Survei: 87% UMKM Indonesia Catat Peningkatan Perdagangan Ke Eropa

Sebanyak 87% usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia mengalami kenaikan volume perdagangan dengan Eropa, dengan Belanda, Jerman, dan Prancis tercatat sebagai tiga pasar utama tujuan UMKM Indonesia.

Survei: 87% UMKM Indonesia Catat Peningkatan Perdagangan Ke Eropa
Warga berjalan di tanggul dengan latar belakang bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (7/11/2025). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/bar)

Sebanyak 87% usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia mengalami kenaikan volume perdagangan dengan Eropa, dengan Belanda, Jerman, dan Prancis tercatat sebagai tiga pasar utama tujuan UMKM Indonesia, demikian menurut survei FedEx.

Hal ini menunjukkan peran benua Biru itu semakin besar bagi Asia pasca diterapkannya perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia - Uni Eropa (IEU - CEPA).

Survei Federal Express Corporation (FedEx), perusahaan transportasi ekspres terbesar di dunia melaporkan diantara 100 UMKM Indonesia yang disurvei, 87% melaporkan peningkatan volume perdagangan dengan Eropa.

Kenaikan ini utamanya dipicu oleh permintaan konsumen yang kuat (58%), harga kompetitif (51%), serta strategi ekspor yang terarah (44%).

"Temuan ini menegaskan bahwa Eropa tetap menjadi pasar strategis yang menawarkan peluang pertumbuhan signifikan bagi pelaku usaha Indonesia," demikian laporan Fedex yang dirilis Jumat (21/11/2025).

Peluang pasar tampak dari meluasnya basis pelanggan, karena 42% UMKM memiliki sedikitnya seperempat konsumen mereka berada di negara Eropa.

Selain itu, 88% pelaku usaha menilai prospek perdagangan mereka membaik dan 67% berencana memulai atau memperluas ekspor ke kawasan tersebut dalam satu hingga dua tahun mendatang.

Faktor yang mendorong peningkatan ekspor mencakup permintaan konsumen Eropa yang kuat, harga produk yang kompetitif, serta perluasan operasi ekspor yang dilakukan pelaku UMKM.

"Riset juga menunjukkan 49% UMKM menjadikan transformasi digital sebagai prioritas utama untuk mendukung peningkatan perdagangan. Selain rute tradisional ke Belanda, sebagian pelaku usaha mulai melihat potensi pertumbuhan di Turki," demikian menurut laporan itu.

Meski peluangnya besar, hambatan struktural tetap menjadi tantangan signifikan bagi UMKM Indonesia. Riset mencatat 98% pelaku usaha terdampak gangguan logistik global dan perubahan regulasi yang mempengaruhi kelancaran pengiriman.

Selain itu, 64% UMKM menyebut tarif impor sebagai hambatan terbesar ketika memasuki pasar Eropa karena mempengaruhi margin dan daya saing harga.

Temuan lain menunjukkan UMKM membutuhkan solusi pendukung agar dapat menangkap peluang ekspor dengan lebih kuat.

Sebanyak 38% pelaku usaha mencari solusi logistik yang lebih efisien, sementara 37% membutuhkan teknologi manajemen rantai pasok dan intelijen pasar untuk menavigasi kompleksitas perdagangan Eropa.

Riset juga menunjukkan 57% UMKM mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam memilih layanan logistik, menandakan perlunya penguatan kapasitas dan dukungan kebijakan untuk menghadapi tuntutan pasar internasional.

Furnitur unggulan

Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny membenarkan temuan riset FedEx soal ekspor UMKM ke Eropa meningkat, terutama di Belanda, Jerman, dan Prancis. Pelaku usaha mikro dan kecil memang melihat pasar Eropa lebih potensial dibanding Amerika untuk produk tertentu seperti furnitur. 

Dia juga menegaskan pembeli di Eropa cenderung mempertahankan pemasok yang dapat dipercaya selama kualitas dan ketepatan waktu terjaga. Hermawati menjelaskan loyalitas itu membuat hubungan bisnis berlangsung stabil dari tahun ke tahun.

“Kalau mereka sudah percaya dengan satu supplier, biasanya mereka tetap memakai itu terus,” katanya. 

Hermawati mengakui kerumitan logistik dan regulasi sebagaimana ditunjukkan riset FedEx yang mencatat 98% UMKM terdampak gangguan logistik. Tambahan dokumen, larangan bahan baku, serta aturan kuota negara tujuan, kata dia, tergolong sebagai hambatan utama bagi pelaku ekspor.

Kondisi itu membuat sebagian UMKM harus mencari jalur pengiriman alternatif melalui negara ketiga.

Terkait tarif impor, Hermawati menjelaskan perubahan biaya bahan baku di dalam negeri sering kali mengganggu pelaku UMKM yang terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli luar negeri.

Dia menilai ketidakpastian biaya dan prosedur dapat menggerus margin serta mempengaruhi kelancaran produksi. Dampak kebijakan perdagangan global, menurutnya, juga dapat mempengaruhi rantai hilir seperti produsen bahan baku dan tenaga kerja.

