Harapan Masuk Global Supply Chain lewat Perdagangan Bebas Eropa

Indonesia diharapkan menjadi pemain penting dalam rantai pasok global, terutama di sektor energi terbarukan seperti kendaraan listrik (EV) dan investasi hijau.

Harapan Masuk Global Supply Chain lewat Perdagangan Bebas Eropa
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Perjanjian Luar Negeri KADIN Indonesia,Pahala Mansury (kiri memegang mic), dan sejumlah pejabat lainnya seperti Djatmiko Bris, Donald Situmorang, dan Anne Patricia Sutanto berdiskusi dalam sesi I gelaran diskusi publik yang diselenggarakan Kadin Indonesia (04/08). Foto: Dian Amalia/SUAR.

Ratusan dokumen, belasan forum resmi sudah dilakukan. Sejak Juli lalu pemerintah telah melaksanakan pertemuan demi pertemuan dengan delegasi Uni Eropa, baik daring maupun tatap muka, digelar nyaris tiap pekan untuk merapikan semua pasal.

Semua kerepotan tersebut akhirnya membuahkan hasil: finalisasi Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU‑CEPA) bisa tercapai.

Perjanjian yang diklaim bukan sekadar janji dagang ini diharapkan menjadikan Indonesia pemain penting dalam rantai pasok global, terutama di sektor energi terbarukan seperti kendaraan listrik (EV) dan investasi hijau.

“Kayaknya enggak boleh ditunda-tunda lagi, deh. This is the right momentum, the best momentum,” kata Djatmiko Bris Witjaksono, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (04/08/2025).

Bagi Indonesia, tembusnya perjanjian ini ibarat mendapatkan tiket emas menembus salah satu pasar paling ketat di dunia dengan populasi lebih dari 700 juta jiwa.

"IEU benar-benar tertarik, berkomitmen investasi di renewable energy, EV (electronic vehicle), ICT (information, communication, and technology), dan farmasi,” jelas Djatmiko.

Setelah berlaku nanti, pemerintah menargetkan hampir 99 persen produk ekspor Indonesia ke Eropa bakal mendapat preferensi tarif 0 persen.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Perjanjian Luar Negeri Kadin Indonesia, Pahala Mansury, mengatakan, perjanjian kerjasama ini akan membuka jalan Indonesia dalam mengurangi ketergantungan ekspor Indonesia ke pasar China.

"Dari 25 bab yang disepakati, salah satunya soal langkah konkret agar pelaku usaha, terutama UMKM mampu menembus standar ketat Eropa mulai dari sertifikasi produk, keberlanjutan, hingga keamanan produk," ujar dia.

Pemerintah menargetkan akan menyepakati perjanjian IEU–CEPA pada akhir September. Diperkirakan setelah proses legal dan ratifikasi domestik berjalan selama 6 bulan, perjanjian tersebut akan ditandatangani paling lambat kuartal II–III 2026.

Panggung utama

Wakil KetuaUmum Kadin Bidang Luar Negeri, James T Riady, mengatakan pembangunan ekosistem industri hijau nantinya juga akan berfokus pada transfer teknologi dan pembangunan kapasitas.

“Kita enggak mau cuma jual nikel mentah. Target kita menjadi bagian global supply chain, produksi baterai, komponen EV, bahkan mobil listrik,” kata James.

James Riady memberikan pidato penutupnya di sesi I diskusi publik bertajuk "Mengupas dan Mengimplementasikan Jalur Perdagangan Bilateral: Indonesia-UE dan Indonesia-AS"

Menurut dia, beberapa produsen Eropa sudah menunjukkan ketertarikannya. Antara lain Eramet, perusahaan Prancis yang sudah memulai produksi di Indonesia.

Perusahaan lainnya, seperti Schneider Electric, menargetkan peningkatan kapasitas perakitan peralatan listrik dan Volkswagen.

“Indonesia punya critical minerals yang mereka butuhkan. Tapi kunci keberhasilan ada pada hilirisasi, transfer teknologi, dan kepatuhan standar hijau,” tambah James.

James menyebutkan sejumlah tantangan dalam menghadapi pasar Eropa, seperti syarat jejak karbon rendah, traceability, dan kepatuhan penuh pada protokol keberlanjutan, yang belum tentu dipahami pelaku industri.

“Ini kesempatan langka. Kita enggak mau cuma jadi penonton,” tegas James.

Kesepakatan dagang IEU–CEPA bukan hanya membuka jalan bagi tekstil dan furnitur, tapi juga produk rendah karbon seperti baja. Industri baja domestik kini punya peluang menembus pasar Eropa yang semakin menuntut standar keberlanjutan, terutama dari sektor otomotif, konstruksi, dan elektronik.

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Celios, peluang ini akan benar-benar terasa jika pemerintah menyiapkan insentif yang tepat.

“Misalnya pemberian diskon tarif listrik bagi industri baja yang beralih dari blast furnace ke teknologi electric arc furnace (EAF) untuk menekan emisi karbon,” kata Bhima kepada SUAR melalui keterangan tertulis daring, Senin (14/07).

Selain insentif, ia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam membuka akses pasar melalui jalur diplomasi. “Perlu ada fasilitas diplomasi dagang yang membantu matching antara produsen baja kita dengan calon pembeli di Eropa,” ujarnya.

Tak kalah penting, menurut Bhima, adalah skema pembiayaan yang lebih murah untuk mendorong investasi di sektor baja berorientasi ekspor. “Pinjaman berbunga rendah bisa mempercepat transformasi industri baja jadi lebih hijau dan kompetitif di pasar global,” tutupnya.

Selama ini Indonesia dan Malaysia, sebagai pengekspor sawit terbesar di dunia, menganggap Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi perdagangan. Sebaliknya, mereka pun mempertanyakan dampak produksi sawit terhadap lingkungan.

Pembukaan lahan kelapa sawit dikritik kerap kali menyebabkan deforestasi dan pembalakan liar serta menyebabkan hilangnya habitat berbagai hewan.