Keputusan pemerintah untuk memotong alokasi dana transfer ke daerah (TKD) pada rancangan anggaran tahun depan menuai reaksi beragam dari berbagai kepala pemerintahan di daerah. Mereka menyebut hal tersebut berpotensi memberatkan keuangan daerah dan menghambat pembangunan daerah.
Sementara itu, berbagai pakar menyarankan agar kepala daerah bisa lebih kreatif dalam menggali potensi pendapatan asli daerah (PAD) baru untuk menutupi defisit akibat berkurangnya dana transfer dari pusat ke daerah.
Kebijakan yang tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menyebutkan: pemerintah menetapkan alokasi dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 650 triliun. Angka ini turun signifikan sebesar Rp 214,1 triliun atau 24,8% dibandingkan dengan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp 864,1 triliun.
"Ini tentu akan memperlemah fiskal pemerintah daerah," kata Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), kepada SUAR di Jakarta, Rabu (20/8).
Sarman menjelaskan bahwa penurunan dana ini juga akan menghambat program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bagi daerah yang mayoritas masih bergantung pada dana transfer dari pusat.
"Penurunan anggaran ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan publik dan perputaran ekonomi di daerah, karena belanja pemerintah daerah berfungsi sebagai stimulus bagi sektor swasta," kata dia.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman. Ia menilai hal ini berpotensi memukul daerah yang selama ini sangat bergantung pada suntikan dana dari pemerintah pusat.
“Sekitar 60%–70% daerah kita itu, kota-kota, dan juga provinsi masih mengandalkan dana dari pemerintah pusat yang disebut dengan transfer ke daerah, atau dulu disebut dengan dana perimbangan,” ujarnya kepada SUAR melalui sambungan telepon.
Ia menambahkan, guyuran dana ini membuat perekonomian daerah sangat bergantung pada belanja pemerintah daerah, yang mencakup belanja operasional hingga belanja modal.
Herman membandingkan situasi ini dengan efisiensi anggaran sebesar Rp 50,59 triliun yang dilakukan pemerintah pusat pada tahun 2025 telah membuat daerah mengalami kesulitan.
"Kita bisa lihat dengan penurunan atau dengan efisiensi Rp 50,59 triliun pada tahun 2025, daerah sudah tiarap seperti itu, apalagi tahun depan ketika ada penurunan sebesar 24,8%," katanya.
Strategi dan inovasi
Lantas, apa jalan keluarnya? Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Bursah Zarnubi, dibutuhkan strategi transisi yang matang agar daerah tetap mampu menjaga kualitas layanan publik dan memastikan pembangunan yang merata.
Ia mencontohkan, kebijakan efisiensi yang dilakukan di awal tahun 2025 sudah cukup merepotkan kepala daerah dalam melakukan tugas-tugasnya. Sehingga, kalau dipangkas lagi, ini akan sangat memberatkan.
“Kami akan membawa hasil diskusi dengan teman-teman bupati hari ini untuk nanti dituangkan dalam surat dan rumusan kemudian akan disampaikan kepada Presiden. Intinya, kami di daerah sangat keberatan jika ada pemotongan anggaran TKD di APBN tahun depan,” ujar Bursah yang merupakan Bupati Lahat, dikutip dari keterangan resmi (9/8/2025).
Menanggapi kebijakan pemerintah pusat, Apkasi menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk berdialog dengan kajian menyeluruh yang melibatkan berbagai pihak agar dampak penyesuaian transfer ke daerah dapat dinilai secara objektif.
“Kami siap diajak berdialog, dan kalau perlu dilakukan kajian komprehensif mengenai dampak pemangkasan TKD terhadap kemampuan daerah. Diperlukan mekanisme transisi yang memadai jika kebijakan ini harus dilaksanakan. Terpenting, Apkasi siap menjaga komunikasi dan koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dan daerah," ujarnya.
Bursah menegaskan bahwa dukungan fiskal yang memadai sangat krusial, terutama untuk menjaga kelancaran proyek-proyek infrastruktur dasar – seperti jalan, sekolah, puskesmas, dan irigasi sebagai fondasi bagi aktivitas ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat.
Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), bahkan menilai kebijakan pemangkasan TKD 2026 sebagai langkah mundur yang berpotensi melanggar prinsip desentralisasi fiskal dan otonomi daerah setalah 80 tahun Indonesia merdeka.
“Menurut saya, secara konstitusional ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan prinsip desentralisasi pada pasal 18 UUD 1945,” kata Media kepada SUAR.
Untuk mengatasi dampak jangka pendek, Media menyarankan agar para bupati dan walikota mendesak pemerintah pusat untuk berdiskusi ulang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Ia berharap pemerintah daerah dapat menyampaikan secara jujur dampak pemotongan ini dan mendesak agar TKD dipertimbangkan ulang.
Meningkatkan kemandirian fiskal
Namun, Sarman Simanjorang menyarankan para kepala daerah agar lebih kreatif dan bekerja keras untuk menggali potensi PAD baru untuk menutupi defisit akibat berkurangnya dana transfer dari pusat ke daerah.
“Para bupati harus lebih aktif menggaet investor, menggerakkan UMKM, memanfaatkan produk unggulan daerah," katanya.
Dalam upaya menarik investor, Sarman menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Penting untuk berkolaborasi dengan berbagai kementerian, seperti Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Perindustrian, serta kementerian terkait lainnya, untuk mengarahkan investor sesuai dengan potensi sumber daya di daerah.
Ia melihat daerah yang masuk dalam kawasan ekonomi khusus (KEK) memiliki potensi besar. Maka, ia mendorong kepala daerah untuk aktif membuka kawasan industri baru serta mempromosikan peluang investasi. "Daerah yang masuk dalam kawasan ekonomi khusus (KEK) memiliki potensi besar untuk meningkatkan PAD dengan masuknya investor," ujar Sarman.
"Daerah yang masuk dalam kawasan ekonomi khusus (KEK) memiliki potensi besar untuk meningkatkan PAD dengan masuknya investor," ujar Sarman.
Ia juga mendorong para kepala daerah untuk proaktif membuka kawasan industri baru yang sesuai dengan potensi lokal dan aktif mempromosikan peluang investasi.
Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), Herman Suparman mengusulkan beberapa inovasi. Ia mendorong perbaikan sistem pemungutan pajak dengan menggunakan platform digital dan merapikan basis data wajib pajak. “Hanya dengan cara itu menurut kami itu bisa meningkatkan pendapatan asli daer,ah daripada retribusi daerah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Herman menambahkan bahwa pemerintah daerah harus memberikan kemudahan dan kepastian investasi terutama di sektor jasa melalui perbaikan perizinan.
Menurutnya, dorongan investasi pada sektor jasa seperti pariwisata dapat meningkatkan pendapatan dari sektor turunan, seperti hotel, restoran, dan hiburan lainnya, sehingga dapat mengoptimalkan pendapatan pajak daerah.
“Di samping itu, kalau investasi naik juga berdampak terhadap Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jual beli tanah dan bangunan ada potensi BPHTB,” jelas Herman yang juga sebagai peneliti tata kelola ekonomi daerah.
Ia mencontohkan beberapa daerah yang telah berhasil mengoptimalkan potensi ekonomi dan pariwisata yang besar, seperti Jakarta, Kota Surabaya, Kota Tangerang, Kabupaten Bandung. Namun, ia menggaris bawahi bahwa kota tersebut tidak dapat dibandingkan dengan daerah-daerah lain karena potensi setiap daerah berbeda.
Herman juga mencontohkan kebijakan insentif fiskal yang diterapkan oleh pemerintah daerah seperti Jakarta dan Jawa Barat.
"Insentif fiskal kepada kepada wajib pajak terkait dengan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), misalnya, dia menghapus denda itu (keterlambatan pembayaran PKB), itu juga mendorong peningkatan pembayaran pajak," jelasnya.
Menurut Herman, hal-hal seperti ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk mendorong peningkatan PAD. Alternatif lain, yakni, memanfaatkan skema pembiayaan non-APBD, seperti kemitraan dengan sektor swasta (public–private partnership) atau optimalisasi aset-aset daerah.