Industri properti adalah bisnis yang memerlukan perencanaan jangka panjang. Karena itu regulasi yang dibuat pun juga perlu berorientasi jangka panjang. Namun menurut mantan Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang kini menjabat sebagai Penata Kelola Bangunan Gedung dan Kawasan Permukiman Ahli Utama, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), kebijakan pemerintah di sektor ini kerap muncul tiba-tiba dan tidak dirumuskan dalam kerangka jangka panjang.
Menurutnya, dunia perumahan tidak bisa diperlakukan seperti proyek pemerintah yang menunggu tersedianya APBN. “Bisnis ini investasi jangka panjang,” tegasnya. Bagi pengembang, investasi dimulai dari pembebasan tanah, pembiayaan, hingga memetakan siapa calon pembelinya.

Fluktuasi mendadak, seperti suku bunga, aturan, hingga wacana baru, dapat mengganggu seluruh siklus. Ia memberikan contoh, saat pemerintah meluncurkan wacana ‘rumah gratis’ pada akhir 2024, banyak calon pembeli menghentikan proses kredit. “Orang mau angkat kredit kan batal semua, menunggu rumah gratis. Itu kontraproduktif, pengembang pada teriak,” katanya
Inilah pentingnya rencana strategis (renstra). Dokumen ini bukan sekadar perencanaan, melainkan kompas bagi pemerintah, pasar, dan pelaku usaha. Menghadapi keterbatasan APBN, SDM, maupun kapasitas kendali, Iwan menyebut pemerintah harus fokus pada tiga peran utama.
Pertama sebagai regulator dengan menciptakan aturan yang mempermudah perizinan, investasi, dan akses perumahan. “Regulasi yang baik, membuat pasar percaya diri,” katanya.
Pemerintah juga perlu mengambil peran sebagai fasilitator. Peran ini mencakup bantuan teknis, subsidi bunga, keringanan pajak, jaminan pemerintah untuk proyek tertentu, hingga insentif bagi kelompok berpendapatan rendah.
Selain itu, pemerintah perlu melibatkan pihak non-negara, seperti CSR perusahaan, lembaga zakat, bahkan ormas, untuk membantu pembiayaan rumah rakyat.
Pemerintah dalam sektor ini juga bisa menjadi operator. Peran ini ditempuh jika negara harus turun tangan langsung, misalnya membangun rumah susun murah untuk masyarakat desil terbawah
Tak tak kalah penting Pemerintah dalam sektor ini juga bisa menjadi operator. Peran ini ditempuh jika negara harus turun tangan langsung, misalnya membangun rumah susun murah untuk masyarakat desil terbawah, rumah khusus untuk korban bencana, atau hunian bagi warga terdampak proyek nasional.
Namun peran operator mahal dan terbatas oleh anggaran. “Di titik itulah peran fasilitasi menjadi lebih penting,” kata Iwan.
Tantangan tak hanya datang dari sisi permintaan
Dari sudut pandang pengembang, tantangan dalam penyediaan rumah subsidi tidak hanya soal daya beli dan penyaluran KPR, tetapi juga regulasi yang bertumpuk di sektor pertanahan dan tata ruang.
Menurut Bambang Ekajaya, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia, konsep hunian berimbang, yang mengharuskan pengembang menyediakan kombinasi rumah sederhana, menengah, hingga mewah dalam satu kawasan, nyaris mustahil diterapkan oleh pengembang rumah subsidi.
Keterbatasan harga tanah membuat model ini tidak realistis. “Hunian berimbang ini agak sulit terealisasi, terutama terkait rumah subsidi atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Ekspansi pasti ke pinggir karena harga tanah tak mungkin dijangkau bila dekat rumah menengah atau mewah,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa yang paling dibutuhkan saat ini bukan pemaksaan hunian berimbang, melainkan apresiasi terhadap pelaku usaha yang membangun rumah subsidi. Mereka adalah pihak yang selama ini memenuhi kebutuhan dasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). “Yang penting adalah pemerintah memberikan apresiasi terhadap pelaku pengembang rumah subsidi, sehingga masyarakat yang belum punya rumah ini bisa terpenuhi,” tambahnya.
Namun persoalan tak berhenti di situ. Banyak pengembang kini terjebak oleh perubahan penetapan kawasan, khususnya terkait Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Bambang menjelaskan bahwa sejumlah pengembang sudah melakukan pembebasan lahan sesuai RTRW, bahkan sudah mengantongi izin, membangun unit, dan memasarkan perumahan. Namun tiba-tiba lahan tersebut digolongkan sebagai LSD, sehingga proses balik nama dan legalitas lainnya mandek di pertanahan.
“Saat dibebaskan, asalnya lahan untuk alih fungsi. Tapi setelah dibangun, justru hambatannya diplot menjadi lahan sawah dilindungi. Balik Namanya belum bisa berjalan,” ujarnya.
