Empat Pilar Kesehatan Finansial Menurut Ratu Maxima, Apa Saja?

Pemerintah perlu membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan finansial.

Empat Pilar Kesehatan Finansial Menurut Ratu Maxima, Apa Saja?
Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Kesehatan Finansial (UNSGSA) Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda (kiri) dan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi (kanan) dalam acara Kesehatan Finansial Nasional di Jakarta, Kamis, (27/11/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/agr)
Daftar Isi

Demi masa depan, menjaga kesehatan finansial bukan lagi sekadar anjuran, melainkan kebutuhan yang tidak dapat dikompromikan. Bertumpukan empat pilar, kesehatan finansial lebih dari sekadar kemampuan mengakses produk keuangan, melainkan pembentukan kebiasaan yang dimulai sejak dini dengan pola menyisihkan penghasilan secara cermat, bukan hanya menunggu sisa pengeluaran.

Ajakan tersebut disampaikan langsung Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesehatan Keuangan (UNSGSA) Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda di hadapan ratusan pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga dalam diskusi "Kesehatan Finansial Nasional untuk Semua" yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Kamis (27/11/2025).

Permaisuri negeri kincir angin tersebut menjelaskan, kesehatan finansial merupakan ukuran kemampuan seseorang atau sebuah keluarga dalam mengatur kewajiban finansial mereka, dengan tetap memiliki kepercayaan diri pada masa depan dengan produk keuangan yang tepat. Kesehatan finansial merupakan bentuk pendalaman inklusi dan literasi keuangan, dua isu yang sebelumnya telah dikenal Indonesia melalui sosialisasi rutin OJK.

"Indonesia patut berbangga karena di saat kurang dari 50% populasi dunia belum memiliki rekening bank, 80% populasi Indonesia sudah memilikinya. Karena akses layanan finansial sudah ada, tantangannya sekarang membantu orang-orang yang memiliki akses untuk memperbaiki kehidupan, memiliki prioritas, mengambil keputusan finansial secara bijak, serta dapat menabung untuk jangka panjang," ucap Ratu Maxima.

Berdasarkan kesepakatan PBB, terdapat empat pilar kesehatan finansial yang penting untuk dicermati.

  • Pertama, akses pada produk dan layanan tabungan, pembiayaan, dan mekanisme pembayaran untuk mengatur keuangan sehari-hari.
  • Kedua, ketahanan menghadapi guncangan finansial (financial shock) yang ditandai ketersediaan dana darurat.
  • Ketiga, perencanaan keuangan masa depan dengan kepemilikan dana pensiun.
  • Keempat, keamanan finansial yang harus diwujudkan pemerintah, termasuk pemberantasan scam and fraud.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, Ratu Maxima menyatakan bahwa membangun kesadaran untuk menjaga kesehatan finansial bukanlah hal yang mudah, terutama di saat 58% penduduk tidak memiliki uang tabungan setelah pengeluaran.

Tercatat, 6 dari 10 penduduk hidup dari pemasukan minim untuk menutupi biaya hidup. Di sini, bank dan penyedia layanan keuangan adalah ujung tombak untuk tidak hanya menghimpun dana masyarakat, tetapi juga menjadi penyuluh kesehatan finansial bagi nasabah.

"Saya tegaskan kepada perbankan bahwa ini bukan ajakan CSR, melainkan kebutuhan. Apabila kesehatan keuangan menjadi fokus, masyarakat akan terarah memahami produk keuangan yang cocok membantu mereka menabung lebih lama, memiliki kesehatan keuangan lebih baik, dan membantu masyarakat melindungi dirinya sendiri," ujar Ratu Maxima.

Dalam kunjungannya ke pabrik garmen di Jawa Tengah beberapa hari lalu, Ratu Maxima berkisah tentang seorang pekerja yang dia temui di sana. Pekerja itu sebelumnya tidak punya kebiasaan menabung, tetapi dengan menyisihkan Rp10.000 sehari, sekarang dia bisa melakukan perencanaan lebih baik untuk kebutuhan kuliah anak hingga renovasi rumah. Artinya, ketidakmampuan masyarakat menabung adalah suatu miskonsepsi, karena yang harus diubah adalah polanya.

"Dengan menyisihkan pemasukan, dan bukan menunggu sisa pengeluaran, Anda dapat mulai mengumpulkan dana darurat, lalu mempersiapkan kebutuhan lain dalam jangka panjang. Ini sangat sulit bagi sebagian orang, tetapi tanpa dana darurat sebagai awal, rencana keuangan masa depan akan sangat sulit untuk dicapai," tandasnya.

Prioritas nasional

Menanggapi ajakan Ratu Maxima tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan bahwa kesehatan finansial merupakan agenda yang akan OJK jadikan sebagai prioritas nasional, bukan lagi sekadar aspirasi.

Secara spontan, Mahendra mengakui dia baru memahami konsep kesehatan finansial saat berbincang dengan Ratu Maxima. Adapun pilar-pilar kesehatan finansial sejatinya telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), tetapi di luar inklusi dan literasi keuangan, pilar dana darurat, dana pensiun, dan regulasi keamanan finansial belum terintegrasi dengan baik.

"Kami lihat ini benar-benar tepat terhadap kebutuhan Indonesia. Kami siap melakukan kerja sama dengan UNSGSA dan akan mengajak semua yang bekerja sama dalam program inklusi dan literasi keuangan. Indonesia selalu belajar dari yang terbaik, dan Ratu Maxima sebagai penasihat khusus Sekjen PBB, gagasan Anda kami terima secara terbuka dan kami akan bangun kerja sama ke depan," cetus Mahendra.

