Keberpihakan pemerintah kepada pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) salah satunya terlihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Dalam aturan tersebut, disebutkan, sebanyak 30% dari fasilitas pubik wajib diisi sebagai ruang UMKM. Hampir 5 tahun setelah beleid itu dirilis, UMKM berharap aturan itu bisa benar-benar ditegakkan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menilai kebijakan pemerintah yang mewajibkan pengelola fasilitas publik menyediakan 30% ruang bagi pelaku UMKM merupakan langkah positif.
Menurutnya aturan itu menunjukkan adanya perhatian negara terhadap pelaku usaha kecil agar memiliki ruang berjualan di berbagai tempat umum seperti stasiun, bandara, maupun rest area.
“Keputusan pemerintah untuk memberikan ruang kepada UMKM itu patut kita apresiasi. Artinya, pemerintah memikirkan UMKM harus diberikan ruang, harus ada tempat mereka berjualan,” ujarnya dihubungi Jumat (31/10/2025).
Meski demikian, Edy menyebut implementasi aturan itu belum berjalan maksimal di lapangan. Beberapa pengelola fasilitas publik, kata dia, belum menyiapkan ruang bagi pelaku UMKM, sementara di tempat lain biaya sewa yang tinggi menjadi kendala utama.
Sebagian pengelola masih berorientasi komersial sehingga harga sewa yang ditawarkan sulit dijangkau oleh pelaku usaha kecil. “Kalau space-nya itu mahal, jangan-jangan kita nombok kalau sewa,” katanya.
Edy juga menyoroti ketentuan pembatasan biaya sewa maksimal 30% dari tarif komersial yang tercantum dalam PP 7/2021. Aturan itu kerap tidak efektif karena harga dasar sewa kerap dinaikkan terlebih dahulu oleh pengelola sebelum memberlakukan potongan.
Edy mencontohkan, jika tarif komersial dinaikkan dari Rp1 juta menjadi Rp3 juta, maka potongan 30% tidak lagi memberikan keringanan berarti bagi UMKM. Kondisi tersebut membuat banyak pelaku usaha kecil kesulitan memasarkan produknya di ruang publik.
Edy mengungkapkan pelaksanaan kebijakan ini berbeda di tiap lokasi. Di sejumlah bandara, ruang usaha lebih banyak diisi oleh pelaku usaha menengah ke atas atau merek-merek besar, sementara UMKM kesulitan bersaing karena keterbatasan modal dan tingginya harga sewa.
Sebaliknya, di beberapa rest area atau terminal, pengelola sudah mulai menyediakan area khusus bagi pelaku UMKM setempat. Edy berharap praktik semacam ini bisa diperluas agar kesempatan berusaha pelaku UMKM lebih merata.
Edy menegaskan pentingnya keberpihakan konkret dari pemerintah dan pengelola fasilitas publik terhadap UMKM. Dia menyarankan agar sebagian ruang usaha diberikan dengan tarif yang lebih terjangkau, bahkan bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.
“Kalau UMKM-nya ambruk, Indonesia juga akan ambruk,” ujarnya.
Menurutnya, jika kebijakan ini dijalankan secara konsisten, dampaknya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah sekaligus membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro, menilai kebijakan penyediaan 30% ruang publik bagi pelaku UMKM dapat membantu memperluas akses pasar dan memperkuat aktivitas usaha kecil.
Banyak pelaku UMKM masih menghadapi kesulitan dalam memasarkan produk dan memperoleh bahan baku, sehingga kehadiran ruang usaha di fasilitas publik bisa menjadi sarana untuk mempertemukan mereka langsung dengan konsumen.
Namun, Mudrajad menilai pelaksanaan kebijakan tersebut belum sepenuhnya berpihak kepada pelaku usaha kecil. Ia menyebut tidak semua pemerintah daerah, kementerian, maupun pengelola fasilitas publik memberikan kemudahan bagi UMKM untuk berjualan di ruang-ruang strategis seperti bandara atau pusat transportasi. Harga sewa yang tinggi, menurutnya, membuat pelaku usaha kecil sulit bersaing dengan perusahaan menengah dan besar.
Keberpihakan kepada UMKM, menurut dia, tidak cukup diwujudkan melalui regulasi semata, melainkan juga melalui dukungan nyata dari pelaku usaha besar. “Gunakan dana CSR agar pelaku usaha besar juga pro terhadap UMKM, jangan hanya kasih UMKM seminar,” katanya.
Menurutnya, penyediaan sebagian ruang usaha dengan tarif ringan atau tanpa biaya akan membantu pelaku usaha kecil bertahan dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah.
Mudrajad menambahkan, UMKM memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi nasional karena sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Sektor ini kerap menjadi tempat bertahan bagi mereka yang terdampak pemutusan hubungan kerja di industri formal. “UMKM itu penyelamat ekonomi kita ketika gelombang PHK terjadi di mana-mana,” ujarnya.
Kembali ditegaskan
Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) A. Muhaimin Iskandar menegaskan seluruh pengelola fasilitas publik wajib menyediakan ruang usaha bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dia mengatakan paling sedikit 30% dari total area fasilitas publik harus dialokasikan untuk UMKM dan pelaku ekonomi kreatif.
“Dalam PP Nomor 7 Tahun 2021 disebutkan bahwa setiap fasilitas publik, baik bandara, terminal, pelabuhan, maupun rest area, harus menyediakan 30% ruang untuk UMKM dan ekonomi kreatif. Itu wajib dijalankan,” ujar Muhaimin di Semarang, Rabu (29/10/2025).
Baca juga:

Ketentuan itu merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan bagi koperasi serta UMKM. Dalam aturan yang sama juga disebutkan pembatasan biaya sewa ruang usaha di fasilitas publik, yaitu maksimal 30% dari tarif komersial. Pemerintah berharap kebijakan ini menjadi langkah afirmatif untuk memperluas akses usaha dan memperkuat posisi UMKM di ruang publik.
Pemerintah berencana melakukan inspeksi mendadak guna memastikan ketentuan tersebut benar-benar dijalankan. Muhaimin menegaskan akan menindak pihak pengelola yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan ruang bagi UMKM. Dia mengingatkan agar seluruh pengelola segera melaksanakan aturan itu sebelum dilakukan peninjauan.
Menurut Cak Imin, sapaan akrabnya, penerapan kebijakan ini merupakan langkah penting dalam membangun ekosistem usaha yang inklusif dan memperkuat daya saing ekonomi lokal. Kehadiran UMKM di ruang publik akan membuka peluang usaha baru sekaligus memperluas akses pasar bagi pelaku ekonomi kreatif.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, sektor UMKM berkontribusi sekitar 60,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah unit usaha mencapai lebih dari 64 juta pada tahun 2025, dengan kontribusi terhadap ekspor nasional sekitar 15,7%.