Karenanya, ia berharap pemerintah pusat bisa menata kembali regulasi secara lebih adil. Pengembang, menurutnya, justru meningkatkan produktivitas lahan dengan mengubah area tidak produktif menjadi pemukiman yang menyediakan lapangan pekerjaan. Namun dengan regulasi yang berubah-ubah, pengembang seolah ditempatkan sebagai pihak kedua dalam kebijakan pembangunan. “Kami masih diposisikan sebagai kelas dua, padahal kami yang bersusah payah, berkeringat, melakukan konsolidasi untuk membangun rumah subsidi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keadaan pengembang rumah subsidi berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi rakyat. Tenaga kerja yang direkrut sebagian besar bukan pekerja bersertifikasi, tetapi masyarakat sekitar yang bisa digerakkan dan dilatih. Aktivitas pembangunan perumahan MBR ini, menurutnya, adalah salah satu jalur penting untuk mengurangi kemiskinan sekaligus memberikan pemasukan pajak bagi negara.
Bambang menekankan bahwa keberlanjutan rumah FLPP harus dijaga karena sektor ini menyentuh langsung kebutuhan paling dasar masyarakat dan menggerakkan ekonomi lokal. “Kami mohon ada solusi yang tidak merugikan, dan bisa membangun keselarasan agar pembangunan berkesinambungan ini tetap berjalan,” katanya.
Bambang juga menyoroti potensi tak tercapainya target pembangunan perumahan skema FLPP. Karena hingga November 2025, capaian pembangunan masih tertahan di bawah 200 ribu unit dari total kuota 350 ribu rumah. “Kita sudah masuk November 2025, akhir tahun tinggal satu bulan lagi. Realisasi kita belum mencapai 200 ribu,” ujarnya. Kondisi ini menurutnya, menunjukkan perlunya percepatan dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.
Namun percepatan itu sulit terwujud karena hambatan klasik terus berulang di lapangan, mulai dari perizinan hingga penyaluran KPR. Padahal pemerintah pusat berkali-kali menyampaikan komitmen untuk mempermudah. “Sisi lain yang menjadi hambatan adalah syarat-syarat di lapangan. Pemangku kepentingan belum merespon dengan cepat dan baik. Situasi perizinan masih seperti masa lalu,” kata Bambang.
Kesulitan terbesar muncul dari sektor perbankan. Ia menjelaskan bahwa proses seharusnya disederhanakan malah menjadi semakin panjang. “Perbankan bukannya mengurangi syarat, tapi dari tiga tahapan justru ditambah jadi 18 tahapan. Ini tentu menyulitkan,” jelasnya.
Kondisi tersebut membuat masyarakat semakin apatis, karena realitas di lapangan tidak sejalan dengan kebijakan yang diumumkan pemerintah pusat. “Belum sinkron antara kebijakan pusat dengan realisasi di daerah,” lanjutnya.
Bambang menegaskan bahwa masalah pemenuhan rumah tidak boleh dipandang sebagai urusan administratif semata. Ia mengingatkan bahwa hak atas tempat tinggal dijamin konstitusi. “Perumahan ini dilandasi Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945. Keperluan akan rumah ini menjadi tanggung jawab negara,” tegasnya.
Ia pun menyoroti pentingnya memprioritaskan MBR dan warga yang benar-benar membutuhkan rumah sebagai bagian dari perbaikan. “Yang paling memerlukan rumah subsidi adalah masyarakat kita, masyarakat Indonesia yang asli,” kata Bambang.
Perlunya konsistensi kebijakan
Bambang menilai pemerintah ke depan perlu lebih serius memastikan kebijakan yang konsisten dari pusat hingga daerah. Menurutnya, para penerima KPR subsidi justru kelompok yang paling bertanggung jawab terhadap komitmen pembayaran. “Yang punya kredit rumah subsidi ini tidak akan kabur ke luar negeri. Rumah ini menjadi tumpuan dan harapan keluarganya,” jelasnya.
Bahkan, aset rumah yang nilainya terus naik akan memperkuat motivasi mereka untuk mempertahankan pembayaran. “Mereka akan sekuat mungkin berkomitmen melaksanakan kewajiban sebagai realisasi atas pinjamannya,” tambahnya.
Dengan stagnasi pembangunan dan hambatan administrasi yang menumpuk, Bambang meminta pemerintah kembali meminta pemerintah memperkuat sinkronisasi regulasi dan mempercepat proses perizinan serta penyaluran KPR. Ia berharap program rumah subsidi harus dibuat lebih mudah, bukan semakin sulit.
Bambang juga menilai, salah satu persoalan paling mendasar adalah proses penyaluran KPR oleh bank-bank pelaksana, terutama di lingkungan Himbara. Di tingkat pusat, bank kerap menyampaikan bahwa KPR subsidi diperluas dan dipermudah.
Namun realisasi di cabang justru sangat berbeda. “Realisasi di tingkat daerah bukan dipermudah sesuai arahan pusat, tapi justru seleksinya ditambah, syaratnya ditambah,” kata Bambang. Akibatnya, banyak calon konsumen menjadi apatis dan memilih menunda pembelian rumah.
