusi, mulai dari produk high tech sampai kaus kaki antinyamuk dan filter air untuk prajurit kita. Lewat program ini, kami akan membuktikan bahwa inovasi bukan hanya tentang sains dan teknologi, tetapi juga kolaborasi," pungkas Fauzan.

Beri kepastian

Dunia usaha memberikan sambutan positif terhadap kedua program riset unggulan yang siap bermitra dengan industri untuk memajukan kualitas dan dampak investasi. Sebagai cara pandang baru, kualitas riset yang unggul perlu dibarengi ketegasan regulasi yang menopang, agar kolaborasi jangka panjang tidak mudah buyar di tengah jalan.

Presiden Direktur Merdeka Battery Materials Teddy Oetomo menegaskan, dengan memosisikan riset sebagai ujung tombak, investasi tidak hanya menjadi motor pertumbuhan, melainkan juga mekanisme pertahanan. Artinya, melalui keunggulan riset, industri dapat meningkatkan skalabilitas bisnis dan meningkatkan kapasitas produksi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan pasar saat permintaan sedang naik.

"Riset penting, tetapi baru berbasis produk. Kalau kita rely on riset untuk membangun human capital, 10 tahun lagi baru jadi. Trik yang kami lakukan di Merdeka Battery adalah bermitra dengan pemain asing yang punya teknologi, tetapi daya tawar negosiasi harus kuat agar posisi kami dalam kontrak harus mayoritas, karena nikelnya punya Indonesia," ucap Teddy dalam sesi diskusi.

Pentingnya riset yang strategis, menurut Teddy, tidak lepas dari keprihatinan bahwa tambang-tambang besar di Indonesia tidak ditemukan oleh orang Indonesia, melainkan perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan tim penelitian dan pengembangan yang mumpuni. Artinya, regulasi perlu memberi insentif untuk peneliti dalam negeri melakukan eksplorasi, seperti halnya peneliti dari perusahaan multinasional melakukannya.

Tidak hanya memberikan insentif untuk penelitian yang berkontribusi langsung bagi industri, konsistensi juga menjadi komponen penting dalam regulasi. Sebabnya, untuk investasi yang tidak mudah didapatkan, pendanaan hingga USD 2 miliar-3 miliar untuk proyek investasi 20-25 tahun tidak boleh serta-merta gagal karena perubahan regulasi secara mendadak.

"Berikan kepastian regulasi, karena setiap pergantian pasti membuat pengusaha kelimpungan, karena kapasitas dan waktu yang dimiliki cenderung habis untuk damage control, yang seharusnya bisa digunakan untuk mendorong kemajuan pada langkah berikutnya," tegasnya.

Berbagi pandangan dengan Teddy, Wakil Ketua Umum Bidang Keanggotaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia Widyanto Saputro menegaskan, perubahan-perubahan kebijakan di pemerintah, walaupun sedikit, berdampak sangat besar bagi sektor swasta. Bukan hanya reputasi perusahaan yang dipertaruhkan, melainkan juga pendanaan dan kepercayaan investor pada perusahaan Indonesia.

"Saya yakin dampak perubahan itu tidak hanya terjadi di 1-2 sektor, tetapi banyak pengusaha yang tidak bisa mengikuti perubahan yang mendadak. Tiba-tiba sudah investasi, sudah riset, sudah persiapan, tetapi mendadak berubah, ini yang harus kita sadari. Riset yang bagus cocok, tetapi kami hanya bisa maju jika iklim stabil, risiko bisa terukur, dan hitungannya masuk akal," ucap Widyanto.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional