Cadangan devisa Indonesia tercatat stabil di tengah di tengah gejolak ekonomi, termasuk ancaman tarif impor dari Amerika Serikat. Kekhawatiran pelaku usaha sempat meningkat setelah pengumuman tarif 32% pada bulan April, yang kemudian direvisi menjadi 19% pada Juli dan mulai berlaku 7 Agustus 2025.
Berdasarkan keterangan resmi dari Bank Indonesia (BI) pada Kamis (7/8/2025), posisi cadangan devisa Juli 2025 tercatat sebesar US$ 152,0 miliar, sedikit menurun dari posisi akhir Juni 2025 sebesar US$ 152,6 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, penurunan tipis tersebut dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah serta langkah stabilisasi nilai tukar rupiah yang diambil Bank Indonesia sebagai respons terhadap tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global.
"Posisi cadangan devisa ini dinilai sangat memadai karena setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor, di atas standar internasional 3 bulan impor," ujar Ramdan, Kamis (7/8/2025).
Posisi cadangan devisa ini terbilang relatif stabil walau di tengah gonjang-ganjing keputusan tarif perdagangan yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Sejak pertama kali mencetuskan soal perubahan tarif perdagangan April lalu, perdagangan internasional pun langsung terdampak. Banyak ekspor-impor yang tertahan karena menanti kepastian besaran tarif yang akan ditetapkan Trump.
Namun, cadangan devisa Indonesia sejak April 2025 hingga Juli 2025 dalam posisi relatif stabil. Pada April nilai cadangan devisa pada posisi US$ 152,46 miliar, Mei pada posisi US$ 152,48 miliar, Juni pada posisi US$ 152,56 miliar, hingga Juli US$ 151,98 miliar.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyoroti stabilnya posisi cadangan devisa Indonesia sejak April 2025 hingga Juli 2025. Kestabilan cadangan devisa dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan penerimaan sektor jasa di tengah pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta intervensi stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
"Meski demikian, posisi cadangan devisa tetap tinggi dan menunjukkan ketahanan terhadap sektor eksternal Indonesia," ujar Asmo, panggilan akrab Andry Asmoro.
Tren ke depan
Asmo mengatakan, cadangan devisa Indonesia diperkirakan tetap kuat seiring dengan dukungan dari surplus neraca perdagangan dan prospek aliran modal masuk ke pasar negara berkembang. Indonesia sendiri sudah mencatat surplus neraca perdagangan 62 bulan berturut-turut.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky memoroyeksikan cadangan devisa Indonesia hingga akhir tahun akan mengalami tekanan.
Lebih lanjut Ia menjelaskan faktor ekonomi global sebagai penyebab penurunan cadangan devisa.
"kalau kita lihat dengan adanya Tarif Trump, tentu akan tekanan-tekanan pada nilai rupiah sehingga menurunkan cadangan devisa Indonesia," katanya kepada Suar, (7/8/2025).
Di sisi lain, ia memperkirakan BI akan mengintervensi dengan menggunakan cadangan devisa untuk menjaga nilai tukar rupiah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, meskipun selisih ekspor dan impor saat ini mengecil, neraca perdagangan Indonesia masih surplus. Ia juga menambahkan cadangan devisa saat ini juga diperkuat dengan adanya kebijakan yang mewajibkan penahanan devisa hasil ekspor sumber daya alam (SDA) selama 12 bulan.
Hanya saja, kebijakan wajib menyimpan DHE ini kurang tepat diberlakukan untuk eksportir industri pengolahan. Sebab, bahan baku industri manufaktur masih banyak yang harus dipasok dari impor. Kas hasil pendapatan ekspor langsung diputar untuk membeli bahan baku yang kemudian langsung segera untuk kebutuhan produksi.
Kebijakan ini memang lebih tepat untuk DHE hasil SDA. Sebab, DHE sektor ini memungkinkan untuk diendapkan dalam sistem keuangan dalam negeri.
Namun, potensi tekanan ke depan tetap perlu dicermati, terutama dari kebijakan tarif AS yang menetapkan tarif impor sebesar 19% terhadap produk asal Indonesia, yang dapat memengaruhi kinerja ekspor nasional. Komoditas unggulan seperti batu bara dan CPO diharapkan tetap menjadi penopang utama ketahanan sektor eksternal Indonesia.
Benny juga menggarisbawahi pentingnya stabilitas rupiah bagi para pengusaha. Menurutnya, kestabilan rupiah yang didukung oleh cadangan devisa kuat memungkinkan pengusaha untuk menghitung risiko kurs dengan lebih akurat dan menghindari kerugian.
"Harapannya kita ke rupiahnya stabil lah, naik turunnya tidak harus terlalu tinggi, tidak harus terlalu rendah, sehingga kita bisa hitung risiko kursnya," katanya kepada SUAR (7/8/2025).

Untuk meningkatkan ketahanan pelaku usaha, Benny menyarankan pemerintah untuk menurunkan biaya hedging, instrumen yang digunakan untuk menjaga kepastian nilai tukar. Namun, ia menilai biaya hedging di Indonesia saat ini masih terlalu mahal.