Sudah Saatnya Hilirisasi Tembaga

Indonesia harus segera menyiapkan pembangunan industri tembaga, demikian disampaikan Djoko Widajatno, Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA),

Sudah Saatnya Hilirisasi Tembaga
Photo by Bruna Fiscuk / Unsplash
Daftar Isi

Indonesia harus segera menyiapkan pembangunan industri tembaga, demikian disampaikan Djoko Widajatno, Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), menanggapi rencana tarif 50% atas tembaga impor yang baru diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. 

Harga tembaga langsung melonjak ke rekor tertinggi dalam sejarah yang menimbulkan riak di pasar global. Dalam sehari, harga tembaga naik 3,58%, mencapai level US$5,676 per pon, atau setara dengan sekitar US$12.510 per ton.

Bank of America bahkan memproyeksikan harga akan menyentuh US$5,44 per pon pada 2026, sementara International Copper Study Group memprediksi konsumsi global tahun ini akan menembus 25,88 juta ton.

“Solusinya kesiapan pembangunan industri perlu segera diwujudkan. Membuat alat-alat yang dibutuhkan untuk menuju kemandirian mulai dari industri ketahanan pangan, sampai high end Industry, dari kesehatan sampai peralatan untuk perang modern,” kata Djoko kepada Suar.

Menurut dia, pungutan ekspor konsentrat bukan sekadar pajak, melainkan alat kebijakan untuk:

  • Memaksa realisasi hilirisasi tembaga
  • Menekan ketergantungan ekspor mentah
  • Meningkatkan nilai tambah dalam negeri

Namun, ia mengakui bagi penambang, ini bisa menjadi beban jangka pendek jika tidak disertai kesiapan hilir atau fleksibilitas kebijakan teknis lainnya.

Data ekspor dari Satudata Kemendag menunjukkan bahwa dari Januari hingga April 2024, Indonesia mengekspor bijih tembaga senilai US$2,26 miliar dan produk tembaga serta turunannya sebesar US$781 juta.

Menurut data Asosiasi, sepanjang 2022-2023 sebanyak 97% ekspor bijih tembaga mengalir ke Asia dengan Jepang menjadi negara tujuan utama dengan 760 ribu ton, China (680 ribu ton) dan Korea (530 ribu ton). Selebihnya, ekspor bijih tembaga mengalir ke Taiwan, India, Malaysia dan Eropa.   

Sementara itu, perusahaan operator tambang tembaga, seperti Freeport Indonesia, sudah memprediksi atas kebijakan ini. Perusahaan induk PT Freeport Indonesia, MIND.ID sudah melakukan langkah antisipasi, dengan langkah kerjasama business to business.

"Kami tahu kemungkinan pasar akan mengecil dan harga bisa tertekan. Maka langkah kami adalah menguatkan long term contractdan mengurangi eksposur terhadap pasar spot,” kata Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo dalam jumpa pers di Jakarta, 17 April 2025 seperti dikutip Warta Ekonomi.

Dilo menegaskan, strategi ini terbukti efektif dalam menjaga pendapatan holding industri pertambangan negara tersebut, sekaligus menghindari volatilitas pasar global. Selain kontrak panjang, efisiensi biaya operasional menjadi fokus utama setiap entitas anak perusahaan di bawah MIND ID.

Tak berpengaruh besar

Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengatakan Indonesia tidak akan terlalu berdampak besar dalam kenaikan tarif ini karena Indonesia bukan merupakan negara manufaktur hilirisasi tembaga. “Indonesia masih konsern ke mineral lain seperti nikel, sehingga tidak termasuk yang berdampak,” ujar dia. 

Rantai pasok tembaga merupakan jaringan kompleks yang besar dan melibatkan beberapa tahapan mulai dari penambangan, pemrosesan hingga manufaktur dan distribusi. 

Tembaga merupakan logam yang banyak digunakan untuk berbagai industri, termasuk konstruksi, elektronik dan transportasi. 

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, kebijakan Presiden Trump terkait tarif impor tembaga sebagai langkah keliru. Ia menyebut, alih-alih menguntungkan, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang bagi Amerika Serikat.

Karena sekitar 50 persen kebutuhan tembaga nasional negeri Paman Sam ini masih bergantung pada pasokan dari luar negeri. "Langkah ini bisa menjadi kesalahan besar bagi AS, mengingat setengah dari konsumsi tembaganya masih bersumber dari impor," ungkap Bhima.

Konsekuensinya, sektor industri yang menggunakan tembaga sebagai bahan baku utama akan terdampak langsung. Permintaan yang terus meningkat akan memberikan tekanan pada rantai pasok yang ada untuk memenuhi permintaan tersebut. 

Ia menyarankan, Indonesia perlu mengalihkan fokus ekspor konsentrat tembaga ke negara lain di luar Amerika Serikat, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, yang selama ini menjadi pasar utama.

"Strategi selanjutnya adalah memperluas akses ekspor ke pasar alternatif. Dengan lonjakan harga tembaga yang hampir pasti terjadi, Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru membuka keran impor tembaga mentah," ujarnya.