Pemerintah akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang lebih merata di berbagai daerah di tengah target ambisius mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8%.
Beberapa sektor yang akan diprioritaskan antara lain dalam mewujudkan ketahanan pangan, ketahanan energi, dan air; peningkatan sumber daya manusia; penguatan konektivitas; dan keberlanjutan lingkungan.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, pembukaan kanal satu pintu dibutuhkan untuk menarik investasi infrastruktur dan pembiayaan inovatif.
"Inklusi merupakan pengganda penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, tetapi keterhubungan infrastruktur adalah pondasinya. Karena itu, infrastruktur perlu berdampak langsung, dan ukuran keberhasilan pembangunan adalah perubahan hidup masyarakat yang menjadi sasaran," ucap Agus saat memberikan sambutan kunci dalam Balairung Dialogue 2025 di Jakarta, Selasa (09/12/2025).
Agus mengatakan pihaknya belajar dari peristiwa banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bahwa konektivitas bermakna segalanya. Dari sana pula, pemerintah bertekad bahwa infrastruktur tidak hanya perlu dibangun ulang, tetapi dibangun lebih kuat dan tangguh.
Pada poros ketahanan dasar, pembangunan tertuju pada food estate, bendungan dan irigasi, serta pembangkit listrik terbarukan. Pada poros pembangunan SDM, sekolah rakyat dibangun bersamaan dengan perumahan rakyat, sarana-prasarana olahraga, dan dapur-dapur SPPG untuk memasok Makan Bergizi Gratis untuk seluruh anak Indonesia.
Konektivitas lebih kuat didorong melalui Kementerian Perhubungan, BUMN transportasi, serta Injourney. Sementara prioritas infrastruktur keberlanjutan lingkungan termanifestasi dalam dukungan investasi Danantara dalam proyek waste to energy dan pembangunan tanggul laut dan tanggul pantai di kota-kota pesisir utara Jawa yang mengalami penurunan muka tanah.
"Sinergi kami bukan hanya soal infrastruktur, tetapi menciptakan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan. Dialog adalah jalan terbaik merumuskan strategi pembangunan yang berdampak, dengan infrastruktur sebagai fondasi dan inklusi akan menjadi penggandanya," pungkas Agus.

Guna memastikan keempat tujuan prioritas tersebut tercapai simultan, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Rachmat Kaimuddin memastikan pemerintah akan meninggalkan pendekatan build and forget.
Setiap pembangunan infrastruktur akan benar-benar diteliti sejauh mana dampaknya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, bukan sekadar serapan anggaran dan jumlah proyek terselesaikan.
"Saya menekankan kepada kementerian teknis bahwa saya tidak mau melihat jumlah angka pembangunan sebagai output, tetapi harus sebagai outcome. Saya tidak ingin lihat berapa meter kubik kapasitas penyimpanan, tetapi berapa hektare yang bisa dipanen dan disimpan. Bukan berapa panjang irigasi dibangun, tetapi seperti apa peningkatan panen karena irigasi yang dibuat," jelas Rachmat.
Mengejar target investasi 3 kali lipat dalam pembangunan infrastruktur, Kemenko Infrastruktur meresmikan Infrastructure Project Facility Office (IPFO) pada 22 Oktober 2025 sebagai sarana pemerintah memfasilitasi investasi infrastruktur dari swasta. Selain menyusun katalog proyek yang direncanakan pemerintah, IPFO juga menjadi layanan satu pintu bagi investor yang tertarik membiayai pembangunan.
"IPFO mempertemukan kebutuhan infrastruktur kita dan pihak swasta, serta mudah-mudahan membuka ruang dialog untuk mengatasi masalah yang dialami investor di lapangan. Rencana kami, kalau ada waktu, kami akan adakan mini forum partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur pemerintah," pungkas Rachmat.

