Kementerian Keuangan menyebutkan, realisasi penerimaan pajak dari ekonomi digital mencapai Rp 40,02 triliun hingga 31 Juli 2025. Penerimaan pajak dari sektor ini diproyeksikan akan terus membesar seiring dengan perkembangan teknologi. Ini bisa jadi potensi baru pendapatan pajak di masa mendatang.
Realisasi Penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital itu terdiri dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Rp31,06 triliun, pajak atas aset kripto Rp1,55 triliun, pajak fintech (peer-to-peer lending) Rp3,88 triliun, serta pajak yang dipungut pihak lain melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (Pajak SIPP) Rp3,53 triliun.
Kontribusi terbesar berasal dari pemungutan PPN PMSE senilai Rp31,06 triliun atau 77,6 persen dari total penerimaan. PPN PMSE adalah pajak atas pembelian produk atau jasa digital melalui platform digital yang dipungut oleh perusahaan digital yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Beberapa diantaranya seperti perdagangan elektronik atau e-commerce, layanan streaming film dan musik, perangkat lunak komputer, hingga e-Book.
Sampai dengan Juli 2025, pemerintah telah menunjuk 223 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE. Pada bulan yang sama, terdapat tiga penunjukan baru, yaitu Scalable Hosting Solutions OÜ, Express Technologies Limited, dan Finelo Limited. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mencabut penunjukan tiga pemungut PPN PMSE, yakni Evernote GmbH, To The New Singapore Pte. Ltd., dan Epic Games Entertainment International GmbH.
Dari 223 pemungut terdaftar, sebanyak 201 perusahaan telah menyetor pajak. Sebanyak 201 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE dengan total Rp31,06 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas setoran Rp731,4 miliar pada 2020, Rp3,90 triliun pada 2021, Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, Rp8,44 triliun pada 2024, serta Rp5,72 triliun hingga 2025.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rosmauli menjelaskan, penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp1,55 triliun sampai dengan Juli 2025.
Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp462,67 miliar penerimaan 2025. Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp730,41 miliar penerimaan PPh 22 atas dan Rp819,94 miliar penerimaan PPN DN.
Pajak fintech juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp3,88 triliun sampai dengan Juli 2025. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, Rp1,48 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp841,07 miliar penerimaan tahun 2025.
Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp1,09 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp724,25 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp2,06 triliun.
Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan Pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP. Hingga Juli 2025, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp3,53 triliun. Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,12 triliun penerimaan tahun 2023, Rp1,33 triliun penerimaan tahun 2024, dan Rp684,6 miliar penerimaan tahun 2025. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp239,21 miliar dan PPN sebesar Rp3,29 triliun.
Dorongan teknologi
Pengamat Pajak dari Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan dalam beberapa tahun terakhir ini, ekonomi digital tumbuh pesat yang mengubah sistem perdagangan dari yang dulunya toko fisik sekarang berubah menjadi digital.
Era digital ini memberikan kesempatan baru kepada pemerintah untuk menggali potensi wajib pajak baru seperti sektor e-commerce.
“Prospek pajak dari sektor ekonomi digital ini cukup menjanjikan, pemerintah harus terus memantau perkembangannya, jangan sampai potential lost,” ujar dia kepada SUAR di Jakarta (28/8/2025).
Prianto mengatakan sudah banyak negara di dunia yang menerapkan pajak ekonomi digital, Indonesia bisa belajar banyak terutama mengenai tarif dan sistem pemungutannya agar tidak merugikan dunia usaha.
Harus ada edukasi
Sekretaris Jenderal Asosiasi e-Comemrce Indonesia (idEA) Budi Primawan mendukung langkah pemerintah dalam memperkuat kepatuhan pajak termasuk di e-commerce.
Pajak digital ini masih sangat baru dan perlu edukasi karena masih menemukan sejumlah tantangan baik administratif maupun teknis.
“idEA menilai perlu adanya masa transisi yang cukup dan sosialisasi yang menyeluruh, terutama bagi pelaku UMKM yang belum terbiasa dengan administrasi perpajakan berbasis digital,” ujar dia.