Setahun mengemban kepercayaan rakyat, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tengah gencar mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% pada tahun 2029, salah satunya dengan memangkas segala hambatan dalam investasi swasta.
Sejumlah pakar dan pengusaha mengharapkan implementasi dari penghapusan segala hambatan berbisnis bisa dilaksanakan transparan dan menyeluruh demi terciptanya iklim usaha yang benar-benar ramah dan efisien.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Daerah dan Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto mengatakan langkah-langkah reformasi dan deregulasi akan terus didorong agar perekonomian tumbuh efisien.
"Melalui keanggotaan Indonesia dalam BRICS, IEU-CEPA, dan ICA-CEPA, pemerintah berkomitmen memperkuat ekspor dan memperluas diversifikasi pasar produk-produk Indonesia di mancanegara," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Sementara itu, di dalam negeri, paket-paket stimulus ekonomi yang diluncurkan secara bertahap, beserta program magang untuk 20.000 sarjana anyar yang mulai dilaksanakan pada Senin, 20 Oktober 2025, diharapkan akan menolong kelas bawah dan mendukung daya beli kelas menengah agar dapat menggeliat serentak.
"Kita harus selalu menjaga optimisme dan kita juga wajib membuka komunikasi yang jelas dan terbuka dengan publik. Oleh karena itu, forum ini diselenggarakan untuk mendengarkan pandangan dan gagasan dari semua yang hadir tentang capaian dan prospek ekonomi ke depannya," ujar Haryo.
Jangan ada dusta
Dengan rekam jejak pertumbuhan kuartal kedua mencapai 5,12% dan inflasi yang terjaga 2,65% YoY, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang konsumsi dan investasi domestik hingga 82% terbukti tangguh menghadapi fluktuasi ekonomi dunia sepanjang 2025.
Meski kinerja ekonomi yang melampaui ekspektasi itu menjadi dasar untuk tetap optimistis, dunia usaha tetap tidak dapat menutup mata terhadap fakta-fakta yang ada, mulai dari kenaikan PHK hingga 32% dari periode yang sama tahun lalu, turunnya penjualan kendaraan bermotor ritel hingga 9,5%, dan indeks keyakinan konsumen turun menjadi 118,1 di bulan Juli.
Wakil Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto mengungkapkan, tantangan bagi dunia usaha saat ini bersifat struktural dan harus dihadapi bersama-sama, mulai dari ketersediaan lapangan kerja formal, mendukung investasi di sektor padat karya, hingga kemudahan berusaha yang dijanjikan dalam deregulasi.
Menurut Anne, selama ini dunia usaha didorong siap berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, padahal dunia usaha sudah lebih dari siap untuk itu. Namun, kesiapan juga memerlukan kesepakatan soal produktivitas dan efisiensi untuk mengatasi masalah seperti suku bunga pinjaman yang mencapai 8%-14% dan cost of fund yang sangat tinggi, padahal upgrading dan upskilling membutuhkan modal yang tidak kecil.
Anne melansir sejumlah data-data yang memprihatinkan. Dalam temuan Apindo, 61,26% pelaku usaha kesulitan memperoleh kredit. Harga listrik industri di Indonesia mencapai USD 0,099/kWh, jauh lebih tinggi dari negara ASEAN lain. Perusahaan asing butuh 65 hari untuk mendaftar, sementara pengalihan kepemilikan properti bisa sampai 90 hari. Jika ada sengketa di pengadilan, waktu menunggu keputusan bisa 150 hari, padahal waktu ideal bisa kurang dari 7 hari.
"Dalam deregulasi, mohon tidak ada dusta di antara kita. Percuma jika didukung likuiditas, suku bunga turun, dan stimulus kalau masih ada dusta dalam deregulasi dan perizinan. Kemarin, dengan penetapan PP 28/2025, kita sudah senang, tetapi belum dirasakan sampai sekarang. Padahal, pemerintah daerah tinggal bertanya apa yang harus dilakukan ke pemerintah pusat untuk eksekusinya," ucap Anne berterus-terang.
