Jenis motor skutik jadi jenis motor yang paling banyak dibeli dan digunakan konsumen Indonesia dari tiap generasi mengalahkan jenis motor lainnya seperti bebek dan sport. Kepemilikan motor skutik jadi yang tertinggi di tiap generasi baik dari Generasi X, Milenial, dan Generasi Z. Kemudahan berkendara jadi alasan skutik jadi favorit
Riset Jakpat berjudul "Behavior and Preferences of Motorcycle Users and Buyers" yang dirilis 3 November 2025, menunjukkan, motor skutik jadi pilihan 70% responden milenial, 59% generasi X, dan 43% generasi Z untuk urusan mobilitas. Ini lebih tinggi ketimbang motor underbone bike yang jadi pilihan 26% responden milenial, Gen X sebanyak 32%, dan generasi Z sebanyak 24%.
Data Jakpat memperlihatkan skutik menjadi tipe motor yang paling banyak dimiliki oleh pengguna lintas kelompok usia. “Skuter tetap menjadi pilihan paling umum bagi mobilitas perkotaan.”
Honda BeAT menempati posisi teratas dengan tingkat kepemilikan 43% dari seluruh pemilik motor. Pada rencana pembelian berikutnya, 53% calon pembeli juga memilih skutik sebagai pilihan utama.
Riset ini juga menyebutkan, sebanyak empat dari lima responden tercatat memiliki setidaknya satu unit motor. Di antara responden yang belum memiliki motor sebanyak 43% menyebut pengeluaran lain menjadi prioritas utama. “Prioritas keuangan tetap menjadi alasan terbesar seseorang belum memiliki motor,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, hampir 20% responden masih mengandalkan motor milik keluarga atau teman untuk kebutuhan mobilitas harian. Pola ini juga terlihat di kelompok Gen Z yang belum seluruhnya memiliki motor pribadi.
Merespons temuan riset itu, Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda motor Indonesia (AISI), Sigit Kumala, menyebut dominasi skutik memang sejalan dengan data penjualan industri yang dihimpun AISI.
“Dalam penjualan sepuluh tahun terakhir, scooter matic itu mendominasi sekitar 95%,” ujar Sigit.
Menurut Sigit, kuatnya pasar skutik tidak lepas dari perubahan perilaku konsumen yang menginginkan kendaraan yang lebih praktis bagi mobilitas sehari-hari. Skutik dipilih karena tidak memerlukan operan gigi dan mudah digunakan di berbagai kondisi jalan.
“Konsumen sekarang itu tidak mau repot, tinggal gas sama rem saja,” katanya. Tren ini paling kuat, menurutnya, terjadi di kota-kota tempat mobilitas harian cenderung padat, sejalan dengan lokasi survey Jakpat di wilayah perkotaan.
Sigit juga melihat tren skutik akan tetap kuat selama tidak ada terobosan teknologi yang menggeser pola konsumsi saat ini. Dominasi skutik akan bertahan pada level sekitar 95% jika belum ada inovasi teknologi yang menawarkan pengalaman berkendara berbeda.
Selain itu, berdasarkan data AISI, angka penjualan industri sepeda motor pada posisi akhir Oktober tumbuh 0,2% secara tahunan atau year on year.
Terkait temuan Jakpat 80% calon pembeli berencana membeli motor secara tunai, Sigit mengatakan preferensi itu tidak sepenuhnya terlihat dalam data industri.
Berdasarkan catatan AISI, pada 2024 penjualan melalui kredit masih berada di kisaran 60 sampai 65%. Sigit menilai pembayaran tunai maupun kredit sama-sama memberikan kontribusi positif bagi industri.
Minat dan Daya Beli Gen Z
Manajer Riset Strategis Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai tingginya minat pembelian motor di kalangan Gen Z mencerminkan struktur demografi Indonesia yang saat ini memang didominasi kelompok usia muda. Kelompok Gen Z dan Milenial adalah segmen terbesar penduduk produktif. “Jadi ya wajar kalau banyak survei termasuk survei Jakpat itu menampilkan bagaimana Gen Z begitu dominan,” katanya
Menurut Yusuf, salah satu hal yang perlu dicermati dari survei Jakpat adalah absennya variabel pendapatan dalam pengukuran minat membeli motor. Informasi itu penting untuk melihat daya beli aktual dan memastikan apakah minat pembelian sejalan dengan kemampuan finansial. Yusuf menyebut alasan tidak memiliki motor yang muncul dalam survei, seperti prioritas pengeluaran lain sebesar 43%, kemungkinan berkaitan dengan kondisi ekonomi tiap kelompok pendapatan. “Harusnya turut dihitung,” ujar Yusuf.
Yusuf juga mengingatkan adanya risiko perilaku konsumsi impulsif di kalangan Gen Z ketika beli motor. Dia menyinggung fenomena lipstick effect, yakni kecenderungan membeli barang tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar. “Ini yang sebenarnya perlu diwaspadai,” kata Yusuf. Literasi keuangan kelompok muda, menurutnya, belum sepenuhnya matang, sehingga keputusan membeli motor bisa menimbulkan beban finansial jika tidak disesuaikan dengan kemampuan.