Kondisi ini diperparah dengan fenomena maraknya pinjaman online (pinjol). Masyarakat yang membutuhkan dana cepat kadang terjebak pinjol dan kemudian tersandung ketika mengajukan KPR. Menurut Bambang, keberadaan pinjol yang belum tertata rapi di lapangan semakin menurunkan optimisme masyarakat. Ia menegaskan, “pemerintah ingin meluruskan keberadaan pinjol, sementara di lapangan belum lurus. Ini persoalan.”
Di sisi lain, pengembang harus menghadapi kenaikan biaya konstruksi serta tersendatnya cash flow akibat lambatnya persetujuan KPR. Padahal peran pengembang bukan hanya menyediakan rumah, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan dan menggerakkan ekonomi lokal. Jika KPR lancar, pengembang menyerap tenaga kerja, memutar ekonomi usaha warung sekitar, hingga memberikan pemasukan pajak bagi daerah. Namun ketika penyaluran kredit macet, seluruh rantai ekonomi ikut tersumbat.
“Developer itu selalu bisa memberikan daya tawar ketika masyarakat kesulitan mencari kerja,” ujar Bambang. Selain itu, geliat ekonomi juga muncul dari aktivitas UMKM sekitar perumahan, seperti warung tegal, pedagang makanan, hingga penyedia jasa bangunan. Semua ini ikut tumbuh jika serapan KPR berjalan normal.
Bambang juga mengingatkan bahwa kontribusi sektor perumahan pada penerimaan negara dan daerah tidak kecil. PPh, PPN, BPHTB, dan PNBP melekat pada setiap transaksi rumah. Ketika penyaluran KPR terhambat, pendapatan pemerintah pun ikut menurun.
Melihat kondisi tersebut, Bambang menekankan konsisten kebijakan antar level pemerintahan. Ia berharap pemerintah pusat tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tetapi memastikan implementasinya benar-benar dipatuhi hingga ke tingkat cabang bank.
Sinkronisasi ini penting agar masyarakat kembali optimis membeli rumah dan pengembang bisa menjaga keberlanjutan usaha. “Kalau sirkulasi keuangan tersendat, tentu saja akan menjadi sumbatan kepada pertumbuhan ekonomi lokal,” katanya.
Mesin yang tidak bekerja optimal
Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Jehansyah Siregar menilai, saat ini ekosistem properti berada di sisi kurang berkualitas dan terlalu bertumpu pada spekulasi. Sektor perumahan, yang mendominasi pasar properti nasional, berbelok terlalu jauh dari tujuan awalnya, memenuhi kebutuhan hunian, dan lebih sibuk melayani arus investasi.
Jehansyah menilai bahwa mesin utama pembangunan permukiman juga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Program perumahan pemerintah, terutama melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, dinilai terlalu tersandera pada skema subsidi seperti FLPP. “Padahal FLPP itu program kementerian keuangan. Kementerian PKP seharusnya memperkuat sistem permukiman: penataan kawasan kumuh, perbaikan bantaran sungai, penyediaan kawasan siap bangun, hingga pengendalian perkembangan kota,” ujarnya.
Kurangnya pembangunan sistem permukiman terpadu ini berujung pada persoalan pasokan. Supply hunian menengah atas tetap melimpah, tetapi kebutuhan kelompok berpendapatan menengah bawah terabaikan. Di sisi lain, banyak warga masih tinggal di bantaran sungai atau terpaksa bermukim jauh dari tempat kerja karena tidak ada pilihan hunian yang terjangkau dan dekat pusat aktivitas.
Kesenjangan hunian ini menimbulkan konsekuensi yang meluas. Selain memperlebar jurang sosial, kondisi tersebut memicu tekanan lingkungan dan mendorong pertumbuhan kawasan kumuh. Perlambatan properti pun berdampak domino ke industri konstruksi, bahan bangunan, sampai sektor jasa keuangan. “Jika dibiarkan, risikonya bisa merembet ke stabilitas makroprudensial,” kata Jehansyah.
Ia menekankan bahwa jalan keluar bukan sekadar menambah insentif atau subsidi, tetapi memperbaiki pondasi sektor perumahan dan permukiman. Pemerintah, menurutnya, perlu kembali memosisikan sektor publik sebagai penggerak utama penataan kota, integrasi prasarana, dan pembangunan kawasan baru.
Pemberdayaan warga, misalnya melalui badan rumah swadaya berbasis komunitas, juga menjadi unsur penting untuk memastikan pembangunan bersifat inklusif.
Jehansyah merujuk pada praktik negara-negara maju yang memaksimalkan peran BUMN dan BUMD dalam penyediaan kawasan siap bangun berskala besar. Model tersebut membuka ruang bagi developer kecil, koperasi, hingga paguyuban lokal untuk turut terlibat, menciptakan ekosistem yang lebih merata dan berkeadilan. “Kalau pondasinya kuat dan ekosistemnya sehat, sektor properti itu tidak akan pernah mati,” ujarnya.
Dian Amalia