Permasalahan utama sektor ketenagakerjaan di Indonesia saat ini bukanlah terkait dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, melainkan ketersediaannya pekerjaan yang berkualitas, yang kemudian diharapkan bisa berdampak pada meningkatnya daya beli dan kualitas hidup masyarakat.
“Yang jadi permasalahan di Indonesia itu sebenarnya bukan angka menganggur, tapi apakah pekerjaannya yang tersedia itu berkualitas memberikan penghasilan yang layak atau tidak,” kata Deni Friawan, Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Menurutnya, yang terjadi saat ini di sektor ini adalah orang-orang yang bekerja di sektor formal semakin lama semakin turun jumlahnya. “Karena sektor industri, terutama di sektor manufaktur, itu enggak berkembang dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.

Data juga menunjukkan bahwa sekitar 47 juta pekerja Indonesia saat ini belum bekerja penuh. Justru, jumlah kelompok pekerja paruh waktu yang memiliki jam kerja terbatas dan pendapatan tidak tetap ini malah meningkat.
Hal tersebut juga tidak menunjukkan sebuah capaian, melainkan sebuah alarm terkait dengan kualitas penciptaan lapangan pekerjaan. Banyaknya orang yang bekerja di sektor informal juga membuktikan bahwa lapangan pekerjaan di sektor formal masih belum tersedia.
“Orang itu terpaksa kerja. Jadi mau kerja part time atau enggak, ya, yang penting kerja. Karena di Indonesia, menurut saya, pengangguran adalah barang mewah, hanya orang-orang kaya saja yang punya uang atau yang di-support keluarganya yang mampu menganggur. Sementara orang-orang yang enggak punya kemampuan mereka terpaksa bekerja apa saja, termasuk part time,” katanya.
Di sisi lain, program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, atau juga Sekolah Rakyat yang diklaim bisa menyerap tenaga kerja juga dinilai masih belum efektif dalam waktu satu tahun ini. Dampak ke perekonomian masyarakat juga disebut masih belum terlalu dirasakan.

“Karena program itu pun signifikansinya terhadap perekonomian itu masih belum terasa, kan, terutama misalnya pemanfaatan dana itu saja masih beberapa persen saja. Akhirnya pengaruh dia dalam hal membuka lapangan kerja, ya, belum banyak,” ucap Deni.
Permasalahan terkait ketenagakerjaan ini, menurutnya, adalah sebuah derived demand, di mana pelaku usaha akan mempekerjakan pekerja ketika usahanya bisa berjalan dengan lancar dengan menjual produknya. Namun saat ini, di dunia usaha sendiri demand-nya masih belum ada. “Akhirnya si pengusaha enggak mau merekrut tambahan tenaga kerja,” jelasnya.
Di sisi suplai, bonus demografi sekarang berada di puncak. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 1,8 juta sampai 3 juta tenaga kerja baru dari lulusan SMA atau kuliah yang masuk pasar kerja. Sementara, kemampuan ekonomi untuk tumbuh yang saat ini baru mencapai 5%, belum bisa menyerap semua pasokan tenaga kerja itu. Apalagi investasi yang datang berupa capital intensive.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah harus membangkitkan sektor-sektor yang padat karya, bisa dengan cara memberikan insentif atau yang lain sebagainya agar menciptakan sisi demand yang tinggi.
“Dari sisi suplainya, perlu ada perbaikan kualitas skill dari si pekerjanya. Ini karena ada permasalahan mismatch keterampilan, di mana si pekerja ini enggak cocok dengan kebutuhan dunia usaha,” sambungnya.
Meski begitu, yang paling mendesak saat ini adalah menciptakan lapangan pekerjaan terlebih dahulu untuk memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan. “Yang paling penting sih saat ini, demand-nya dulu diperbaiki, di mana ada pos pertumbuhan ekonomi yang lebih labor intensive sector,” katanya.
Kualitas pekerjaan vs serapan
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang) Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, sepakat bila memang ada persoalan besar di struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Seperti persoalan tingkat pengangguran yang lebih berpusat di perkotaan. “Rata-rata nasional itu 4,76%. Di desa sekitar 3,3%, sementara di kota mencapai 5,73%,” ujarnya.