Menanggapi temuan Jakpat bahwa 80% calon pembeli ingin membayar motor secara tunai, Yusuf menilai fenomena ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, pembayaran tunai bisa berarti konsumen ingin menghindari bunga kredit dengan menabung lebih dulu. Namun menurutnya, ada kemungkinan pembayaran tunai dilakukan dengan dana pinjaman pribadi, yang bisa memunculkan risiko finansial baru. “Jangan sampai dibeli tunai ini karena misalnya meminjam ke orang,” ujar Yusuf.
Jakpat menemukan sebanyak 69% pemilik motor menggunakan kendaraannya untuk aktivitas rutin harian seperti berangkat kerja, sekolah, belanja, atau mengantar anggota keluarga. Sekitar sepertiga responden menempuh jarak harian antara 5 sampai 10 km. Riset itu turut mencatat adanya kelompok pengguna yang memanfaatkan motor untuk perjalanan jarak jauh.
Menurut Yusuf, preferensi tinggi terhadap motor juga berkaitan dengan keterbatasan akses transportasi publik di banyak kota. Banyak kawasan penyangga Jakarta seperti Depok, Bogor, dan Bekasi belum memiliki konektivitas yang optimal menuju jaringan transportasi umum, sehingga biaya menuju titik angkutan sering lebih tinggi dibanding membawa motor pribadi. “Daripada repot harus membayar ojek ke titik transportasi umum, mendingan sekalian saja bawa motor,” ujarnya.
Pengamat industri otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai Gen Z sebagai segmen paling agresif karena sebagian besar kendaraannya masih dibelikan orang tua. Menurutnya, mobilitas harian yang tinggi membuat motor baru terasa rasional bagi kelompok ini karena harganya terjangkau, irit, dan mudah dirawat. “Desain stylish, warna personal, konektivitas ke smartphone, sampai smart key menjadikan motor perpanjangan identitas pribadi mereka,” ujar Yannes. Fenomena doom spending, kata dia, turut mendorong sebagian Gen Z membeli motor sebagai bentuk penghargaan untuk diri sendiri.
Dalam pemasaran, Yannes melihat industri motor harus menyesuaikan diri dengan pola konsumsi digital Gen Z. Brosur dan billboard tidak lagi cukup karena konsumen muda mengandalkan review, komparasi, dan pengalaman harian kreator di internet.
“Begitu satu kreator memberi penilaian positif, algoritma YouTube dan TikTok akan mendorong produk itu masuk ke daftar pendek calon pembeli muda,” kata Yannes.
Gen Z memang menonjol dalam pola pencarian informasi sebelum membeli motor. Riset Jakpat menunjukkan lebih dari 50% responden pada keseluruhan sampel mengandalkan kanal digital seperti ulasan YouTube, konten kreator otomotif, media sosial, dan review daring. Rekomendasi orang terdekat disebut oleh kurang dari separuh responden sebagai sumber informasi.
Riset Jakpat menunjukkan dalam pemilihan bengkel, mayoritas pengguna motor lebih memilih bengkel non-resmi. Alasannya beragam mulai dari jarak yang lebih dekat dengan tempat tinggal, biaya yang lebih terjangkau, hingga waktu pengerjaan yang dinilai lebih cepat dibanding bengkel resmi. Temuan ini menegaskan bahwa faktor kemudahan akses dan efisiensi biaya menjadi pertimbangan utama bagi banyak pengguna motor.
Ihwal itu, Yannes mengatakan pilihan Gen Z terhadap bengkel non-resmi didorong kebutuhan untuk menekan pengeluaran harian dan menghemat waktu. Pekerjaan ringan seperti ganti oli atau pengecekan rem dianggap tidak perlu selalu dilakukan di bengkel resmi jika biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi. “Jaringan bengkel resmi sering dicap mahal sebelum sempat menjelaskan manfaatnya,” ujar Yannes.
Dalam satu tahun terakhir, temuan Jakpat menunjukkan 32% pemilik motor mengganti suku cadang atau menambah aksesori sebanyak 2 sampai 5 kali. Komponen yang paling sering dibeli adalah ban dan velg, disusul sistem lampu, jok, serta rantai dan gear. Sebagian besar penggantian dilakukan karena kerusakan, sementara sebagian lainnya bertujuan meningkatkan kenyamanan atau performa.
Yannes menilai kebiasaan mengganti parts atau aksesori menunjukkan motor telah menjadi media ekspresi sekaligus alat mobilitas yang dipakai intens setiap hari. Menurutnya, ban dan velg menjadi fokus utama karena terkait kenyamanan, gaya berkendara, dan kebutuhan tampil berbeda saat mengunggah foto motor di media sosial. “Pasar parts dan aftermarket tumbuh dari siklus fashion dan gaya hidup,” ujarnya.