Saat ini, menurut Anne, dunia usaha memiliki empat resep untuk berkontribusi bagi pertumbuhan, yakni ketahanan terhadap guncangan, relevansi yang mengantisipasi masa depan, inovasi yang meninjau kembali cara-cara penciptaan nilai, dan tanggung jawab untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Wakil Presiden Direktur Pan Brothers itu tidak memungkiri bahwa selama 10 tahun terakhir, investasi bergerak ke arah sektor padat modal, padahal dua presiden menegaskan bahwa pilar pertumbuhan Indonesia adalah industri padat karya.
Over regulasi ketenagakerjaan, ujar Anne, menjadi salah satu penyebab sumber daya manusia Indonesia tidak tersalurkan maksimal ke dalam industri bernilai tambah tinggi.
"Over-regulated is not always good thing. Pemerintah harus ada untuk rakyat, tetapi rakyat juga harus gotong-royong. Kita harus yakin terhadap diri kita sendiri, agar ekonomi jangan hanya 'lepas landas', tetapi kalau bisa juga 'terbang bolak-balik'," tandas Anne.
Baca juga:

Upgrade semua mesin
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan BUMN Kemenko Perekonomian Ferry Irawan mengungkapkan, kebijakan ekonomi pemerintah mencakup strategi agregat pada sisi permintaan maupun penawaran. Dari sisi penawaran, kebijakan agregat dilakukan dengan meningkatkan likuiditas, dukungan infrastruktur, deregulasi, serta dukungan insentif pajak untuk bisnis.
Sementara itu, dari sisi permintaan, kebijakan agregat dilakukan dengan membuka blokir pos-pos anggaran APBN yang diefisiensi, mempercepat belanja kementerian/lembaga, serta memberikan Anggaran Tambahan untuk program stimulus dan diskon transportasi akhir tahun untuk KAI, Pelni, ASDP, dan berbagai maskapai udara untuk memudahkan mobilitas akhir tahun.
"Artinya kami tidak hanya menyasar desil bawah, tetapi juga memperhatikan kelas menengah. Lapangan kerja formal kami siapkan, sementara untuk wirausaha tersedia Kredit Usaha Rakyat sebesar Rp282,7 triliun, kredit alat dan mesin pertanian Rp199,42 miliar, dan kredit padat karya Rp754 miliar," cetus Ferry.
Sementara itu menurut ekonom senior dan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian Raden Pardede, menunjukkan adanya capaian yang harus diapresiasi, dengan target-target yang jelas.
Potensi besar dari komoditas terbukti membuat ekonomi Indonesia tumbuh lebih cepat dari negara-negara lain, tetapi ketergantungan dapat membuat pertumbuhan tersebut fatamorgana.
"Mesin ekonomi harus kita upgrade, karena kalau mesinnya bagus, bahan bakar akan lebih efisien. Belajarlah dari negara lain yang memiliki komitmen politik, kontinuitas perencanaan, progress teknologi, dan memanfaatkan momentum. Anggaplah sumber daya alam sebagai bonus, bukan mesin utama ekonomi kita," tegas Pardede.
Berbagi pandangan dengan Pardede, Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menjelaskan, sektor-sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap ketenagakerjaan perlu didorong, meski memiliki kemampuan recovery cukup rendah terhadap ekonomi pascapandemi. Karenanya, upaya debottlenecking tidak hanya harus dilakukan lewat deregulasi, melainkan juga aspek teknis.
"Kenapa kredit perbankan tidak tumbuh? Cost of fund tinggi, cost of financing tinggi. Swasta jadi enggan menarik kredit ke perbankan, antara lain karena UMKM kita pernah mengalami kredit macet akibat Covid-19 sehingga tidak bisa meminjam modal. Isu-isu teknis seperti ini juga harus masuk dalam kerangka debottlenecking," jelas Sunarsip.
Saat ini, menurut Sunarsip, pemerintah telah berhasil menemukan rumus untuk mendorong efektivitas ekonomi lebih besar, mulai dari injeksi likuiditas hingga kemudahan perizinan. Situasi ekonomi global yang jauh lebih membaik dari 3-4 bulan lalu menurutnya jadi momentum yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Ekonomi, perdagangan, dan geopolitik sudah jauh lebih baik. Ruang untuk bertumbuh di tahun 2026 sudah cukup besar, tinggal kita perbaiki dengan debottlenecking dan menurunkan rasio ICOR untuk mendorong korporasi membawa investasi lebih besar lagi," pungkas Sunarsip.