Ekonomi Lesu, Pengusaha Siapkan Langkah Praktis untuk Bertahan dan Tetap Tumbuh

Di tengah perlambatan ekonomi dan ketidakpastian global, bagaimana dunia usaha mesti berstrategi agar bisa bertahan dan bertumbuh?

Ekonomi Lesu, Pengusaha Siapkan Langkah Praktis untuk Bertahan dan Tetap Tumbuh
Dewan Pimpinan Harian Apindo menggelar konferensi pers jelang Rakerkonas 2025

Di tengah suhu politik global yang kian panas, mulai dari ancaman kenaikan tarif dari Presiden Trump hingga pergolakan geopolitik dan militer, dunia usaha Indonesia dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah.

Salah satu indikator lesunya perekonomian tercermin dari agregat produksi. Pada Juli 2025, Indeks Belanja Manager atau Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia terperosok ke angka 46,9 – yang jadi level terendah sejak Agustus 2021.

Ini memperpanjang kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. Dan, kontraksi ini bukan sekadar angka, melainkan tanda bahaya yang menuntut respons cepat.

“Ketidakpastian kondisi global, pelemahan daya beli, memang kondisi ekonomi secara menyeluruh sedang kurang baik. Kita lihat data di PMI Manufaktur bulan juni lalu tetap berada di ambang kontraksi, di bawah 50,” Shinta Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam konferensi pers menjelang Rakerkonas Apindo 2025 (29/7/2025).

PMI Manufaktur yang masih tertahan di zona kontraksi ini mencerminkan lemahnya aktivitas produksi manufaktur di tengah ketidakpastian global.

“Dan terutama di dalam sektor-sektor yang menjadi juga sektor padat karya, seperti PPT, tekstil, sektor-sektor yang sangat tertekan pada hari ini,” lanjut Shinta. Penurunan ini terasa berat karena sektor padat karya menjadi tumpuan penciptaan lapangan kerja.

Sementara itu, data S&P Global bulan Juli menunjukkan permintaan baru turun dengan laju tercepat dalam hampir empat tahun terakhir.

Menurut Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, kondisi ini menjadi tanda kurang baik untuk beberapa bulan ke depan.

“Penjualan yang turun tajam sejak Agustus 2021 memaksa produsen memangkas produksi, mengurangi aktivitas pembelian, bahkan memangkas tenaga kerja,” ujar Usamah dalam keterangan resminya (01/07).

“Ke depannya, perusahaan kurang begitu optimistis terhadap perkiraan output, kepercayaan diri turun ke posisi terendah dalam delapan bulan,” lanjutnya. Semua ini terjadi di tengah kekhawatiran akan kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian.

Fakta lainnya, penurunan permintaan baru ini terjadi terutama dari pasar domestik. Produsen Indonesia mencatat penjualan ekspor stabil, tetapi pasar dalam negeri yang lesu menekan output pabrik hingga kapasitas produksi harus dikurangi.

Situasi ini memicu penurunan jumlah tenaga kerja dan aktivitas pembelian selama tiga bulan berturut-turut, meskipun laju penurunannya masih terbilang moderat.

Rakerkonas Apindo: mencari titik balik

Melihat tekanan yang begitu nyata, menjelang Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) ke-XXXIV pada 4–6 Agustus 2025 di Bandung, Apindo memberikan pernyataan dan rekomendasi menyikapi situasi ini melalui konferensi pers (29/07). Bertemakan “Dengan Semangat Indonesia Incorporated Menuju Indonesia Emas 2045”, Rakerkonas Apindo akan menjadi ruang konsolidasi untuk menindaklanjuti langkah-langkah praktis agar ekonomi tetap bergerak di tengah situasi ini.

Shinta Kamdani diwawancarai media saat Konferensi Pers (29/07)

Shinta menegaskan bahwa kekhawatiran terbesar bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal peluang kerja yang semakin sempit.

“Jadi kalau kita lihat kekhawatiran kami adalah sekali lagi penciptaan lapangan pekerjaan. Kita sudah melihat begitu banyaknya calon-calon pekerjaan sedang menunggu kesempatan pekerjaan, sementara lowongan pekerjaan sangat terbatas dan merespon juga lonjakan PHK, ancaman deindustrialisasi,” jelasnya.