Berbagi pandangan dengan Mahendra, Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan Masyita Crystallin mengungkapkan bahwa tantangan membangun kesadaran kesehatan finansial di Indonesia tidak terlepas dari rumpang yang masih terjadi antara literasi keuangan dan inklusi keuangan. Sebagian asumsi menganggap literasi keuangan yang tinggi akan mendorong inklusi yang tinggi.

Nyatanya, dengan tingkat inklusi keuangan mencapai 80,51%, literasi keuangan Indonesia justru tertahan di angka 66,46%. Dari data ini, terdapat indikasi serius bahwa orang-orang yang memiliki akses terhadap layanan keuangan berpotensi kurang atau tidak memiliki kemampuan cukup memahami layanan dan produk yang diaksesnya, baik perbankan maupun nonperbankan.

"Di sisi lain, mulai tahun 2025, Kementerian Keuangan mendapatkan tugas melakukan pendalaman sektor keuangan. Tugas ini diberikan kepada kami untuk mendorong ekosistem yang sehat dan bisa menjamin masa depan kita. Pemahaman kesehatan finansial menjadi bekal untuk memastikan kita menjadi nasabah layanan yang prudent, tidak mudah terkena scam, dan mendorong perekonomian kita tumbuh sesuai target," ujar Masyita.

Mantan ekonom Bank Dunia itu menengarai, pemahaman dasar literasi keuangan tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan sejak dini untuk terlatih mengelola pemasukan, apapun sumbernya, mulai dari uang jajan, hasil pekerjaan sampingan, hingga gaji tetap. Tanda pengelolaan pemasukan yang cermat adalah pengeluaran yang terukur dan tercatat dalam pos-pos pengeluaran sebagaimana mestinya.

"Dalam acara literasi keuangan OJK, BI, dan LPS ada tagline bagus: 'Sisihkan, Jangan Sisakan'. Karena kalau kita terbiasa sisihkan sekian untuk kebutuhan, sekian untuk investasi, maka semua pengeluaran akan terjaga pada pos-posnya. Jangan menunggu sisa pengeluaran karena gaya hidup sudah berbeda. Seperti Ratu Maxima katakan, kesehatan finansial perlu dijaga demi masa depan kita," tandasnya.

Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Kesehatan Finansial (UNSGSA) yang juga Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda (tengah) didampingi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar (kedua kanan) menyapa peserta saat menghadiri acara Kesehatan Finansial Nasional di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta, Kamis, (27/11/2025). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/agr)

Dari pecahan terkecil

Kesulitan menyisihkan pendapatan untuk menabung perlu diakui sebagai persoalan struktural di Indonesia. Namun, Perencana Keuangan dan Pendiri Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno menilai kebiasaan menabung dan memiliki dana darurat tetap memungkinkan bagi kelompok rentan. Kesehatan finansial, menurut Mike, harus bersifat inklusif dan terjangkau, sehingga harus diusahakan untuk mereka yang berpenghasilan terbatas, tentunya dengan penyesuaian yang wajar.

"Kalau persentase tabungan tradisional seperti 20% untuk dana darurat itu tidak memungkinkan, kita bisa memulai dari nominal lebih kecil. Jika saya punya uang kembalian Rp10.000 atau Rp5.000 saja, langsung masukkan celengan. Itu sudah permulaan yang baik sekali, apalagi kalau recehnya lebih tinggi. Jadi bukan persentasenya, tetapi dari pecahan uang terkecil yang Anda terima," cetus Mike saat dihubungi SUAR, Kamis (27/11/2025).

Dengan perubahan gaya hidup digital, Mike menilai sesungguhnya perilaku menabung dapat semakin mudah dengan hadirnya bank digital dan tabungan emas digital, karena sifat layanan keuangan digital yang memungkinkan jumlah tabungan lebih fleksibel dibandingkan uang kertas.

"Jadikan akun bank digital dan tabungan emas itu sebagai 'amplop digital' untuk mengelola keuangan dan mendukung kebiasaan menabung. Menabung dengan nominal terkecil dimungkinkan dengan akun bank digital dan tabungan emas, dan fleksibilitas tabungan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya," pungkas Mike.

Sebelumnya, Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Media Wahyudi Askar memberi catatan bahwa kepemilikan akun sebagai tolok ukur BI dan OJK mengukur tingkat inklusi keuangan dapat memicu masalah.

"Sangat mungkin, Indonesia memiliki tingkat kepemilikan akun yang tinggi, tetapi pemiliknya tidak menggunakan akun tersebut untuk mengakses layanan keuangan. Kita tahu, hampir sebagian besar bantuan sosial menggunakan akun perbankan, dan akun itu digunakan untuk menerima uang dari pemerintah saja, bukan transaksi aktif," ujarnya saat dihubungi SUAR, Kamis (30/10/2025).

Media menegaskan, meskipun jumlah kepemilikan akun perbankan tinggi belum mencerminkan inklusi keuangan yang baik. Ukuran kebergunaan produk dan layanan keuanganlah yang harus menjadi tolok ukur inklusi, bersamaan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

"Inklusi lebih dari sekadar buka rekening. Yang paling penting, masyarakat benar-benar menggunakan produk sesuai kebutuhan. Data kepemilikan akun tinggi, tetapi jika diukur dengan indikator penggunaan produk, signifikansi, dan dampak penggunaan produk terhadap kesejahteraan, kita bisa menemukan inklusi masih jauh dari kata ideal dan harus disegerakan," tutup Media.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional