Di tengah upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi penggerak utama yang menopang hampir seluruh aktivitas ekonomi di daerah.
Kebijakan fiskal seperti dana transfer ke daerah (TKD) kini dipandang bukan sekadar mekanisme pemerataan anggaran, tetapi instrumen penting untuk memperkuat fondasi ekonomi rakyat.
Deputi Bidang Usaha Menengah Kementerian UMKM, Bagus Rachman, menjelaskan pemerintah memandang TKD sebagai salah satu instrumen fiskal paling strategis dalam mendorong pemerataan ekonomi.
"Dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dan dana desa seharusnya tidak hanya menjadi alat transfer anggaran, tetapi juga motor penggerak ekonomi lokal yang produktif dan berkelanjutan bagi UMKM di daerah," kata Bagus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Bagus menguraikan sejumlah langkah strategis yang tengah dijalankan pemerintah, mulai dari reformasi pembiayaan hingga digitalisasi UMKM.
Pemerintah telah menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp217 triliun kepada 3,7 juta pelaku usaha, dengan 60% di antaranya diarahkan ke sektor produktif seperti pertanian, perikanan, dan industri pengolahan.
Selain itu, Kementerian UMKM tengah menyiapkan platform digital terpadu Sapa UMKM untuk memudahkan pelaku usaha mengakses perizinan, pembiayaan, pelatihan, dan promosi produk secara daring.
Bagus menambahkan, sinergi antara TKD dan kebijakan pemberdayaan UMKM diharapkan mempercepat pemerataan ekonomi. Melalui pengelolaan yang inovatif, dana transfer dapat digunakan untuk memperkuat infrastruktur ekonomi lokal, meningkatkan kapasitas usaha, serta memperluas akses pasar dan pembiayaan.
Bagus menyatakan pentingnya kolaborasi lintas lembaga agar pemanfaatan TKD benar-benar berdampak pada produktivitas dan kemandirian UMKM di daerah.
Fiskal sehat
Direktur Sistem Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Subandono, menyampaikan perekonomian nasional tumbuh 5,12% pada semester I/2025, dengan inflasi 2,5% dan defisit APBN 1,56%. Kondisi fiskal yang sehat itu dia anggap penting agar UMKM tetap bisa bertahan dan naik kelas.
Menurutnya, dukungan APBN untuk UMKM terus meningkat pascapandemi hingga mencapai sekitar Rp56,4 triliun pada 2025 melalui belanja kementerian dan lembaga, TKD, subsidi bunga KUR, serta skema pembiayaan UMKM.
Subandono menekankan belanja pusat dan belanja daerah merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dalam menopang UMKM. Isu krusial saat ini adalah percepatan penyerapan anggaran daerah, karena hingga Oktober masih banyak pemerintah daerah dengan realisasi belanja di bawah 60%.
“Kunci berikutnya mempercepat belanja agar uang beredar, likuiditas mengalir, dan ekonomi lokal tumbuh,” ujarnya.
Lebih lanjut, Subandono memaparkan APBD 2024 menganggarkan sekitar Rp1,4 triliun untuk berbagai skema UMKM dengan realisasi Rp1,26 triliun, sedangkan pagu 2025 naik menjadi Rp1,44 triliun namun realisasi sementara baru Rp472 miliar.
Untuk 2026, fokus TKD diarahkan terlebih dahulu memenuhi belanja pokok daerah, sementara program prioritas pemerintah akan dijalankan melalui kementerian dan lembaga terkait dengan melibatkan koordinasi pemerintah daerah.
Subandono juga menyebut adanya dukungan tambahan berupa pembentukan Koperasi Desa Merah Putih senilai sekitar Rp83 triliun, termasuk plafon pinjaman hingga Rp3 miliar, tenor enam tahun, bunga 6%, dan masa tenggang 6 sampai 8 bulan.
Wakil Ketua Umum Bidang Kewirausahaan UMKM Kadin Indonesia, RM Tedy Aliudin, menyoroti kondisi pelaku usaha kecil yang masih didominasi usaha mikro.
Mengutip hasil kajian Kadin, porsi usaha mikro mencapai 99,62% dengan 67,8% UMKM beromzet tahunan di bawah Rp50 juta, serta 31,8% berpendapatan bersih bulanan di bawah Rp1 juta. Tedy menilai situasi ini memperkuat urgensi TKD yang efektif guna menggerakkan ekonomi lokal dan memperbaiki daya saing pelaku usaha di daerah.
Tedy menambahkan penguatan dampak TKD perlu diikuti pembenahan kapasitas UMKM pada tiga sisi utama yakni kompetensi, jaringan pasar, dan permodalan. Dia mendorong implementasi ketentuan belanja pemerintah untuk UMKM sesuai PP 7/2021 minimal 40% serta pengawasan realisasi di pusat dan daerah. “Kebijakannya bagus, regulasinya bagus, tinggal realisasinya,” katanya.
Tinjau Kembali
Namun demikian pendapat berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, yang mengatakan penting untuk meninjau kembali efektivitas dana transfer ke daerah dalam menggerakkan sektor UMKM.
Sekalipun kebijakan mewajibkan 40% belanja pemerintah dialokasikan untuk UMKM, dampaknya di lapangan masih terbatas.
“Kalaupun dibelanjakan 40%, rata-rata nilainya hanya sekitar Rp3 juta per UMKM per tahun. Bagaimana dana sebesar itu bisa benar-benar menggerakkan ekonomi?” ujarnya.
Edy juga menyoroti hambatan akses pembiayaan yang masih dihadapi pelaku UMKM, terutama bagi kredit di bawah Rp100 juta yang semestinya tidak memerlukan agunan.
Menurutnya, banyak bank masih mensyaratkan jaminan sehingga kebijakan yang seharusnya mempermudah UMKM justru sulit diterapkan. Bagi Edy tantangan seperti ini harus segera diperbaiki agar pelaku UMKM bisa memanfaatkan dukungan fiskal secara optimal.
Selain akses pembiayaan, Edy menyoroti keterbatasan infrastruktur di daerah yang masih menghambat transformasi digital UMKM. Ia mencatat masih banyak wilayah yang belum terjangkau layanan internet, sehingga pelaku usaha di tingkat lokal kesulitan memperluas pasar.
“Saat ini ada sekitar 10 ribu desa di Indonesia yang belum terjangkau internet. Bagaimana saudara-saudara saya di desa bisa ikut tumbuh kalau sinyal saja tidak ada?” ujarnya.
Karena itu, dia menilai pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, sebaiknya diarahkan untuk memperkuat rantai pasok dan membantu produk desa menembus pasar luar wilayah, bukan sekadar memenuhi kebutuhan konsumsi lokal.
Dengan demikian, bagi Edy, semangat pemberdayaan yang dibawa melalui program dana transfer ke daerah dapat benar-benar mendorong ekonomi
CEO Investortrust.id, Primus Dorimulu menjelaskan dari empat mesin utama penggerak ekonomi, yaitu konsumsi, investasi, ekspor, dan belanja pemerintah, TKD menjadi salah satu penopang yang paling berpengaruh bagi pelaku usaha kecil di daerah.
Alokasi TKD 2026 ditetapkan sebesar Rp693 triliun, naik Rp43 triliun dari rancangan awal, namun masih turun tajam dibanding 2025 yang mencapai Rp848,5 triliun. Menurutnya kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha daerah karena dapat mengurangi daya gerak ekonomi lokal.
Menurut Primus, sebagian besar UMKM yang berada di luar pusat ekonomi sangat bergantung pada proyek-proyek daerah yang bersumber dari TKD. Penyaluran dana yang lebih efektif akan membantu memperkuat likuiditas perekonomian, menjaga stabilitas usaha kecil, dan membuka ruang ekspansi bagi sektor produktif.
“Di daerah tidak banyak korporasi besar, yang terbanyak adalah usaha mikro dan kecil,” ujarnya.