Dalam forum ini, Apindo menyatakan, ke depannya akan membahas langkah-langkah nyata agar perusahaan tak hanya bertahan, tetapi juga mampu menciptakan nilai tambah di tengah tekanan global.

Meski demikian, upaya internal saja tak cukup. Shinta menyebut pentingnya sinergi antara dunia usaha dan pemerintah. “Kami berharap ada kebijakan yang mendukung, bukan hanya bagi pelaku usaha besar, tapi juga UMKM dan sektor padat karya,” katanya.

Dari sektor UMKM, tahun ini Apindo memperkenalkan Panduan Lestari sebagai langkah strategis untuk membantu UMKM dan koperasi menjadi lebih tangguh dan responsif terhadap perubahan zaman. “Panduan Lestari ini merupakan panduan laporan ESG (environment, social, governance) yang strategis untuk usaha tangguh dan responsif,” jelas Dewi Meisari, Bidang UMKM dan Koperasi Apindo, saat konferensi pers.

Lewat panduan ini, pelaku UMKM diharapkan bisa semakin siap menembus pasar internasional, sekaligus memperkuat posisi mereka dalam ekosistem bisnis global yang kini semakin menuntut inovasi yang disertai tanggung jawab sosial dan lingkungan.

“Melalui peluncuran Panduan Lestari ini, Apindo mengajak seluruh pelaku usaha untuk menjadikan keberlanjutan sebagai identitas baru dalam berbisnis,” ungkap Dewi. 

Insentif dan reformasi, nafas untuk sektor padat karya

Sebagai salah satu hasil pembahasan, Apindo mendorong pemberian insentif yang terukur dan berdampak langsung pada keberlangsungan sektor padat karya yang kini tertekan. “Apindo menekankan kepentingan pemberian insentif yang terukur dan berdampak langsung pada keberagaman industri, khususnya sektor padat karya,” tegas Shinta.

Beberapa usulan konkret muncul, seperti pembebasan PPN atas jasa simpan kantor dan bahan baku tertentu, percepatan restitusi PPN, hingga penghapusan bea masuk bahan baku. “Kami juga mengusulkan perluasan PPh 21 yang ditanggung pemerintah,” tambahnya. Langkah ini diharapkan dapat membantu perusahaan menjaga daya saing di pasar yang semakin kompetitif.

Apindo juga menyoroti mahalnya biaya pinjaman sebagai penghalang besar. “Tak kalah penting, Apindo juga mendorong kemudahan akses pembiayaan, karena interest rate kita juga masih sangat tinggi dan ini menjadi bagian untuk keberlangsungan perusahaan, biaya terjangkau, dan menopang kapasitas produksi,” ujar Shinta.

Selain fiskal, efisiensi biaya dan energi juga menjadi perhatian. “Kami menetapkan perlindungan stimulus untuk mengurangi limited cost dan biaya energi, seperti subsidi BPJS Kesehatan bagi sektor terdampak, skema energi terjangkau melalui instalasi listrik, subsidi gas, hingga skema EBT seperti PLTS atap,” katanya. Reformasi regulasi juga diusulkan agar hambatan perizinan dan biaya logistik dapat ditekan.

Menjaga optimisme di tengah awan kelabu

Walau data PMI dan kontraksi manufaktur memberi sinyal peringatan keras, pelaku usaha tetap berusaha menjaga harapan. Apindo meyakini, jika langkah-langkah tersebut didukung kebijakan pemerintah yang tepat, ekonomi Indonesia masih punya peluang bergerak maju.

“Dengan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh dunia usaha, stagnasi pertumbuhan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan berpotensi mengancam pencapaian visi nasional tersebut,” ujar Eddy Hussy, Wakil Ketua Umum Apindo, sekaligus Komisioner di PT Rezeki Graha Mas Utama.

Kendati demikian, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menegaskan akan konsisten mengawal isu-isu prioritas yang berdampak langsung ke perekonomian nasional, terutama penciptaan lapangan kerja. “Apindo konsisten terus mengawal isu-isu prioritas dunia usaha yang berdampak langsung kepada perekonomian nasional, terutama yang sekali lagi berkait dengan masalah penciptaan lapangan kerja,” tambah Ajib.

Ke depan, Rakerkonas menjadi momen penting: bukan hanya untuk berbagi keluhan, tetapi juga menyusun solusi nyata, mulai dari inovasi produk, digitalisasi, hingga efisiensi. Dengan sinergi, dunia usaha berharap tetap bisa bergerak meski tekanan global belum reda.

