ASEAN tengah bersiap melangkah ke babak baru yang berpotensi mengubah wajah ekonomi kawasan. Melalui Digital Economy Framework Agreement (DEFA), negara-negara anggota merancang kerangka komprehensif pertama yang menyatukan berbagai kebijakan digital lintas batas.
Inisiatif ambisius ini ditargetkan rampung pada 2025, dan menjadi salah satu capaian utama ketika Indonesia menjabat Keketuaan ASEAN pada 2023.
Langkah negosiasi terus digulirkan, salah satunya lewat Special ASEAN Economic Community Council (AECC) Meeting pada 28 Agustus lalu. Pertemuan hybrid itu menjadi panggung penting bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang memimpin langsung delegasi RI. Agenda utamanya: merumuskan kesepakatan strategis, mulai dari fleksibilitas pembayaran lintas negara, perlindungan data pribadi, hingga keamanan siber yang kian mendesak.
Airlangga menekankan bahwa meski Indonesia telah menjalin kerjasama pembayaran digital lintas negara, fleksibilitas bukan berarti tanpa batas. Pandangan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kedaulatan digital. “Tetap ada kriteria yang harus dipenuhi sesuai kepentingan Indonesia,” ujarnya dalam keterangan pers.
Sampai dengan Agustus 2025, sekitar 60% naskah DEFA telah disepakati, mencakup isu-isu krusial seperti perlindungan data pribadi, kerjasama keamanan siber, kecerdasan buatan (AI), kesetaraan digital, inklusi, serta dukungan bagi UMKM.
ASEAN menargetkan 70% substansi selesai sebelum AECC ke-26 pada Oktober nanti, satu tonggak penting agar keseluruhan perundingan bisa rampung awal 2026 dan ditandatangani pada kuartal akhir tahun itu.
Jika tuntas, DEFA diproyeksikan menjadi katalis pertumbuhan digital ASEAN, melipatgandakan nilai ekonomi kawasan dari proyeksi USD 1 triliun menjadi USD 2 triliun pada 2030.
Awal mula dan visi DEFA
Gagasan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) pertama kali disepakati dalam pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) pada 19 Agustus 2023. Saat itu Indonesia sedang mendapat mandat giliran menjadi keketuaan ASEAN.
Didukung oleh inisiatif Aus4ASEAN Futures dari Australia, studi awal DEFA memotret visi ambisius, yaitu menciptakan peluang digital yang harmonis di seluruh kawasan. Tidak sekadar meniru perjanjian digital bilateral atau multilateral yang sudah ada, DEFA hadir dengan cakupan lebih luas dan komprehensif, menyatukan aturan di tingkat ASEAN.
Penyusunannya melibatkan konsultasi luas dengan pemangku kepentingan. Lebih dari 2.000 UMKM disurvei, 60 pimpinan korporasi besar diajak berdiskusi, dan berbagai lokakarya lintas negara digelar. Dari rangkaian itu lahir rekomendasi berbasis praktik terbaik, mulai dari percepatan perdagangan digital, penguatan keamanan daring, hingga peningkatan peran UMKM dalam ekonomi digital.
Isu yang dibidik DEFA mencakup perdagangan digital lintas batas, identitas digital, pembayaran digital, hingga keamanan siber. Bahkan, teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) ikut dimasukkan agar relevan dengan kebutuhan masa depan. Menurut proyeksi Boston Consulting Group (BCG), ekonomi digital ASEAN yang kini bernilai sekitar USD 300 miliar berpotensi tumbuh hampir USD 1 triliun pada 2030. Dengan regulasi progresif, kontribusinya bahkan bisa berlipat ganda hingga USD 2 triliun.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ASEAN Kao Kim Hourn menyebut penyelesaian studi DEFA sebagai salah satu pencapaian terbesar ASEAN pada 2023. Lebih dari sekadar dokumen, lanjut Kao, DEFA menandai komitmen jangka panjang ASEAN dalam transformasi digital.
Kesepakatan untuk memulai perundingan resmi bahkan sudah disahkan dalam AEC Council Meeting ke-23 dan diakui dalam KTT ASEAN ke-23 di Jakarta. Kini, ASEAN memasuki fase krusial, yaitu merumuskan aturan bersama yang bukan hanya mendorong pertumbuhan, tapi juga memastikan manfaatnya terasa merata di seluruh negara anggota.
Ketimpangan infrastruktur dan regulasi
Dari kacamata pakar, meski penuh optimisme, perjalanan DEFA tidak tanpa tantangan. Peneliti Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti persoalan klasik dan menguraikannya kepada Suar melalui keterangan tertulis (7/9/2025), yaitu ketimpangan antarnegara ASEAN.