Meski lapangan kerja di desa relatif tersedia, terutama di sektor pertanian, masalahnya terletak pada daya tarik pekerjaan tersebut bagi angkatan kerja muda. “Problem-nya ada pada pemenuhan kebutuhan hidup layak. Itu yang membuat pekerjaan di desa kurang menarik bagi anak muda,” kata Anwar.
Fenomena ini mendorong migrasi besar-besaran dari desa ke kota, bahkan ke luar negeri sebagai pekerja migran. Dampaknya, sektor pertanian justru mengalami krisis sumber daya manusia. “Ini catatan serius bagi kita. Pertanian masih menyerap banyak tenaga kerja, tapi kehilangan regenerasi,” ujarnya.
Dari sisi penyiapan tenaga kerja, pemerintah mencatat pergeseran positif. Tingkat pendidikan angkatan kerja perlahan meningkat. Proporsi pekerja berpendidikan rendah mulai menurun, sementara lulusan pendidikan tinggi bertambah. “Penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi itu meningkat. Ini sejalan dengan rata-rata upah mereka yang mencapai sekitar Rp 4,35 juta,” ujar Anwar.
Sebaliknya, pekerja dengan pendidikan SMP ke bawah masih menerima upah rata-rata di bawah Rp 2 juta. Disparitas ini, menurut Anwar, masih menjadi persoalan struktural yang perlu dibenahi. “Inilah yang perlu kita perhatikan. Disparitas upah masih cukup lebar,” katanya.
Di sisi lain, saat terjadi pertumbuhan ekonomi digital, regulasi ketenagakerjaan belum sepenuhnya mampu mengimbangi perubahan jenis pekerjaan. “Masih ada kekosongan aturan hukum untuk jenis-jenis pekerjaan baru berbasis digital. Isinya sudah mau ada, tapi belum selesai,” katanya.
Ketiadaan regulasi ini berdampak pada kepastian kerja dan perlindungan sosial pekerja digital, terutama dalam hal jaminan sosial ketenagakerjaan.
Soal kualitas tenaga kerja, Anwar menegaskan peran Kemnaker bukan menciptakan pekerjaan secara langsung, melainkan membangun ekosistem ketenagakerjaan yang sehat, mulai dari penyiapan SDM hingga perlindungan kerja. “Kami merancang pelatihan berbasis kebutuhan pasar kerja, dengan metode project-based learning,” ujarnya.
Salah satu program unggulan adalah Program Pemagangan Nasional yang menyasar fresh graduate tanpa pengalaman kerja. “Mereka magang enam bulan, dapat uang saku setara upah minimum dan perlindungan jaminan sosial. Ini untuk mengurangi mismatch antara pendidikan dan kebutuhan industri,” kata Anwar.
Ia juga menyoroti rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia dibanding negara ASEAN lain. Untuk itu, Kemnaker menyiapkan 500 trainer peningkatan produktivitas dan merancang klinik produktivitas di balai-balai pelatihan kerja. “Produktivitas harus diapresiasi. Salah satu wacana yang kita dorong adalah pengupahan berbasis produktivitas,” ujarnya.

Anwar mengakui otomatisasi dan digitalisasi tak terhindarkan, meski berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di beberapa sektor. “Karena itu reskilling dan upskilling menjadi keharusan. Jangan sampai pekerja kita tertinggal karena telat beradaptasi,” katanya.
Hal yang sama berlaku untuk transisi menuju ekonomi hijau. Tanpa penyiapan SDM yang memadai, peluang green jobs justru bisa dinikmati tenaga kerja dari luar.
Stagnasi sektor formal
Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi Asmat mengingatkan tentang stagnasi kontribusi sektor formal. Berdasarkan data ketenagakerjaan, porsi tenaga kerja formal dalam dua tahun terakhir bertahan di angka sekitar 42% (data BPS), bahkan belum kembali ke level pra-pandemi. “Pada 2019, sektor formal kita sempat mencapai 44%. Tapi sampai sekarang belum kembali ke angka itu. Artinya, mayoritas tenaga kerja masih terserap di sektor informal,” jelasnya.
Sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja belakangan ini, menurut Nawawi, antara lain pertanian dan transportasi. Di sektor transportasi, pertumbuhan pesat justru terjadi pada pekerjaan berbasis platform digital seperti pengemudi ojek daring dan pekerja proyek online.
“Ini memang menyerap tenaga kerja, tapi sifatnya informal dan rentan,” kata Nawawi. “Jadi secara kuantitas terlihat baik, tapi kualitasnya masih lemah.”
Pemerintahan Prabowo mendorong berbagai program berskala besar, mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Merah Putih, yang diklaim mampu menciptakan jutaan lapangan kerja. Namun Nawawi menilai, tidak semua program tersebut bisa dibaca sebagai solusi langsung atas persoalan pengangguran.
“Program seperti MBG, Sekolah Rakyat, atau Sekolah Garuda itu sebenarnya lebih ke penyiapan SDM jangka panjang dan pengentasan kemiskinan,” ujarnya. Ia menegaskan, jika bicara soal penciptaan lapangan kerja dalam jumlah besar, justru proyek-proyek strategis nasional seperti hilirisasi tambang dan pembangunan infrastruktur yang lebih relevan.
“Hilirisasi nikel, batubara, sektor minyak dan gas, kehutanan, perikanan, itu yang secara nyata menyerap tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung,” kata Nawawi. Meski demikian, Nawawi juga mengingatkan bahwa sebagian program pemerintah yang bersifat padat karya, termasuk MBG, berpotensi memperbesar angka setengah pengangguran.
“Mereka memang bekerja, tapi jam kerjanya tidak penuh. Banyak yang hanya bekerja tiga jam sampai empat jam sehari, sehingga masuk kategori pekerja paruh waktu atau setengah pengangguran,” ujarnya.
Saat ini, sekitar 34 juta pekerja di Indonesia tercatat bekerja paruh waktu. Termasuk di dalamnya pekerja berpendidikan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan tetap dan akhirnya masuk ke sektor gig economy.
Minimnya perlindungan sosial
Masalah lain yang dinilai krusial adalah rendahnya perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Nawawi menyebut, bahkan di sektor formal sekalipun, cakupan jaminan sosial masih jauh dari ideal.
“Dari total pekerja formal yang sekitar 42% itu, baru sekitar setengahnya yang terkover BPJS Ketenagakerjaan,” ungkapnya. “Di sektor informal lebih parah lagi, baru sekitar 2%.”
Menurut Nawawi, tantangan terbesar bukan hanya soal regulasi, tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap jaminan sosial. “Pekerja kita belum melihat jaminan sosial sebagai aset. Padahal iurannya kecil, sekitar Rp 18.000 per bulan, tapi manfaatnya besar,” katanya. “Masalahnya, orientasi kita masih jangka pendek.”
Ke depan, pasar kerja Indonesia juga dihadapkan pada otomatisasi dan transisi menuju ekonomi hijau. Namun Nawawi menilai kesiapan tenaga kerja nasional masih tertinggal jauh.
“Kita masih didominasi angkatan kerja berpendidikan menengah ke bawah. Padahal kedepan dibutuhkan literasi digital, bahkan literasi AI,” ujarnya.
Ia mencontohkan sektor kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang diproyeksikan menjadi penyumbang lapangan kerja besar dalam ekonomi hijau. Sayangnya, pelatihan tenaga kerja dalam negeri belum mengarah ke kebutuhan tersebut.
“Produsen EV seperti BYD dan Hyundai akhirnya membangun training center sendiri karena tidak menemukan teknisi yang siap,” kata Nawawi. “BLK kita belum update dengan perkembangan teknologi.”
Persoalan klasik lain adalah lemahnya keterhubungan antara dunia pendidikan dan industri. Nawawi menilai program link and match belum berjalan optimal. “Kampus besar mungkin punya koneksi, tapi sebagian besar perguruan tinggi kita tidak,” ujarnya. “Akibatnya, perusahaan besar memilih mendidik sendiri tenaga kerjanya.”
