Pelaku usaha rintisan berbasis inovasi teknologi (startup) pada Selasa (16/12/2025) berharap pemerintah menciptakan kepastian regulasi serta ekosistem pertumbuhan yang lebih ramah sehingga startup dapat lebih leluasa berkontribusi dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%.
Head of Regulatory & Logistech Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Even Alex Chandra mengatakan kepastian regulasi akan membantu startup memperluas sumber pembiayaan, sementara ekosistem yang ramah akan membuka jalan bagi inovasi yang lebih berdampak.
Selama ini, ujar dia, terdapat rumpang pengetahuan cukup lebar mengenai praktik bisnis startup. Ketidakmampuan untuk memahami karakteristik inovasi yang mahal, berisiko, dan butuh waktu lama menyebabkan asumsi kerugian di awal cenderung diproyeksikan hingga beberapa waktu kemudian.
"Padahal prinsipnya, investasi menghidupkan ide. Ide melahirkan inovasi. Inovasi membuka usaha baru, dan inilah yang menciptakan lapangan kerja. Untuk investasi, memang harus berani, selain harus berkesinambungan. Kita tidak bisa pikir sudah kasih investasi tinggal, tidak bisa begitu," ucap Alex dalam diskusi "Strengthening Indonesia's Startup Ecosystem", di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Alex menjelaskan, dampak rumpang pengetahuan mengenai praktik bisnis startup tersebut pada akhirnya memengaruhi karakteristik regulasi startup di Indonesia yang menitikberatkan pada izin dan laporan, bukan pertumbuhan dan sumbangsih konkret perusahaan tersebut bagi penciptaan lapangan kerja berkualitas dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, banyaknya laporan tidak serta-merta menjadi tanda kemajuan, apalagi perkembangan skalabilitas usaha yang bertumbuh.
"Regulasi yang dikira baik ternyata menghambat inovasi dan membuat investor tidak nyaman karena mereka jadi fokus membuat laporan, bukan menggerakkan usahanya. Regulasi ini tidak efektif karena bukan hanya berdampak bagi perusahaan, kementerian/lembaga juga jadi fokus membuat laporan yang positif, bukan menumbuhkan ekosistem," tukasnya.

Apabila karakteristik regulasi seperti itu tidak segera diperbaiki dan ekosistem pertumbuhan yang ramah tak kunjung terwujud, Alex mengkhawatirkan konsekuensi langsung yaitu lesunya pertumbuhan startup, diikuti brain drain talenta-talenta digital Indonesia ke negara-negara yang lebih mendukung dan menghargai mereka. Padahal, talenta digital inilah yang selama ini digadang-gadang sebagai generasi emas.
"Jika negara tidak hadir, talenta pergi, dan negara cuma akan jadi pasar. Selama ini kita mengeluh Indonesia hanya jadi pasar, tetapi kita lupa banyak premis regulasi yang justru 'mengusir' talenta anak bangsa keluar, bahkan sampai mereka tidak mau kembali lagi," cetus Alex.
Karakteristik regulasi yang ramah startup, menurut Alex, terletak pada sinkronisasi data antarkementerian/lembaga agar menghindari informasi yang tumpang-tindih dan tidak konsisten sehingga malah bertentangan saat diimplementasikan. Di samping itu, tata kelola yang adaptif terhadap struktur birokrasi, budaya hukum, dan realitas ekonomi Indonesia lebih dibutuhkan, alih-alih hanya menyalin mentah model regulasi startup dari negara lain.
"Tanpa aturan yang sinkron antarkementerian, sinkron antara pusat dan daerah, cocok antara pangkalan data dan sistem informasi publik, jangan harap investor akan bersemangat mengembangkan startup di Indonesia," pungkas Alex.
Saling mengerti
Menjawab kegelisahan Alex, Ketua Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan Amien Sunaryadi mengakui bahwa pembiayaan startup di Indonesia relatif menyempit, bukan karena ketidakmauan atau kurangnya antusiasme pada usaha rintisan, melainkan karena ketakutan para pelaku startup terjerat pasal pidana tentang kerugian negara yang spekulatif.