Hermawati menilai UMKM dapat menembus pasar Eropa apabila memiliki keseriusan untuk berkembang dan memahami cara memasarkan produk kepada pembeli internasional. Dia menyarankan pelaku UMKM memanfaatkan platform perdagangan global, meningkatkan keterampilan dalam menyusun spesifikasi produk, memperkuat kapasitas produksi, dan memilih sistem pembayaran yang aman. Menurutnya, kemampuan teknis seperti ini menjadi fondasi penting sebelum memasuki pasar luar negeri.

“Saya berharap pemerintah menyederhanakan prosedur ekspor, memperbanyak edukasi syarat ekspor, dan meningkatkan kualitas SDM pelaku usaha. Kebijakan yang tidak berlapis-lapis itu sangat penting. Pemerintah juga perlu menyediakan akses pasar, misalnya dengan mengundang buyer luar negeri untuk penjajakan bisnis agar UMKM dapat memperluas pasarnya,” katanya.

Sementara itu, Sekertaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menekankan peluang ekspor UMKM hanya dapat dioptimalkan jika pemerintah lebih aktif membuka akses pasar luar negeri.

Perwakilan dagang Indonesia di luar negeri, kata dia, semestinya tidak hanya mencatat data perdagangan, tetapi turut mengidentifikasi produk yang diminati negara tujuan dan menyampaikan kebutuhan pasar kepada pelaku UMKM. Menurutnya, pendampingan yang konsisten diperlukan agar pelaku usaha dapat masuk lebih cepat ke pasar global.

Edy menilai kesiapan pelaku UMKM menjadi faktor penting agar peluang ekspor tidak terlewat, mulai dari kemampuan memenuhi permintaan produk hingga menjaga kualitas yang dapat bersaing di luar negeri. Menurutnya UMKM harus mampu mempersiapkan produk dengan standar yang baik agar pasar merespons positif. “Bagaimana caranya kalau produk-produk yang diminta itu kita persiapkan dengan baik, dengan kualitas terbaik,” ujarnya.

Warga binaan membuat kerajinan jenis furniture dan mebel di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Kelas I Surabaya di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (11/11/2025). (ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz)

Kerjasama dan hambatan

Peneliti ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai optimisme 88% UMKM Indonesia terhadap perdagangan dengan Eropa berkaitan dengan momentum perjanjian dagang yang tengah dirampungkan pemerintah dengan Uni Eropa.

Kesepakatan seperti EU-CEPA dapat membuka ruang bagi pelaku usaha kecil untuk menguji pasar nontradisional. Yusuf melihat dorongan kebijakan semacam ini menjadi salah satu alasan UMKM menilai prospek Eropa cukup terbuka.

Namun Yusuf mengingatkan temuan dalam riset FedEx perlu dibaca dengan hati-hati karena survei hanya mencakup 100 UMKM, jumlah yang terlalu kecil untuk menggambarkan kondisi nasional.

Sebab, menurutnya masih banyak UMKM masih menghadapi hambatan mendasar seperti pendanaan dan sertifikasi ketika ingin menembus pasar ekspor. “Jangankan pasar Eropa, untuk ekspor saja UMKM masih menghadapi kesulitan klasik,” ujarnya.

Yusuf juga menyoroti hambatan UMKM tidak berhenti pada tarif impor sebagaimana tertulis dalam riset, karena hambatan non-tarif justru lebih berat dan jumlahnya jauh lebih besar.

Pasar Eropa menerapkan persyaratan teknis, standar keberlanjutan, sertifikasi ESG, dan ketentuan karantina yang harus dipenuhi sebelum barang dapat masuk. Pemenuhan banyak persyaratan itu menjadi tantangan utama, terutama bagi eksportir berskala kecil.

Tekanan biaya logistik dinilai turut mengurangi daya saing UMKM, terutama ketika harga energi global berfluktuasi dan fasilitas pelabuhan di dalam negeri belum merata. Yusuf menjelaskan kenaikan biaya bahan bakar dapat langsung berdampak pada ongkos pengiriman, sementara pelaku usaha dari, contohnya, wilayah timur Indonesia harus menanggung biaya tambahan karena tidak adanya rute ekspor langsung.

“Kalau seandainya mengalami peningkatan, itu kan juga akan mempengaruhi ongkos kirim yang harus ditemukan oleh para eksportir ke luar negeri,” ujarnya.

Yusuf melihat peluang perluasan pasar dapat muncul dari faktor kedekatan budaya dan religiusitas yang mempengaruhi permintaan, seperti pada hubungan dagang dengan Turki. Ia menilai pendekatan serupa dapat diterapkan pada negara lain yang memiliki karakteristik pasar sebanding, asalkan disertai pemetaan pasar yang lebih akurat.

Market intelligence yang disediakan oleh pemerintah menggunakan data atau analisis dari perwakilan Indonesia di negara-negara tujuan,” ujarnya.