Pergeseran industri penggerak ekonomi dari sektor manufaktur ke sektor jasa berimplikasi signifikan terhadap ketenagakerjaan yang kian informal dan fleksibel. Akademisi mengharapkan aspek tersebut terakomodasi dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan yang digarap pemerintah, selain memperhatikan keluwesan implementasi undang-undang lewat penguatan fungsi pengawasan dan aturan pelaksanaan yang harmonis dan mampu melindungi semua pekerja.
Pembahasan mengenai revisi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan tengah dibahas dalam Rapat Panitia (Panja) Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Komisi IX DPR. Revisi UU ini merupakan amanat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XII/2023.
Dalam rapat Panja revisi UU Ketenagakerjaan, Selasa (18/11/2025) mengemuka empat aspek penting yang menjadi masukan akademisi hukum ketenagakerjaan.
Pertama, paradigma pembaharuan undang-undang ketenagakerjaan yang perlu memperhatikan transformasi karakteristik angkatan kerja. Kedua, implementasi UU Ketenagakerjaan baru yang perlu lebih luwes, dengan memastikan undang-undang baru tidak terlalu melebar dan teknis, serta memiliki perangkat aturan pelaksanaan yang disahkan secara bersamaan.
Ketiga, pengawasan praktik-praktik ketenagakerjaan yang memiliki sejumlah celah, mulai dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tenaga kerja asing, pengupahan, hingga alih daya dan jaminan sosial. Keempat, kualitas ketenagakerjaan yang harus segera ditingkatkan, bersamaan dengan masuknya gelombang baru tenaga kerja muda.
Ketua Umum Perhimpunan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) Agusmidah menyatakan, meluasnya pekerjaan-pekerjaan informal mulai dari pekerja lepas (freelancer), pekerja paruh waktu, pekerja platform digital, hingga pekerja industri rumah tangga membuat struktur hubungan kerja formal dan subordinatif dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan semakin kehilangan relevansinya.
"Pekerja informal dan pekerja platform terjebak positive flexibility karena karakter hukum positif sangat kaku dan sektoral. Padahal, hukum harus menjawab kebutuhan masyarakat yang bukan hanya menginginkan employment law, tetapi labor protection law. Hubungan kerja berdasarkan realitas ekonomi, bukan kontrak," tegasnya.
Baca juga:

Pengajar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriana menegaskan, paradigma pembaharuan Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi tanda kemajuan dalam sejarah hukum yang memberikan perlindungan tenaga kerja.
Namun, Indonesia belum membawa undang-undang tersebut ke fase yang lebih tinggi, yaitu membebaskan pekerja dari ketakutan kehilangan pekerjaan dan mencapai kedudukan hukum yang seimbang, bukan sama, dengan pemberi kerja.
Untuk itulah, Fitriana menjelaskan, perluasan konsep hubungan kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak terlepas dari ketentuan hukum yang perlu lebih adaptif dan dinamis, mengingat penyesuaian norma juga perlu menyesuaikan tantangan yang masih dihadapi saat ini, mulai dari kelayakan kondisi kerja, partisipasi pekerja muda, dan jaminan sosial yang menyeluruh.
"Lingkup pekerjaan saat ini sudah sangat luas, tetapi Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya melindungi pekerja dalam hubungan kerja formal saja. Ketika setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, yang perlindungannya diatur hanyalah pekerja formal, sementara supir ojek online, remote workers, freelance, juga membutuhkan jaminan sosial dan perlindungan selayaknya pekerja lain," cetusnya.
Penerapan di lapangan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Ari Hernawan mengetengahkan, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sejatinya memiliki dua tujuan, yaitu kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan hubungan industrial. Harmonisasi kedua tujuan tersebut, menurutnya, sangat tidak mudah dan perlu perhatian khusus.
"Kita harus lihat apakah masalah terletak pada pengaturan, pelaksanaan, atau penegakan? Jangan-jangan masalahnya ada di pelaksanaan, bukan aturan normatifnya. Pilihannya adalah menciptakan undang-undang yang detail dan komprehensif, tetapi tidak luwes, atau cukup memilah pasal terpenting, dan aturan teknis selebihnya cukup dalam aturan pelaksanaan," kata Ari.
Dua undang-undang ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia saat ini, menurut Ari, relatif gemuk dan tidak luwes, sehingga Putusan MK Nomor 168 yang sangat substansial sampai meminta pelaksanaan putusan dilakukan lewat peraturan menteri, bukan undang-undang. Untuk itu, Ari meminta agar revisi aturan tidak hanya terkait undang-undang, melainkan juga aturan pelaksanaannya.
"Jangan sampai undang-undangnya sudah baru, tetapi aturan pelaksanaannya masih yang lama. Selain adaptif, undang-undang baru juga harus bisa diterapkan dan dampaknya harus dirasakan oleh target groups. Mereka yang terdampak justru harus menjadi yang diberdayakan paling optimal," tegasnya.