Di balik angka-angka merah PMI, ada semangat untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan terus mencari ruang tumbuh. Karena, seperti kata Shinta, “ekonomi tetap harus bergerak,” demi menjaga harapan jutaan pekerja dan keberlanjutan usaha menuju 2045.

Mengupayakan peluang sektor padat karya di tengah kontraksi

Kekhawatiran dunia usaha ini ditangkap oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Melalui konferensi pers Senin kemarin (28/07), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti pentingnya menjaga daya tahan sektor manufaktur nasional, khususnya sektor padat karya, di tengah tekanan global yang makin kompleks. 

"Peranan sektor swasta sebagai penggerak pertumbuhan akan terus didorong melalui kebijakan dan kecepatan deregulasi, termasuk mendorong kolaborasi lintas sektor agar lebih optimal,” jelas Sri Mulyani.

Ia mengakui bahwa kondisi PMI yang masih di bawah level ekspansi ini harus menjadi perhatian serius, karena erat kaitannya dengan serapan tenaga kerja dan ancaman deindustrialisasi. Terutama, di sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, dan garmen.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam Konferensi Pers KSSK Juli 2025

Untuk mengimbangi tekanan tersebut, pemerintah secara aktif menjajaki langkah-langkah strategis, seperti negosiasi penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat menjadi 19% bagi produk asal Indonesia. “Langkah ini diperkirakan dapat mendorong kinerja sektor padat karya,” katanya.

Di sisi lain, kebijakan impor dengan tarif 0% untuk beberapa produk Amerika Serikat juga diharapkan bisa menekan harga bahan baku migas dan pangan, sehingga meringankan biaya produksi manufaktur nasional.

Pemerintah menilai bahwa langkah-langkah ini, didukung sinergi lintas sektor dan kolaborasi dengan Bank Indonesia, dapat membantu menjaga likuiditas dan daya saing industri manufaktur. “Berbagai kebijakan strategis akan terus ditingkatkan untuk menciptakan multiplier effect yang lebih besar, sehingga ekonomi Indonesia tahun 2025 masih diproyeksikan tumbuh di kisaran 5%,” tutup Sri Mulyani, seraya menegaskan pentingnya adaptasi cepat dan inovasi agar sektor manufaktur tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Dari kacamata pakar: saatnya berpikir out of the box

Di tengah kontraksi PMI dan tekanan global, pakar ekonomi menilai pelaku usaha perlu mengadopsi langkah-langkah strategis yang lebih kreatif dan adaptif. Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menekankan bahwa kolaborasi bukan hanya slogan, tetapi kunci nyata untuk bertahan.

“Kolaborasi bisa berbentuk co-investment atau patungan investasi proyek, bisa juga pinjaman sindikasi dari beberapa lembaga keuangan, atau factory sharing,” jelas Bhima (29/07).

Ia mencontohkan skema factory sharing di mana pelaku usaha saling berbagi peran dalam penyediaan mesin dan fasilitas produksi. “Misalnya UMKM sektor logam kerjasama dengan PLN untuk komponen listrik,” tambahnya. Langkah seperti ini dinilai penting untuk menekan biaya investasi dan memperkuat daya saing.

Bhima juga menyarankan agar pelaku usaha melakukan pivot ke sektor-sektor yang lebih resilien. “Salah satunya di sektor leisure economy atau bisnis hiburan, dan lipstick economy atau perawatan tubuh,” ujarnya. Sektor-sektor ini cenderung lebih stabil karena tetap dibutuhkan konsumen, meski daya beli melemah.

Selain itu, adaptasi produk juga menjadi kunci. “Contohnya produk makanan minuman ukuran besar bisa dipecah jadi kemasan sachet,” kata Bhima. Strategi ini menjawab realita turunnya daya beli masyarakat, dengan membuat produk tetap terjangkau tanpa kehilangan pasar.

Dan yang tak kalah penting, Bhima mengingatkan agar pelaku usaha menjaga likuiditas.

“Cash is the king di tengah ketidakpastian,” tegasnya.

Dengan memastikan arus kas tetap sehat, perusahaan punya ruang bernafas untuk beradaptasi, menata ulang strategi, dan menghadapi tekanan global yang masih panjang.