Menekan risiko
Meski peluang partisipasi swasta terbuka dalam membiayai proyek infrastruktur pemerintah, Senior Investment Director Danantara Sunata Tjiterosampurna mengingatkan, ada tiga aspek yang sangat diperhatikan investor dari sebuah proyek infrastruktur, termasuk proyek waste to energy yang dipersiapkan Danantara di 32 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
"Pertama, kepastian cash flow dari offtaker yang akan menentukan bankability dan keberlanjutan. Kedua, alokasi risiko. Siapa yang pantas memikul risiko dan persentase dana yang diberikan oleh investor, bank, dan dana publik. Ketiga, kepastian regulasi, karena pembangunan infrastruktur pasti baru return dalam jangka panjang," cetusnya.
Berbagi pandangan dengan Sunata, Director of Public Financing and Project Development Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Faaris Pranawa mengungkapkan, salah satu riset SMI menemukan apabila percepatan pembangunan infrastruktur mengandalkan anggaran yang bersumber dari TKD dan pendapatan asli daerah, butuh 34 tahun bagi satu daerah untuk bisa menyelesaikan seluruh target yang ada saat ini.
Temuan riset SMI tersebut, Faaris menjelaskan, mengaitkan besarnya ketergantungan daerah pada TKD, di samping masalah cash flow, alokasi risiko, serta kepastian hukum dalam pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan swasta. SMI, sebagai institusi keuangan pembangunan, mendapatkan mandat membawa pembiayaan ke proyek, disertai asistensi teknis untuk perencanaan dan manajemen risiko.
"Kami ambil risiko menanggung porsi pemerintah agar swasta bisa lebih nyaman untuk masuk ke proyek. Contohnya, Trans Sumatra. Pertama kami masuk sebagai lenders karena tidak ada bank yang mau masuk. Begitu juga geotermal, yang kalau eksplorasinya gagal, kami yang akan ambil risiko 50%. Saat ini, portofolio SMI mencapai 14% pembiayaan seluruh proyek energi terbarukan di Indonesia," jelas Faaris.
Inovasi, menurut Faaris, menjadi kunci agar proyek infrastruktur publik dapat menarik bagi swasta. Karenanya, meskipun SMI siap masuk untuk menekan risiko, pemerintah daerah juga harus proaktif mengupayakan pembiayaan dari instrumen pasar di luar transfer pemerintah pusat. SMI cukup berperan sebagai katalis dan sandaran, sementara motor pertumbuhan tetap pada pemerintah daerah.
"Kami memiliki beberapa cara untuk menekan risiko proyek infrastruktur. Tentu yang pertama adalah harus dapat resource yang dapat dikeluarkan. Kami juga menyiapkan porsi ekuitas dari proyek, mendukung pemilik proyek dengan menerbitkan holding bonds yang dijamin, di samping juga menyalurkan grant. Semua itu bertujuan meningkatkan bankability suatu proyek," pungkasnya.
Proyek hijau lebih riskan
Kebutuhan bantalan pengaman untuk menekan risiko proyek infrastruktur publik tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pembangunan infrastruktur yang semakin dituntut memperhatikan aspek lingkungan. Padahal, menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, proyek "hijau" relatif penuh ketidakpastian dan tidak dapat ditanggung sendiri oleh bank.
"Perlu ada skema penjaminan dan alternatif pembiayaan agar perbankan tidak hanya mengoptimalkan proyek 'brown', tetapi juga meningkatkan green economy melalui pembiayaan sindikasi, insentif likuiditas, di samping peningkatan profitabilitas portofolio infrastruktur itu sendiri," jelas Josua.
Dengan diversifikasi metode pembiayaan, pemerintah lebih fokus mengarahkan agar tujuan akhir pembiayaan infrastruktur hijau yang digalakkan bukan hanya menurunkan karbon, tetapi juga menciptakan sumber pertumbuhan baru yang dapat mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi 8%.
"Perlu ada security and law enforcement (SLE) yang jelas dan terukur. Vietnam yang berhasil membiayai infrastruktur digitalnya dari swasta memiliki penegakan hukum yang tepat dan tidak molor. OSS yang disiapkan pemerintah melalui PP 28/2025 juga harus diikuti sandbox yang dapat mempercepat inovasi, tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam mekanisme pembiayaan," tutupnya.