Menanggapi masukan para akademisi, anggota komisi dari F-PKS Gamal Albinsaid mengakui, Indonesia sedang menghadapi masalah kualitas ketenagakerjaan secara serius. Ekonomi Indonesia, menurutnya, tumbuh dengan bertumpu dan menghasilkan pekerjaan berkualitas rendah, ditandai kerja yang tidak stabil, upah rendah, dan tanpa jaminan sosial.
"Pengangguran usia 15-24 mencapai 16,62% atau 3,4 kali rata-rata pengangguran nasional. Ini menandai kegagalan mengonversi Bonus Demografi menjadi aset produktif, akibat skill mismatch, kurangnya pelatihan, dan berimplikasi bonus demografi bisa malah jadi beban sosial," ujar Gamal.
Kesenjangan pengupahan, menurut Gamal, menjadi salah satu penyebab angkatan kerja usia muda cenderung bermigrasi ke wilayah kerja dengan upah lebih tinggi, seperti dari Jawa Tengah yang memiliki UMP rata-rata Rp2.100.000 ke Bekasi, Jawa Barat yang memiliki UMP rata-rata hingga Rp5.600.000.
Guna mengatasi itu, Gamal mengajukan kemungkinan penerapan skala upah bertingkat yang membedakan UMP pekerja baru dengan pekerja berpengalaman dan pekerja berketerampilan khusus. Di samping itu, anggota legislatif dari Dapil V Malang Raya itu mengajukan gagasan mengatur kewajiban perusahaan memberi pelatihan kepada pekerja di luar kerangka pemagangan.
Anggota Komisi IX F-PAN Ashabul Kahfi mengungkapkan salah satu aspirasi pekerja alih daya yang dia temui. Pekerja itu sudah bekerja alih daya selama 15 tahun di sebuah perusahaan Korea. Saat anak pekerja itu diterima untuk pekerjaan yang sama di perusahaan tersebut, selisih gaji mereka hanya berbeda Rp20.000. Dengan kata lain, tidak ada penjenjangan karier bagi pekerja alih daya.
Menutup celah-celah seperti itu, praktik pengawasan perlu dilakukan. Dekan Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Imam Budi Santoso menganjurkan, sebelum norma-norma yang bermasalah memicu masalah implementasi, dia merekomendasikan agar DPR-RI memulai revisi dengan mencabut serta mengganti norma bermasalah dengan norma baru yang dapat diterima kedua pihak.
"Celah-celah kerugian pemberi kerja yang masih harus membayar lewat pihak ketiga, pekerja yang menunggu bertahun-tahun dari magang, PKWT, sampai pekerja tetap, hingga jaminan sosial perlu mendasari kelengkapan dalam regulasi nantinya. Sulit, tetapi inilah yang harus benar-benar diusahakan," tukas Imam.
Demi kepastian hukum
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Subchan Gatot menegaskan bahwa dunia usaha tidak mengharapkan peraturan ketenagakerjaan yang terlalu berbelit-belit. Kesederhanaan aturan, menurut Subchan, akan menarik investasi yang membuka lapangan kerja dan memberi kepastian hukum.
"Persoalan yang setiap tahun menjadi masalah seperti upah minimum sebaiknya disepakati secara prinsipal. Perlu diingat, Putusan MK Nomor 168/2023 mengedepankan konsistensi, terutama dalam penerapan asas Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan upah. Karenanya, formula yang kemudian dibuat harus juga menjawab disparitas upah, dengan menyediakan ruang dialog," ucap Subchan.
Guna mencapai konsistensi, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menegaskan, akomodasi kepentingan perlu dilakukan dengan melakukan perbandingan proporsional tentang peraturan ketenagakerjaan dengan negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara. Perbandingan semacam itu akan membuat pertimbangan aturan lebih kontekstual sesuai kebutuhan investor yang akan membandingkan biaya ketenagakerjaan.
"Coba lihat undang-undang ketenagakerjaan di seluruh Asia Tenggara, ada tidak yang se-rigid Indonesia? Mereka lebih fleksibel dan kompetitif, sehingga investasi mudah masuk, dan pekerjaan tersedia. Perlindungan terbaik bagi buruh dan pencari kerja adalah pekerjaan yang layak bagi mereka," ujar Bob.
Selain konsistensi aturan, Agusmidah menimpali bahwa kodifikasi yurisprudensi menjadi penting, yaitu mengintegrasikan norma yurisprudensi ke dalam undang-undang untuk mencegah peninjauan kembali dilakukan terlalu mudah. Dia mengingatkan, sesudah Undang-Undang Cipta Kerja digantikan Perppu, uji materiil masih dilakukan berulang kali, termasuk terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Jangan sampai undang-undang yang direvisi dari hasil uji materi justru dikenai uji materiil kembali. Ini penting demi kepastian hukum dan peraturan pelaksanaan yang dapat diimplementasikan di lapangan," ucapnya.