Amien menjelaskan, setiap pengeluaran negara untuk pembiayaan tertentu, dalam hal ini startup, diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dengan cara membandingkan input terhadap output yang dihasilkan. Apabila sejumlah keuntungan BUMN atau APBN dikeluarkan untuk membiayai startup, risiko kegagalan dan kerugian harus diperkecil, kalau bukan ditutup sama sekali, sedangkan karakter bisnis startup tidak mungkin tumbuh dengan cara kerja seperti itu.
"Pemerintah harus yakin startup memiliki iktikad baik, sehingga tidak boleh ada conflict of interest, gratifikasi, atau kickback. Kalau suatu pendanaan startup dianggap merugikan negara, perlakukan dulu sebagai keputusan bisnis. Carilah apakah ada mens rea atau tidak. Jika tidak ditemukan, tidak ada alasan untuk memenjarakan pelaku dengan pasal kerugian negara," jelas Amien.
Menurut Amien, hanya dengan perubahan paradigmatik itu, kepercayaan diri BUMN dan APBN untuk membiayai proyek startup akan tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya permintaan pembiayaan dari para pelaku startup yang selama ini takut menerima injeksi dana dari BUMN/APBN karena takut terjerat pasal pidana kerugian negara.
"Yang harus kita musuhi adalah suap, kickback, juga ekstorsi. Suatu keputusan bisnis yang menimbulkan kerugian dan tidak ada niat jahat, tidak perlu dimusuhi. Namanya bisnis, kadang-kadang untung kadang-kadang rugi. Soal berhasil atau tidak, itu dilihat keputusan bisnis, bukan serta-merta kerugian negara," tegasnya.
Berbagi pandangan dengan Amien, Jaksa Ahli Utama Kejaksaan Agung Idris F. Sihite mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 143 negara dalam Rule of Law Index yang diterbitkan World Justice Project.
Indeks yang mengukur tingkat kepatuhan hukum itu menemukan skor Indonesia berada di bawah rata-rata global dan regional, padahal skor tersebut menjadi garansi pertumbuhan ekonomi yang baik, kepastian pemenuhan hak asasi, dan penanganan korupsi yang tegas dan tepat sasaran.
"Hantu kerugian negara adalah hantu yang diciptakan dari apriori pada aparat penegak hukum. Padahal, proses penanganan hukum bersifat mekanis dan tidak tergesa-gesa. Dengan komitmen kepastian berusaha, tidak perlu ada kekhawatiran karena ada formula baku menentukan sejauh mana kerugian timbul dari unsur pidana berdasarkan bukti yang kuat: publikasi asosiasi, laporan, kontrak," jelas Idris.
Di samping menekankan perubahan paradigma aparat penegak hukum, Ketua Umum Amvesindo Eddi Danusaputro mengingatkan agar startup perlu juga membangun tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel sejak dini sebagai budaya perusahaan. Apabila transparansi tersebut diterapkan, setiap pembiayaan dapat dipertanggungjawabkan dalam tata kelola yang berintegritas.
"Isu integritas ini hanya akan bisa selesai jika ekosistem diperbaiki bersama-sama. Amvesindo bergerak memperbaiki governance lewat kerja sama dengan asosiasi modal ventura Singapura, Malaysia, dan Vietnam menyusun maturation map untuk memandu startup menyelesaikan due diligence saat fundraising maupun IPO," tegas Eddi.
Dengan ekosistem pertumbuhan yang mendukung, regulasi yang terarah, dan pelaku startup yang transparan, Eddi meyakini bibit-bibit startup yang saat ini tersebar di berbagai penjuru Indonesia dapat mengakselerasi kapasitas masing-masing untuk menciptakan kontribusi yang nyata menuju pertumbuhan ekonomi 8%.