“Masih banyak negara yang tertinggal secara infrastruktur digital. Indonesia pun masih memiliki banyak blind spot internet. Akibatnya, pemberdayaan internet juga jauh tertinggal,” jelasnya.
Kondisi ini membuat keuntungan digital lebih banyak dinikmati negara seperti Singapura. Negara dengan infrastruktur mapan dan regulasi ramah bisnis ini menjadi magnet bagi perusahaan global yang ingin menembus pasar ASEAN.
Ketimpangan juga tampak dalam regulasi. Menurutnya, dari 10 negara ASEAN, hanya separuhnya yang sudah memiliki aturan perlindungan data pribadi. “Tanpa regulasi setara, perkembangan ekonomi digital bisa timpang, baik dari sisi bisnis maupun perlindungan konsumen,” tambah Huda.
“Tanpa regulasi setara, perkembangan ekonomi digital bisa timpang, baik dari sisi bisnis maupun perlindungan konsumen,” ujar Nailul Huda.
UMKM di persimpangan jalan
Di sisi lain, sektor UMKM berada di titik persimpangan. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menegaskan bahwa prioritas saat ini adalah memperkuat pasar domestik sembari membuka pintu UMKM lokal ke pasar internasional.
“Masalah utama UMKM dalam perdagangan lintas batas adalah perbedaan regulasi, tarif, dan standar antarnegara. DEFA bisa jadi solusi konkret lewat harmonisasi aturan dan penyederhanaan prosedur,” ungkapnya.
Namun tantangannya nyata. UMKM menyumbang 60% PDB Indonesia dan menyerap 97% tenaga kerja, tetapi hanya sekitar 20% yang sudah masuk ke ekosistem digital. Dari sisi pembiayaan, 69,5% UMKM belum terhubung dengan perbankan formal, sementara rasio kredit bermasalah (NPL) UMKM mencapai 4%.
Kesenjangan ini berisiko membuat UMKM hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi digital ASEAN. Karena itu, dukungan regulasi yang inklusif dan penyederhanaan prosedur lintas batas menjadi kunci agar UMKM benar-benar ikut merasakan manfaat DEFA.
Sembilan Komponen Kunci
Masih senada dengan saran pakar Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika RI yang kini menjabat sebagai Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara, menyampaikan bahwa DEFA bukan hanya soal cyber security.
“Ada sembilan komponen yang harus disiapkan bersama karena saling terkait satu sama lain untuk memaksimalkan percepatan ekonomi digital lintas regional. Kalau hanya fokus ke keamanan siber, kita bisa kehilangan gambaran besar,” ujarnya melalui sambungan telepon, Minggu (7/9).
Kesembilan komponen itu mencakup: perdagangan digital, cross-border e-commerce, pembayaran digital, identitas digital dan autentikasi, aliran data lintas batas dan perlindungan data, mobilitas talenta, kerja sama isu-isu baru, kebijakan persaingan usaha, serta online safety dan keamanan siber.
Rudiantara merujuk pada data tahunan e-Conomy SEA terkait ekonomi digital ASEAN saat ini baru menyumbang sekitar 6% dari total PDB kawasan, yakni sekitar USD 200 miliar. “Cita-citanya pada 2030 mencapai USD 1 triliun, atau sekitar 15–16% dari total ekonomi ASEAN. Tapi untuk sampai ke sana, kesepakatan DEFA harus selesai pada 2025,” katanya.
Ia menambahkan, kesiapan tiap negara ASEAN masih timpang. Singapura berada di posisi paling maju, sementara Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. “Dalam indeks National Cyber Security Index (NCSI), skor Indonesia baru sekitar 63 dari 100. Kekuatan kita relatif ada di e-identification dan pembayaran digital (QRIS), tapi lemah di perlindungan layanan digital,” papar Rudiantara.
Meski begitu, ia optimistis DEFA akan mendorong reformasilintas sektor. “Kita tidak bisa hanya bicara teknologi. Harus ada reformasi proses bisnis di semua sektor, perdagangan, perindustrian, pendidikan, bahkan perizinan investasi, agar peluang ekonomi digital bisa maksimal,” jelasnya. Ia juga menyinggung soal proses bisnis investasi yang dinilai masih berbelit dan multi-level sehingga menghambat kemudahan berinvestasi. Padahal, ekonomi digital membutuhkan dukungan investasi, baik di bidang teknologi maupun tenaga kerja IT.
“Jadi harus dilakukan reformasi proses bisnis secara simultan dari berbagai sektor. Contoh, sekarang investasi ada yang ditangani pemerintah pusat, tapi eksekusinya harus lewat izin di daerah. Proses seperti ini harus direformasi,” ujarnya.