Ia menyoroti bahwa program pemagangan pun masih belum menyasar sektor swasta secara masif, padahal seharusnya perusahaanlah yang menjadi aktor utama.
Peningkatan mutu SDM
Nawawi juga menekankan bahwa keberhasilan penciptaan kerja ke depan ditentukan oleh investasi serius pada sumber daya manusia.“Setiap tahun ada sekitar 3,5 juta angkatan kerja baru. Kalau tidak disiapkan lapangan kerjanya, mereka akan menjadi penganggur baru,” katanya.
Menurutnya, pemerintah perlu menyeimbangkan strategi jangka pendek dan jangka panjang: membuka lapangan kerja padat karya untuk menyerap tenaga kerja saat ini, sekaligus membangun sistem pelatihan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
“Kalau tidak, ekonomi bisa tumbuh, tapi yang menikmati justru tenaga kerja dari luar,” ujar Nawawi. Ia juga menegaskan pentingnya pemerataan fasilitas pelatihan kerja, terutama di luar Jawa.
“BLK dan training center kita masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT itu masih sangat minim. Padahal di sanalah potensi tenaga kerja ke depan,” ujarnya.
Kompetensi tenaga kerja ini kini dirasakan sudah terlalu mendesak untuk dicarikan jalan keluar. Seperti di sektor industri makanan dan minuman, yang kini banyak bergerak ke arah digitalisasi dan otomasi, mulai kesulitan menemukan tenaga kerja dengan skill yang sesuai.

“Banyak yang ingin bekerja, tapi kompetensinya tidak sesuai kebutuhan teknologi saat ini,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman. Ia menilai kurikulum sekolah teknik, STM, dan vokasi perlu diperbarui agar selaras dengan kebutuhan industri.
Adhi juga menepis kekhawatiran bahwa peningkatan otomasi akan mengurangi penyerapan tenaga kerja. Menurutnya, tanpa otomasi, industri Indonesia akan kalah bersaing dan justru berisiko tutup, yang akhirnya menghilangkan lebih banyak lapangan kerja.
“Dengan automation, produktivitas naik, perusahaan bisa ekspansi. Meski kebutuhan tenaga kerja per unit produksi berkurang, ekspansi membuat total penyerapan tetap besar,” jelasnya.
Otomasi juga masih didominasi perusahaan menengah-besar. Sementara mayoritas pelaku industri makanan-minuman adalah UKM dan menengah, sehingga otomatisasi belum merata.
Kuncinya pada revitalisasi UMKM
Meskipun ada insentif fiskal dan berbagai kebijakan untuk mempermudah dan mendorong iklim berusaha di Indonesia, menurut pengamat kebijakan publik Adib Miftahul, saat ini implementasinya juga belum cukup baik dan merata.
Ia menilai, di sektor informal, pemerintah perlu mendorong warga negaranya untuk bisa berwirausaha menjadi UMKM. Sementara, bantuan permodalan dari pemerintah terhadap UMKM belum tersalurkan secara merata dan adil.

Khusus pelaku UMKM yang merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah masih kesulitan mendapatkan bantuan permodalan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas bisnisnya.
UMKM-UMKM yang baru tumbuh itu rentan, karena tidak ada pekerjaan, masih skalanya kecil, dan tidak punya agunan. “Jadi rekomendasinya adalah bagaimana pemerintah bisa memetakan UMKM itu yang perlu dibantu seperti apa, harus ada langkah revolusioner di situ,” jelasnya.
Banyak pelaku UMKM yang sebenarnya merupakan korban dari PHK. Mereka inilah yang seharusnya menurut Adib mendapatkan bantuan dan menjadi fokus dari pemerintah untuk mendapatkan bantuan permodalan.
“UMKM yang di bawah itulah yang harus memang punya backup dari pemerintah, dalam hal permodalan itu paling penting menurut saya ketika untuk mengatasi lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Mukhlison, Dian Amalia, Gema Dxikri